Boleh
jadi apa yang kita anggap keren tidak dianggap keren oleh orang lain.
Saya senang berada di posisi seperti ini.
Posisi dengan lingkungan pertemanan yang seimbang. Mungkin karena saya seorang
mahasiswa jurusan akuntansi, jadinya seluruh sendi-sendi kehidupan saya harus
dipenuhi keseimbangan. Termasuk dalam hal berteman. Jumlah teman saya yang
“brutal” harus sama dengan jumlah teman saya yang “anak baik-baik”. Ah, tidak,
bukan seperti itu.
Saya
punya teman yang feed instagramnya dipenuhi dengan piala, ya tentu saja buka
piala juara makan kerupuk se-kecamatan,
Ada
juga yang dipenuhi selempang duta ini, duta itu, tapi tidak ada yang duta
shampo lain,
Ada
yang keluar negeri melulu, entah itu ikut exchange lah, conference lah,
internship lah,
Ada
yang social worker sekali, volunteering ke mana-mana,
Ada
yang beraksi turun ke jalan dengan almamater dan toanya,
Kalau saya tanya menurut kalian mana yang
paling keren, kalian akan jawab versi mana?
Kalau kalian tanya saya, ya tentu saja saya
menjawab semuanya itu keren, dengan kekerenannya masing-masing. Mereka semua
berprestasi di bidangnya masing-masing. Tapi, saya suka risih dengan
orang-orang yang terlalu membanggakan pencapaiannya, tapi sayangnya terlalu
merendahkan pencapaian orang lain. Apalah makna sekian banyak piala juara KTI,
pun punya banyak selempang duta kalau ternyata suka menghina mahasiswa yang
sering turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi rakyat?
Saya senang berada di posisi yang seperti ini.
Saya berteman dengan banyak orang, banyak
karakter, termasuk dengan jenis mahasiswa yang sering turun ke jalan – Maaf,
kali ini saya memang ingin membahas lebih dalam mereka-mereka yang nyaris
dipandang urak-urakan, brutal, tidak beres, dan umpatan-umpatan lainnya.
Mungkin masih banyak mahasiswa yang tidak mengetahui
fungsi demonstrasi selain menyebabkan kemacetan lalu lintas. Mahasiswa tipe ini
mungkin kurang baca sejarah bangsa ini. Padahal, reformasi hari ini lahir dari
demo. Sembilan tahun yang lalu, harga BBM yang melangit berhasil diturunkan
dari demo. Masih mau bertanya apa fungsi demonstrasi selain menyebabkan
kemacetan lalu lintas?
Oh iya, pernah suatu waktu di atas angkutan
umum, saya mendengar seorang ibu-ibu mengatakan seperti ini, “Ini harga
barang-barang kenapa makin naik semua. Kenapa tidak ada mahasiswa yang demo?”.
Saya sedikit terharu mendengar kalimat itu, toh, ternyata masih ada masyarakat
yang berharap peran mahasiswa sebagai penyambung lidah antara pemegang
kekuasaan dan masyarakat.
Tapi, “mahasiswa yang baik-baik saja” pasti
akan kembali membalas, “loh, kan, semua itu bisa dibicarakan dengan baik-baik,
tidak harus dengan demonstrasi di jalan raya dan mengganggu lalu lintas?”
Dulu, waktu masih SMA, saya aktif di forum anak,
organisasi yang langsung dibawahi sama Dinas Perlindungan Anak, punya
pemerintah. saya selalu mendengar kalimat-kalimat seperti ini dari Pembina
saya, “anak forum tidak ada yang suka demo, karena mereka mengerti bagaimana
sistem di pemerintahan. Semuanya tidak semudah membalikkan telapak tangan.” Buddies, saya sudah lebih dahulu masuk
di sistem pemerintah dibandingkan sistem demo-demoan. Jadi, setidaknya saya
sedikit tahu sistem di pemerintahan itu seperti apa.
Kembali ke “loh, kan, semua itu bisa
dibicarakan dengan baik-baik, tidak harus demonstrasi di jalan dan mengganggu
lalu lintas?”
Proses penuntutan atas sesuatu tidak langsung
serta merta langsung turun ke jalan. Jadi, mulanya ada yang disebut dengan
rapat konsolidasi. Untuk isu yang lingkupnya skala fakultas, pesertanya dari
himpunan-himpunan mahasiswa yang ada di fakultas tersebut. Untuk skala
universitas, pesertanya dari Sema (senat mahasiswa) dan BEM (badan eksekutif
mahasiswa) se-universitas. Sampai untuk isu nasional, ya pesertanya dari
perwakilan universitas-universitas yang ada di Indonesia.
Konsolidasi itu bahas apa?
Bahas isu yang sedang terjadi saat itu untuk
menghasilkan suatu tuntutan kepada birokrasi. Kalau skala universitas, tentu
saja tuntutannya diajukan kepada rektor. Tuntutan itu biasanya berisi beberapa
poin-poin, biasa pula mempunyai tenggat waktu. Kalau sedang beruntung, rektor
akan mempersilakan mahasiswa untuk duduk berdiskusi membahas tuntutan-tuntutan
tersebut. Hasil diskusi dengan rektor lalu dibawa lagi ke forum konsolidasi.
Hasil konsolidasi selanjutnya disampaikan lagi ke rektor. Kalau benar-benar
beruntung, tuntutan akan terpenuhi, meskipun kadang ada beberapa syarat
tambahan. Tapi, kalau lagi kurang beruntung, jangankan untuk memenuhi, tuntutan
yang diajukan boleh jadi dikacangi. Nah, di saat hal-hal tersebut terjadi.
Setelah segala upaya dilakukan mahasiswa untuk menyelesaikan isu yang ada, tapi
tidak jua menemukan titik temu, tentu saja akan menimbulkan keresahan-keresahan
di kalangan mahasiswa yang sering mengadakan konsolidasi ini. Hingga akhirnya
hanya ada satu kata: lawan! Perlawanan yang dilakukan mahasiswa ini dilakukan
dengan cara berdemonstrasi. Teknis kegiatan demonstrasi itu pun dirundingkan
bersama-sama.
Seperti itu prosesnya, buddies.
Idealnya, demonstrasi itu dilakukan ketika
semua jalan sudah buntu. Sayangnya, terkadang orang-orang yang sedang
diperjuangkan malah tidak menyadari hal-hal tersebut. Bukannya berterima kasih,
malah menyudutkan mereka yang sudah berjuang.
Jangan terburu-buru menghakimi orang lain. Boleh
jadi yang kau hakimi ternyata sudah mengerti apa yang belum kamu pelajari,
sudah menyadari apa yang belum kau temui, dan sudah lebih dulu merealisasikan
ide-ide dan jalan lain yang kau anggap lebih efektif. Boleh jadi, dibandingkan
kamu, dia bacaannya lebih banyak, diskusinya lebih dalam, analisisnya lebih
kuat, orang-orang yang ia temui lebih variative, dan tempat-tempat yang ia
kunjungi lebih jauh.
Semoga kita senantiasa berada di jalan-jalan
kebenaran!
-
April, 2018.
-
April, 2018.