Thursday 25 October 2018

Demonstrasi dan Penghakiman


Boleh jadi apa yang kita anggap keren tidak dianggap keren oleh orang lain.

Saya senang berada di posisi seperti ini. Posisi dengan lingkungan pertemanan yang seimbang. Mungkin karena saya seorang mahasiswa jurusan akuntansi, jadinya seluruh sendi-sendi kehidupan saya harus dipenuhi keseimbangan. Termasuk dalam hal berteman. Jumlah teman saya yang “brutal” harus sama dengan jumlah teman saya yang “anak baik-baik”. Ah, tidak, bukan seperti itu.

Saya punya teman yang feed instagramnya dipenuhi dengan piala, ya tentu saja buka piala juara makan kerupuk se-kecamatan,
Ada juga yang dipenuhi selempang duta ini, duta itu, tapi tidak ada yang duta shampo lain,
Ada yang keluar negeri melulu, entah itu ikut exchange lah, conference lah, internship lah,
Ada yang social worker sekali, volunteering ke mana-mana,
Ada yang beraksi turun ke jalan dengan almamater dan toanya,

Kalau saya tanya menurut kalian mana yang paling keren, kalian akan jawab versi mana?

Kalau kalian tanya saya, ya tentu saja saya menjawab semuanya itu keren, dengan kekerenannya masing-masing. Mereka semua berprestasi di bidangnya masing-masing. Tapi, saya suka risih dengan orang-orang yang terlalu membanggakan pencapaiannya, tapi sayangnya terlalu merendahkan pencapaian orang lain. Apalah makna sekian banyak piala juara KTI, pun punya banyak selempang duta kalau ternyata suka menghina mahasiswa yang sering turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi rakyat?

Saya senang berada di posisi yang seperti ini.

Saya berteman dengan banyak orang, banyak karakter, termasuk dengan jenis mahasiswa yang sering turun ke jalan – Maaf, kali ini saya memang ingin membahas lebih dalam mereka-mereka yang nyaris dipandang urak-urakan, brutal, tidak beres, dan umpatan-umpatan lainnya.

Mungkin masih banyak mahasiswa yang tidak mengetahui fungsi demonstrasi selain menyebabkan kemacetan lalu lintas. Mahasiswa tipe ini mungkin kurang baca sejarah bangsa ini. Padahal, reformasi hari ini lahir dari demo. Sembilan tahun yang lalu, harga BBM yang melangit berhasil diturunkan dari demo. Masih mau bertanya apa fungsi demonstrasi selain menyebabkan kemacetan lalu lintas?

Oh iya, pernah suatu waktu di atas angkutan umum, saya mendengar seorang ibu-ibu mengatakan seperti ini, “Ini harga barang-barang kenapa makin naik semua. Kenapa tidak ada mahasiswa yang demo?”. Saya sedikit terharu mendengar kalimat itu, toh, ternyata masih ada masyarakat yang berharap peran mahasiswa sebagai penyambung lidah antara pemegang kekuasaan dan masyarakat.

Tapi, “mahasiswa yang baik-baik saja” pasti akan kembali membalas, “loh, kan, semua itu bisa dibicarakan dengan baik-baik, tidak harus dengan demonstrasi di jalan raya dan mengganggu lalu lintas?”

Dulu, waktu masih SMA, saya aktif di forum anak, organisasi yang langsung dibawahi sama Dinas Perlindungan Anak, punya pemerintah. saya selalu mendengar kalimat-kalimat seperti ini dari Pembina saya, “anak forum tidak ada yang suka demo, karena mereka mengerti bagaimana sistem di pemerintahan. Semuanya tidak semudah membalikkan telapak tangan.” Buddies, saya sudah lebih dahulu masuk di sistem pemerintah dibandingkan sistem demo-demoan. Jadi, setidaknya saya sedikit tahu sistem di pemerintahan itu seperti apa.

Kembali ke “loh, kan, semua itu bisa dibicarakan dengan baik-baik, tidak harus demonstrasi di jalan dan mengganggu lalu lintas?”

Proses penuntutan atas sesuatu tidak langsung serta merta langsung turun ke jalan. Jadi, mulanya ada yang disebut dengan rapat konsolidasi. Untuk isu yang lingkupnya skala fakultas, pesertanya dari himpunan-himpunan mahasiswa yang ada di fakultas tersebut. Untuk skala universitas, pesertanya dari Sema (senat mahasiswa) dan BEM (badan eksekutif mahasiswa) se-universitas. Sampai untuk isu nasional, ya pesertanya dari perwakilan universitas-universitas yang ada di Indonesia.

Konsolidasi itu bahas apa?
Bahas isu yang sedang terjadi saat itu untuk menghasilkan suatu tuntutan kepada birokrasi. Kalau skala universitas, tentu saja tuntutannya diajukan kepada rektor. Tuntutan itu biasanya berisi beberapa poin-poin, biasa pula mempunyai tenggat waktu. Kalau sedang beruntung, rektor akan mempersilakan mahasiswa untuk duduk berdiskusi membahas tuntutan-tuntutan tersebut. Hasil diskusi dengan rektor lalu dibawa lagi ke forum konsolidasi. Hasil konsolidasi selanjutnya disampaikan lagi ke rektor. Kalau benar-benar beruntung, tuntutan akan terpenuhi, meskipun kadang ada beberapa syarat tambahan. Tapi, kalau lagi kurang beruntung, jangankan untuk memenuhi, tuntutan yang diajukan boleh jadi dikacangi. Nah, di saat hal-hal tersebut terjadi. Setelah segala upaya dilakukan mahasiswa untuk menyelesaikan isu yang ada, tapi tidak jua menemukan titik temu, tentu saja akan menimbulkan keresahan-keresahan di kalangan mahasiswa yang sering mengadakan konsolidasi ini. Hingga akhirnya hanya ada satu kata: lawan! Perlawanan yang dilakukan mahasiswa ini dilakukan dengan cara berdemonstrasi. Teknis kegiatan demonstrasi itu pun dirundingkan bersama-sama.

Seperti itu prosesnya, buddies.

Idealnya, demonstrasi itu dilakukan ketika semua jalan sudah buntu. Sayangnya, terkadang orang-orang yang sedang diperjuangkan malah tidak menyadari hal-hal tersebut. Bukannya berterima kasih, malah menyudutkan mereka yang sudah berjuang.

Jangan terburu-buru menghakimi orang lain. Boleh jadi yang kau hakimi ternyata sudah mengerti apa yang belum kamu pelajari, sudah menyadari apa yang belum kau temui, dan sudah lebih dulu merealisasikan ide-ide dan jalan lain yang kau anggap lebih efektif. Boleh jadi, dibandingkan kamu, dia bacaannya lebih banyak, diskusinya lebih dalam, analisisnya lebih kuat, orang-orang yang ia temui lebih variative, dan tempat-tempat yang ia kunjungi lebih jauh.

Semoga kita senantiasa berada di jalan-jalan kebenaran!

-

April, 2018.


Melihat Dunia


Hello, buddies!

Apa yang pertama kali terlintas saat kalian membaca judul tulisan ini?
Duduk di atas pesawat kemudian melihat seluruh dunia melalui pesawat? Atau tidur lalu bermimpi berkelilingi dunia? Or have no idea?

Let me tell you a story, ya.

“Pada suatu hari, saya duduk di atas kursi. Melalui tempat saya duduk tersebut, saya bisa melihat seorang laki-laki sedang menunggu angkutan umum di persimpangan jalan kota Batu. Lima belas menit kemudian, saya kemudian melihat lelaki tersebut masuk ke sebuah CafĂ© di tengah-tengah kerlap-kerlip gedung tinggi New York…” (kok bisa?)

Kalian pernah mendengar cerita tersebut? Itu adalah kisah inspiratif Iwan Setyawan, seorang anak supir angkot kota Batu yang menjadi direktur di New York, telah dituangkan dalam novelnya yang berjudul 9 Summers 10 Autumns, “From The City of Apple, To The Big of Apple”.

Jadi, saya ingin mengajak buddies melihat dunia melalui suatu karya, lebih tepatnya adalah karya fiksi. Cerita di atas hanyalah satu dari sekian juta fiksi yang tersebar di seluruh dunia.

Buddies pasti sudah tidak asing lagi kan dengan pepatah “buku adalah jendela dunia?”. Namun, dunia yang saya maksud di tulisan ini tidak hanya persoalan jelajah tempat-tempat di dunia, tetapi juga jelajah waktu dunia, serta jelajah sudut pandang dan perasaan seseorang melalui unsur-unsur intrinsik suatu maha karya fiksi.

Kuy langsung cus ke dunia yang belum pernah terjamah oleh alam imajinasimu sebelumnya.
Mari mulai “melihat”..


Tempat

Dengan membaca suatu fiksi, kita tidak hanya diajak melihat tempat yang tidak pernah ada di dunia nyata sebagaimana Hutan Terlarang Hogwarts maha karya J.K. Rowling, fiksi bergenre fantasi yang paling terkenal seantero jagat raya, Harry Potter. Tapi kita juga dimungkinkan untuk lebih mengenal satu titik yang benar-benar ada di muka bumi ini. Sebut saja Pulau Bungin yang menjadi latar tempat di mana Sri Ningsih menghabiskan masa kecil penuh pilunya yang tertuang di dalam novel Tentang Buddies, karya seorang penulis Indonesia yang telah menerbitkan dua puluh tujuh novel, Tere Liye.
Mengambil sampel Pulau Bungin, kita tidak hanya menjadi tahu bahwa pulau terpadat di dunia, di mana hampir tidak ada jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya, tidak ada pohon dan tumbuhan sehingga kambing-kambing memakan kertas itu terletak di negeri yang sangat kaya, Indonesia, terletak di daratan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Melalui fiksi tersebut kita pun menjadi lebih mengenal satu suku yang membentuk keanekaragaman Indonesia, suku Bungin.

Waktu

Siapa yang pernah membayangkan dirinya hidup pada zaman sebelum masehi? Membayangkan kehidupan para pemikir besar seorang filsuf seperti Socrates dan muridnya Plato? Saya percaya penikmat fiksi Jostein Gaarder dan Dunia Sophie-nya telah membawa para pembacanya berjelajah ke dimensi waktu yang jauh dari zaman sekarang. Melihat bagaimana perilaku orang-orang pada abad pertengahan di mana seni khususnya musik mengalami kemajuan yang pesat oleh Heldiberg dan Thomas Aquinas, lalu ke masa Renaissance yang melahirkan sastrawan dunia seperti William Shakespeare atau pelukis apik Leonardo da Vinci.

Dan, hei, sepertinya saya bukan satu-satunya manusia di muka bumi ini yang menyukai sejarah hanya bila disampaikan melalui karya fiksi? Terkadang, buku-buku pelajaran di sekolah mempunyai bahasa yang sulit dimengerti, monoton, dan sangat membosankan. Sangat berbeda bila ditambah dengan bumbu fiksi. Atau mungkin sejarah yang sama sekali tidak pernah dipelajari di buku-buku sekolah?

Mari sejenak beralih ke The Secret of Carstenzs karya Marino Gustomo dan Zaynur Ridwan yang diterbitkan pertengah 2017 lalu. Melalui maha karya fiksi tersebut, maka buddies akan menjumpai sejarah masuknya Freeport di Indonesia. Lengkap dengan segala konspirasi dan propaganda pemerintah Indonesia yang berkuasa di zamannya. Maka buddies akan sedikit lebih mengerti mengapa Papua, atau yang mengatasnamakan Papua, itu ingin merdeka.

Pemikiran

Hal yang sebenarnya paling penting dari membaca suatu buku adalah mampu menangkap pesan dari sang penulisnya. Melalui sebuah karakter, kita akan diajak menjadi orang lain yang tidak sekadar menggunakan tubuh karakter yang diperankan, melainkan menjelma ke dalam jiwanya, ke dalam rasa dan pemikirannya. Maka tidak heran bila banyak artikel yang mengatakan bahwa fiksi dapat membuat seseorang menjadi lebih peka, memahami sesuatu dari sudut yang berkebalikan.

Mari saya berikan sedikit ilustrasi…

Pernah mendengar istilah pembajakan sejarah? Istilah ini dijelaskan dengan baik oleh Leila S. Chudori dalam novelnya yang berjudul Pulang. Ia mengilustrasikan bagaimana buku-buku sejarah dicetak oleh Kementerian Pendidikan yang sedang berkuasa. Maka sejarah yang akan diajarkan ke generasi selanjutnya adalah sejarah versi pemerintah yang berkuasa pada saat buku tersebut diterbitkan. (Dan boleh jadi sejarah versi lain sama sekali tidak boleh diketahui, tengoklah sejenak berita-berita di masa lalu di mana Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer dilarang tebit oleh birokrasi).

Berjelajah pemikiran dalam fiksi salah satunya adalah melihat hal-hal yang sungguh berbeda dengan apa yang telah diajarkan kepada kita selama ini. Sebut saja, bila di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah kita diajarkan sejarah Gerakan 30 September (G30S PKI) dan melihatnya dari sudut pemerintah yang sedang berkuasa (tentang bagaimana PKI begitu sadis terhadap Soekarno dan para jenderal), maka di novel “Pulang”, kita akan mempelajari bagaimana orang-orang yang hanya berkerabat jauh dengan orang-orang PKI mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari pemerintah. Tentu saja pemerintah tidak pernah menuliskan hal ini dalam buku-buku pelajaran di sekolah.


Nah, itu tadi segelintir dunia lain yang bisa buddies jelajahi melalui maha karya fiksi. Kita tidak butuh pintu doraemon, kita hanya butuh satu buku fiksi, untuk berpindah dari satu masa ke masa lain, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu orang ke orang lain. Maka, perbanyaklah kekayaan intelektualmu dengan membaca fiksi. Dan yang tidak kalah penting adalah menjadi pembaca yang bijak. Sudah tahu pembaca bijak seperti apa? Nantikan tulisan saya selanjutnya :p


Jadi, sudah menentukan fiksi apa yang akan buddies baca? Sepertinya saya merekomendasikan cukup banyak buku melalui tulisan ini hehehehe.

-

April, 2018.
   

Tuesday 13 February 2018

Generasi Salah Fokus

Nasihat dan hujatan itu jaraknya jauh, tapi entah mengapa banyak sekali orang yang tidak bisa membedakannya.

Keasyikan beropini rupanya telah merambah ke mana-mana. Orang yang tadinya di dunia nyata mungkin tidak banyak bicara, tiba-tiba di dunia maya menjadi begitu kritis. Sayangnya, terkadang terdapat kekritisan yang sebenarnya kurang relevan dengan isi postingan. Bagaikan sebuah nasihat yang dibalas dengan hujatan, atau kah sesuatu yang seharusnya diapresiasi malah dicaci maki. Ya, tulisan ini berangkat dari keresahan saya setiap kali membuka kolom komentar dunia maya, entah itu line, facebook, instagram, atau pun situs website lainnya.

Mungkin buddies sekalian masih mengingat kejadian seorang generasi pengharum bangsa yang dikritik karena pakaiannya yang konon “tidak layak pakai” nun “tidak mencerminkan budaya bangsa”, alih-alih mendapatkan ucapan selamat, mereka malah dikatain seperti seekor burung yang berceloteh tiada guna.

Makin ke sini nampaknya makin menjadi-jadilah kesalah-fokusan itu. Duhai netijen yang maha benar, bukankah telah disediakan akua kepadamu agar kamu bisa sedikit lebih fokus?
Dan inilah postingan yang membuat saya benar-benar berniat membuat tulisan ini.

Check it out..

 

Katakan kepadaku, buddies, apa yang terlintas pertama kali di benak kalian saat membaca postingan ini?

Apakah kalian merasa tertohok dan teringatkan kembali akan sosok pejuang bangsa yang semakin terlupakan? Apakah merasa malu karena begitu mengenal Dilan tapi tak mengenal Wiji Thukul? Atau bahkan merasa resah kok bisa-bisanya seorang pejuang bangsa disbanding-bandingkan dengan sosok Dilan itu?

First thing first, Dilan dan Wiji Thukul adalah tokoh dengan genre yang berbeda. Wajar saja kalau banyak yang protes mengapa kedua tersebut dibandingkan. Tapi, balik lagi. Saya sangat yakin bahwa penulis bermaksud baik ingin mengenalkan pemuda sekarang dengan Wiji Thukul yang kurang dipublikasikan lagi. Dengan adanya momentum Dilan yang begitu booming  di kalangan remaja, maka penulis berinisiatif untuk mengambil peluang tersebut. Untuk menyebarkan virus-virus menolak lupa. Biar apa? Biar kita para pemuda, meskipun umpamanya tak punya nyali sebesar dia, tapi kita setidaknya tahu bahwa sosoknya itu ada.

Sayangnya banyak yang salah kaprah kalau postingan tersebut adalah perbandingan yang seolah-olah menunjukkan ketidaksukaan pada pemuda yang terenyah dengan Dilan. Padahal, di postingan tersebut tidak ada kalimat yang menyudutkan Dilan. (coba, deh, baca dengan seksama sekali lagi).

“Dilan menghipnotis kawula muda untuk romantis dalam percintaan, Wiji Thukul  menghipnotis para buruh dan petani untuk berani mengorganisir dan menyuarakan ketidakadilan yang dilami melalui puisi.” Kalimatnya sehalus itu. Beda halnya kalau postingan tersebut berbunyi “Wiji Thukul  menghipnotis para buruh dan petani untuk berani mengorganisir dan menyuarakan ketidakadilan yang dilami melalui puisi tidak seperti Dilan yang bisanya cuma menghipnotis kawula muda untuk romantis dalam percintaan”.

Dan yang paling penting menurut saya, dengan adanya reminder ini …
Bukan berarti penulis Indonesia tidak boleh berkarya.
Bukan berarti pembaca novel kelas akut seperti saya ini tidak boleh berimajinasi.
Bukan berarti produser film tidak boleh memproduksi film yang tentang romantisme belaka.
Bukan berarti penduduk Indonesia dilarang nonton film Dilan.
Bukan berarti pemuda dilarang mengidolakan Dilan.

Jika boleh jujur, saya pun senang dengan karakter Dilan yang menyayangi keluarganya. Sebagaimana lelaki yang ideal haruslah cinta kepada perempuan di keluarganya terlebih dahulu sebelum perempuan lainnya. Saya suka bagaimana Pidi Baiq mengkritik dan membandingkan kota Bandung yang dulu dan sekarang.

Sayangnya, banyak sekali orang-orang yang melontarkan komentar hate speech dengan embel-embel an*ing, kont*l, dan saudaranya. Adapula yang berkomentar dengan santainya bilang “Dilan itu real, bosku.” Padahal esensi dari postingannya tidak terletak di ke-fiksi-an ataupun ke-romantis-an Dilan, melainkan sebagai upaya mengingatkan kembali generasi ini kepada sosok yang pernah berjuang memerdekakan nasib buruh dan tani bangsa ini.

-

P.s.:

Pertama. Terima kasih kepada Sezar Rizki yang telah mengunggah postingan tersebut. Terima kasih pula kepada _anvel yang sudah seniat itu mengingatkan kita pada sosok Wiji Thukul dengan cara cerdas. Semoga kalian selalu berada di jalan kebenaran dan suatu saat nanti kita bisa kenalan.


Kedua. Saya pernah baca bahkan suka dengan Dilan sejak ceritanya pertama kali diunggah Pidi Baiq di blog pribadinya. Saya juga tahu kok pernyataan Pidi Baiq yang bilang kalau Dilan itu kisah nyata temannya waktu di SMA, meskipun banyak nitijen yang berkehendak kalau Dilan itu si Pidi Baiq sendiri. Yah, fyi aja sih. Siapa tahu ada yang pengen ngajakin nonton Dilan, soalnya kalau nonton sendirian katanya berat.

Ketiga. Judul ini diambil dari tulisan kak Gitasav di blognya. Sengaja milih karena memang konteks dan isinya hampir sama. Atau apakah sebaiknya salah ganti judul, ya, jadi "Generasi Kurang Minum". Hmm(?)

Monday 1 January 2018

#REWIND2017 ala Me

Segala sesuatu akan terbalaskan meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Di tahun 2017 saya merasa banyak sekali pelajaran berharga yang telah saya terima. Saya selalu percaya bahwa kejutan-kejutan yang baik akan selalu datang untuk orang-orang yang selalu berusaha. Dan orang-orang yang selalu berusaha akan menganggap segala takdir hidup yang telah digariskan kepadanya adalah sesuatu yang baik dan bermakna. Tahun ini, saya betul-betul merasakan dengan nyata betapa besar nikmat yang Tuhan berikan kepada saya. Nikmat yang tak putus-putus.

Di tahun 2017 saya berjumpa dengan buanyak sekali orang-orang yang keren nun patut dijadikan panutan oleh kids jaman now. Tak dapat dihitung lagi dan saya mohon maaf karena tidak dapat menyebutkannya satu per satu karena akan sangat panjang dan takut ada yang kelupaan. Mulai dari public figure, mentor, fasilitator, teman sebaya bahkan mereka yang jauh lebih muda, yang karena kesederhanaan sampai kekritisannya sehingga saya sekagum itu pada mereka-mereka semua.

Dan semakin saya bertemu dengan orang-orang baru itu, semakin sadar pula bahwa saya sekurang ini. Perlu masih banyak belajar karena ilmu itu tidak akan pernah cukup – bukan kah Tuhan juga memerintahkan agar kita selalu menuntut ilmu?

Di bangku kuliah, meskipun rentang IPK seperti biasa, mirip roller coaster yang di semester ganjil selalu naik dan di semester genap selalu turun, namun ada banyak sekali pelajaran berharga yang bisa saya renungi. Di semester lima misalnya, di antara kesibukan menjadi pendamping item akustik inaugurasi yang kadang pulang saat matahari sudah terbenam dan bergelut dengan tugas-tugas sebagai fasilitator Roots yang membuat saya harus bolak-balik Tamalanrea-Pallangga di jam kuliah, ternyata Tuhan masih berbaik hati memberikan nilai sempurna untuk mata kuliah yang diampu oleh dosen yang konon paling horor seprodi. Di situ saya belajar bahwa kebaikan akan selalu terbalas meskipun dalam bentuk yang berbeda. Boleh jadi nilai A itu bukan karena hasil belajar saya saja, melainkan karena ketulusan saya dalam bekerja di kepanitiaan, atau karena H-2 sebelum mid saya masih menyempatkan diri untuk berkumpul bersama orang-orang yang selalu memberikan support luar biasa kepada saya. Kuncinya satu: tulus.

Di saat saya gagal, artinya saya perlu melakukan refleksi kepada diri sendiri. Pasti ada sesuatu yang salah sehingga diri ini mendapatkan teguran. Serupa dengan kisah yang saya tuangkan di tulisan sebelumnya. Bisa jadi keborosan saya bukan karena adanya harbolnas dengan diskon gede-gedan, melainkan karena sedekah saya masih kurang sekali. Bisa jadi schedule yang tiba-tiba berubah dan saling bertabrakan satu sama lain bukan dikarenakan kecerobohan dari panitia yang seenaknya merubah jadwal, melainkan karena saya ogah-ogahan melaksanakan ibadah di awal waktu. Secucoklogi itu, tapi memang logis, kan?

Saya tidak pernah menyangka 2017 akan sehectic itu. Dan saya sangat bersyukur karena masih diberi pemikiran untuk merefleksikan segala yang terjadi. Selamat menyambut 2018 dengan segala ke-hectic-annya. Semoga kita senantiasa mendapatkan pelajaran atas hal-hal yang terjadi pada diri kita.

Maka Nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang kamu dustakan?

Happy New Year and (still) Happy Holidays!

Saturday 23 December 2017

Seremoni 22 Desember

Setiap akan meninggalkan rumah, saya pasti mencium tangan bahkan kening ibu. But, is it enough?

22 Desember 2017 di Insta story, whatsApp story, dan wall Facebook, ramai berhiaskan dengan tulisan “Happy Mother’s Day!”. Sepaket dengan selfie bersama ibu tercinta. Ada juga yang mengunggah selembar foto kenangan bagi mereka yang telah ditinggal sang ibunda. Maka, semoga ibu kita semua senantiasa berada dalam lindungan-Nya dan kelak ditempatkan di surga-Nya. Aamiin.

Beberapa hari yang lalu, saya sempat menulis di insta story, dan saya pun menjadikannya highlight. Sebagaimana janji saya di salah satu kalimatnya bahwa saya akan menceritakannya di blog, maka terciptalah tulisan ini. Tulisan dari proses perenungan. Padahal, jauh sebelum tulisan ini dipikirkan, saya sudah menuliskan kerangka tulisan bertemakan family time, yang inti dari apa yang akan saya sampaikan, sebenarnya mirip. Tapi, hingga tulisan ini saya buat, entah mengapa saya tidak pernah tahu bagaimana cara menyelesaikan tulisan tersebut.

Highlight-nya seperti ini:

Terkadang aku ingin punya kemampuan untuk membelah dan mereplika diri.

Dan satu-satunya paragraf yang ada di tulisan itu adalah:

“Salah satu hal yang paling aku benci adalah ketika keluarga jauh yang sangat jarang kutemui datang berkunjung, dan di saat yang bersamaan aku harus menghadiri rapat atau kegiatan lain di mana aku menjadi salah satu orang (sok) pentingnya. Dan aku sudah sangat sering berhadapan dengan hal tersebut.”

Suatu waktu di masa liburan SMA, seorang tante yang sejak kecil saya anggap Mama sendiri berpesan bahwa perbanyaklah ciptakan momen berkesan bersama keluarga. “Walaupun momen sederhana, tapi itu cukup untuk membuatmu tersenyum. Momen berkesan tidak harus pergi ke tempat wisata, justeru biasanya momen berkesan itu akan datang tanpa direncakan. Sesedarhana kamu dan adikmu rebutan mie kremes.”

Teguran apakah yang gerangan saya maksud di insta story yang kujadikan highlight itu?

Hari Senin, 18 Desember 2017, siang, waktu itu saya sedang berada di Kampus Teknik Unhas menghadiri suatu kegiatan. Setelah makan siang, saya mengecek Hp yang sedang diisi daya sejak beberapa jam yang lalu. Dan ketika saya mengaktifkan data, muncullah beberapa miscall dari tante yang pada hari itu bersama ibu saya mengunjungi kondangan sepupu jauh. Ada pesan juga yang mengatakan bahwa ibu saya sedang berada di rumah sakit, habis kecelakaan. Pesan itu sejam yang lalu.

Pernah mendapatkan situasi tersebut? Bagaimana rasanya? Apa yang pertama kali kamu lakuakan? Kalau tidak pernah, semoga tidak akan pernah. J

Berdebar-bedar. Tentu saja. Istighfar. Bertanya-tanya keadaan ibu saat itu sambil menelepon sang tante. Histeris? Tidak. Menangis? Tidak. Panik? Sedikit. Kamu bisa tanyakan ekspresiku pada seorang teman. Andry namanya. Akhirnya telepon saya diangkat, tante bilang lukanya sedang dibersihkan. Sudah hampir selesai, dan akan pulang ke rumah. Tante suruh matikan telepon karena sedang kerepotan memegang banyak barang. Nada suaranya baik-baik saja. Maka aku pikir semuanya sudah aman. Tapi, hati ini tetap gelisah. Telepon lagi, tanyakan ibu nanti pulang naik apa. Sempat berpikir untuk ikut acara sampai selesai, tapi ternyata rasa ingin tengok ibu lebih besar, jadilah saya meninggalkan tamu jauh, para petinggi dari perusahaan yang telah memberikan beasiswanya pada saya.

Sesampainya di rumah sakit bahkan ketika melihat kondisi ibu yang ternyata tidak se-baik-baik-saja yang kupikirkan, entah mengapa air mataku tidak juga mengalir. Tapi jangan tanya debar-debar di jantung ini yang makin lama makin kencang. Satu, karena saya tidak mau menangis di depan ibu yang pada akhirnya bisa jadi akan membuatnya sedih. Dua, mungkin kepanikanku mengalahkan kesedihanku. Tiga, karena rasa syukurku. Saya merasa teramat sangat bersyukur karena ternyata Allah masih memberikan kesempatan untuk berbakti lebih lama lagi pada ibu.

Kata orang yang entah siapa itu benar, hujan mampu memancing air mata terjatuh. Ketika hujan deras terdengar mengamuk di atas atap rumah sakit, membasahi aspal-aspal, saya keluar ruangan IGD bagian bedah – yang mulai ramai karena kedatangan satu pasien lagi. Menuju jendela di sudut lorong. Menghayal beberapa detik, sontak air mataku terjatuh.

Ya, mungkin ini adalah teguran dari-Nya. Teguran agar saya rehat sejenak dari segala aktivitas yang begitu menyibukkan, membuat saya jarang di rumah. Agar saya lebih banyak lagi memanfaatkan waktu libur semester ini dengan ibu dan keluarga. Mungkin hanya dengan cara seperti ini aku bisa dicegah.

Ibu tidak pernah melarangku. Ya. Tidak pernah. Beliau selalu menunjukkan kekhawatiran, tetapi tidak sampai melarang. Ibu tidak pernah melarang pulang saat matahari sudah terbenam bahkan menginap di kost teman, meskipun teleponnya tidak pernah absen, bersama kalimat andalannya, “hati-hati, jaga diri baik-baik.” Ibu sangat mempercayai saya. Kepercayaan yang akhirnya membuat saya sering lupa bahwa saya adalah seorang anak perempuan pertama dan satu-satunya yang juga punya kewajiban membantu ibu mengurus rumah tangga.

Produktif boleh, tapi jangan sampai lupa family time.

Selamat liburan dan selamat berbakti!
-


P.s.: Kami mengucapkan terima kasih banyak atas doa-doa yang mengalir untuk ibu kami. Semoga doanya kembali kepada teman-teman sekalian! Selamat hari Ibu, Ibu! Maaf karena Firda belum bisa jadi apa-apa. Dan selamat hari Ibu untuk seluruh ibu di dunia. Semoga senantiasa berada dalam lindungan-Nya. Aamiin.

Tuesday 19 December 2017

Apa Kah itu Keren? (Keren Kah?)

Apa kah itu keren?
Sekedar mengikuti yang sedang tren
Tak khawatir akan jadi permanen
Yang akhirnya melahirkan temperamen
Kepada mereka yang ingin dianggap tulen
Duh, kebiasaan buruk kok dijadikan panen

Apa kah itu keren?
Terbawa arus perubahan zaman
Terseret pun engkau tak melawan
Yang kacau balau jadi panutan
Tak peduli walau sikap seperti setan
Malu kau sembunyikan di bawah telapak tangan

Apa kah itu keren?
Ketika yang viral wajib untuk ditonton
Meski pun tema selalu monoton
Manfaat sekecil fito-plankton
Racunnya lebih mematikan dari mercon
Menjadikan hati lebih keras dari beton

Apa kah itu keren?
Menggelengkan kepala mata dipicingkan
Melemparkan batu-batu hujatan
Seolah tak mengenal kata perasaan
Perihnya melebihi cambukan rotan
Selamat tinggal wahai norma dan aturan

Apa kah itu keren?
Bencana besar telah tiba di halaman
Sebentar lagi akan merusak taman-taman
Gendang ditabuh mengisyaratkan ancaman
Tapi hanya sedikit yang mendengarkan alunan
Berbisik ke dalam nurani menyerukan panggilan

Lekas bergerak, bungkam jangan!
Luruskan shaf merapatkan barisan
Mari bersama lakonkan peran
Yang terlanjur lupa tolong ingatkan
Tuhan pasti bukakan jalan

Atas moral yang dikepung kebuntuan

Friday 24 November 2017

Belajar Lebih Peka

Kalau kamu merasa nyaman mem-bully seseorang, berarti ada masalah dengan hati kamu.
Tepat setahun yang lalu, saya telah membuat vlog tentang perundungan alias bullying dengan harapan orang-orang bisa sedikit peka melihat fenomena perundungan yang makin ke sini makin menjadi-jadi. Yang lebih parahnya lagi adalah seseorang tidak sadar kalau dia telah melakukan tindakan perundungan. Melihat semuanya baik-baik dan normal-normal saja. Please, open your eyes, buddies!
Kalau kamu menggunakan kekuatan fisik atau psikologis untuk melemahkan seseorang secara sengaja, berulang-ulang dan ada perbedaan kekuatan antara kamu dan seseorang itu, berarti kamu telah melakukan perundungan.
Sengaja. Seseorang kalau ditanya mengapa mereka melakukan perundungan, maka sebagain besar akan menjawab hanya sebatas bercanda supaya lebih akrab. Nah, ini menarik untuk dibahas. Terkadang saya mendapat pertanyaan semacam, “Eh, bagaimana kalau saya membully seseorang, tapi orangnya tidak marah dan merasa senang dibully?”. Tunggu, senang? Masalahnya adalah kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi pada perasaan seseorang. Bisa saja dia menyunggingkan senyuman bahkan tawa padahal hatinya sedang rapuh. Saya pikir semua manusia pandai bersandiwara dengan jenis ini. Baru mau berhenti ketika dia sudah memperlihatkan kelemahan lewat air matanya?
Berulang-ulang. Manusia kalau sudah asyik, terkadang suka lupa. Kalau dilakukan sekali – dua kali, bisa jadi masih dimaafkan. Mungkin dia khilaf. Tapi, kalau sudah berulang-ulang, maka khilafnya sudah melampau batas sehingga tidak wajar lagi disebut khilaf.
Ada perbedaan kekuatan. Merasa kita jauh “lebih baik” atau “lebih pantas” dari seseorang juga bisa mengindikasi terjadinya perundungan. Kaya-miskin, senior-junior, dan sejenisnya. Yang lebih miris adalah perbedaan fisik seperti tinggi-pendek, gemuk-kurus, mancung-pesek, lurus-keriting, hitam-putih, padahal apa yang melekat pada tubuh seseorang adalah karunia yang sudah diberikan Tuhan. Jadi, ketika dihina, berarti sama dengan menghina pemberian Tuhan, bukan? Let’s think smart!
Satu pernyataan lagi yang selalu membuat saya ber-huh setiap kali diterbangkan kepada saya. Apalagi kalau bukan alasan konyol yang mengatakan kalau perundungan itu bisa meningkatkan mental seseorang. Gimana nih? Saya harus jawab apa? Memang benar seperti itu, kah?
Kalau sesuatu itu dianggap baik, kenapa harus dilarang dan ditentang? Kalau sesuatu itu dianggap baik, kenapa banyak organisasi yang berbondong-bondong untuk memusnahkannya? Kenapa UNICEF, misalnya, rela menghabiskan anggaran sampai milyaran atau bahkan trilyunan untuk menerapkan program-program pencegahannya ke seluruh penjuru dunia? Saya pikir riset yang dilakukan oleh mereka jauh lebih mendetail daripada sekedar ke-soktahu-an kita.
Jawaban yang menurut saya paling tepat adalah bukan perundungan yang membuat mentalnya semakin kokoh, tapi karena semangat dan dukungan yang diterima dari orang-orang sekeliling dan lingkungannya. Dan situasi seperti ini bisa diperoleh bukan hanya setelah mengalami perundungan. Kapan? Ketika dia mendapatkan ujian hidup, misalnya. Bukan dari sesuatu yang disengaja. Toh, pun tidak semua orang ternyata bisa bangkit dari keterpurukannya. Sebagian dari kalian mungkin masih fresh ingatannya dengan berbagai kasus bunuh diri yang terjadi karena perundungan. Atau mau diingatkan kembali?

Check it out...

(gambar diambil dari power point yang dibuat sama mas Derry)

Jaman now, perundungan tidak hanya terjadi di dunia nyata, tapi di dunia maya juga. Jenis ini disebut juga cyber bullying, perundungan tipe keempat setelah fisik, verbal dan sosial. Cyber bullying ini menyebabkan komentar hate speech bertebaran di mana-mana. Tanpa peduli kenal atau tidak. Seakan lupa kalau semua yang dilakukan akan dimintai pertanggungjawabannya, sekecil dzarrah pun, seremeh mengetikkan kata di kolom komentar.
Jadi, apa yang harus kita lakukan, buddies? Sepertinya tingkat kepekaan kita masih kurang. Saya sangat setuju bila ada yang mengusulkan untuk menegur secara langsung orang-orang yang melakukan tindakan perundungan, menasihatinya dengan pelan. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika orang tersebut lebih tua dari kita. Alih-alih ucapan terima kasih, yang kita dapatkan hanyalah kalimat-kalimat menyudutkan serupa, “eh, anak kecil kok menasihati orang tua yang jauh lebih berpengalaman menelan banyak garam”. Meskipun saya percaya bahwa masih banyak orang-orang yang ingin mendengarkan pendapat anak kecil seperti saya.
Kalau tidak mau mengobati, ya kita harus mencegah. Kalau tidak bisa melarang, setidaknya kita tidak melakukan hal yang sama. Kalau belum bisa mengajak orang lain, setidaknya kita mulai dari diri kita sendiri. Berdoa saja semoga besok lusa akan ada seseorang yang mau mengikuti langkah kita. Kita memang tidak bisa memaksa orang lain, tapi kita bisa mendoakannya untuk berubah menjadi lebih baik. Saya pun butuh doa-doa dari buddies sekalian. Dan yang paling keren adalah ikut terjun langsung di program-program yang ada. Banyak, kok, komunitas-komunitas dan NGO yang masih peka melihat masalah ini! – yang mungkin sebagian besar orang menganggapnya bukan masalah serius.
-

P.s. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah menyadarkan saya. Orang-orang yang membagikan ilmunya seputar perundungan kepada saya. Mas Derry, Miss Emily, Miss Lucy, Kak Ju, dan rekan-rekan UNICEF lainnya. Orang-orang yang memberikan kesempatan untuk terlibat, Bu Faridah, Bu Farida, dan bapak ibu pahlawan Yayasan Indonesia Mengabdi lainnya. Kak Ilo, Kak Irma, Kak Sinta, Kak Yusri, dan Auzan, teman-teman fasil yang selalu semangat menyebarkan virus anti-bully. Selamat satu tahun berkolaborasi!

Wednesday 8 November 2017

Kids Jaman Now

Kids jaman now itu haus perhatian, benar-benar haus!

Tulisan ini tercipta karena kepopuleran kata kids jaman now. Saking populernya, hampir tiap jam saya tidak sengaja membaca atau tidak sengaja mendengar kata tersebut dilontarkan. Entah secara nyata atupun melalui media sosial. Selayaknya manusia yang tidak ingin ketinggalan zaman, saya sendiri sudah beberapa kali menggunakan kata-kata yang sedang menjadi tren tersebut. Entah secara langsung, ataupun melalui status yang diunggah ke media sosial.

Semakin ke sini, semakin tua bumi, semakin canggih teknologi, semakin aneh pola tingkah laku manusia. Aneh bagi orang-orang yang hidup di zaman yang berbeda. Tapi bagi mereka yang hidup di zaman yang sama, mungkin akan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Kendati demikian, mereka yang dibekali akal yang ‘sehat’ dan lingkungan yang ‘waras’, meski pun hidup di zaman yang sama, maka tetap akan merasakan keanehannya. Dan begitu lah yang sedang saya (dan mungkin sebagian kamu) rasakan.

Kita hidup pada zaman di mana akses informasi dari belahan bumi satu dengan belahan bumi lainnya yang terpisah jutaan mil dapat diperoleh hanya dengan satu kali klik dengan kecepatan yang tidak sampai satu menit. Kecanggihan tersebut mengikis dinding-dinding dan memutus jala-jala yang seharusnya menjadi penyaring kecocokan dan ketidakcocokan, kepantasan dan ketidakpantasan, kelayakan dan ketidaklayakan. Dengan begitu, budaya dari satu tempat sangat mudah terbawa arus ke tempat lain tidak peduli sejauh apa pun jaraknya. Menjadikan budaya yang sebelumnya sangat asing, menjadi sangat akrab dan berbaur dengan budaya setempat. Mudah diterima, menjadi bahan konsumsi, layaknya micin yang menjadi bumbu dapur utama di setiap masakan.

Okay. Back to kids jaman now.

Selain sebutan kids jaman now, manusia-manusia yang lahir di abad 21 – yang sering main ke 21 – itu juga disebut dengan generasi micin. Kenapa? Ya, mungkin karena tingkahnya seperti orang-orang yang mengonsumsi monosodium glutamate dengan dosis yang berlebihan – yang konon sangat dihindari ibu hamil karena dapat membuat calon bayi yang dikandungnya mempunyai kemampuan berpikir yang rendah alias bodoh. Ya mau diapakan lagi, toh produk-produk zaman now juga dilumuri micin. Saya malah sempat berpikir jangan-jangan si asing yang membuka banyak franchise di Indonesia memang sengaja melumuri micin di setiap produknya untuk melemahkan daya pikir anak-anak Indonesia. Biar nanti kalau mereka beranjak dewasa tidak sempat kepikiran untuk menghidupkan produk lokal dan mengusir si asing yang berkuasa.

Aneh, abnormal, atau mungkin, lucu dan menggemaskan menjadi ciri setiap unggahan status, foto atau video yang social-media-able, mengundang gelak tawa dan komentar sarkasme dari orang-orang yang sesungguhnya telah mendzolimi generasi yang diharapkan mampu menjadi emas di tahun 2045.

Tidak sedikit pula yang membanding-bandingkan tingkah aneh kids jaman now dengan kids jaman old. Termasuk saya. Kalau kita berteman instagram sejak setahun lebih yang lalu, mungkin kamu masih ingat dengan potongan caption yang disandingkan dengan foto bersama dua orang teman kecilku:

Zaman kanak-kanak kami dipenuhi banyak sekali permainan yang menyenangkan; asing-asing, bom, boy, layang-layangan, manjat pohon lobe-lobe, lompat tali, tukar binder, wayang, beklan, dan masih banyaaaaaaak yang lainnya. Sinetron tontonan kami? Uh, mendidik sekali. Ada si Eneng, si Entong, si Mamat, eh, ada Ronaldowati juga. Dulu di tempat mengaji kami, kalau kuku panjang pasti dipukul pakai mistar kayu, tapi kami tidak pernah panggil orang tua untuk memarahi guru mengaji kami.

Sedangkan, kids jaman now lebih memilih untuk bermain game yang menjadikannya kenal dengan kawan nun jauh di sana, bermain sosial media yang mendekatkan yang jauh namun menjauhkan yang dekat, atau mungkin disuguhi tontonan yang akhirnya membuat mereka bermain pacar-pacaran mami-papi ayah-bundaan? – Eh, apa? Oh, serius pacaran, ya? Bukan main-main aja? Kalau gitu segera di-resmi-in dong. Hehe.

Apa yang membuat kondisi dulu dan kondisi sekarang yang terpaut sepuluh tahun itu berubah seratus delepan puluh derajat? Ya! Teknologi yang begitu derasnya menghujam kita. Akses informasi yang begitu mudahnya sampai ke tempat kita. Tidak peduli fakta atau hoaks. Semuanya dengan mudah dikonsumsi publik. Dan hal itu semua pun sangat mudah diperoleh sama kids jaman now. Sayangnya, mereka masih terlalu lugu untuk memilah mana yang boleh direplikasi dan mana yang tidak boleh.

Semua dikonsumsi, semua ditiru, tidak peduli hal itu benar atau salah. Pokoknya satu, yaitu bisa menjadi populer, mengikuti zaman, tidak kampungan, mendapatkan perhatian dan pengakuan hingga pada suatu ketika mereka akhirnya menjadi bahan ejekan, olok-olokan, candaan dan tertawaan orang-orang yang memiliki akal sedikit sehat.

Mengapa sedikit sehat? Karena orang-orang yang sepenuhnya sehat akan memandang hal tersebut sebagai hal yang sangat menyedihkan hingga tak layak sama sekali untuk ditertawakan. Layaknya orang meninggal, orang-orang seharusnya bersedih, bukan bergelak tawa. Nah, apa yang meninggal? Mari sama-sama berbela sungkawa atas moral yang perlahan tapi pasti, meninggalkan batang tubuh dan jiwa sanubari kids jaman now.

"Miris ya lihat adek-adek sekarang!"

Miris memang. Miris sekali. Sangat miris. Miris banget. Miris semiris-mirisnya.

Terus, kalau miris kita harus apa? Ikut andil menyebar-luaskan status, foto, dan video kids jaman now kepada para followers untuk sekedar dapat like atau komentar yang ramai? Biar orang-orang tahu kalau, wah, betapa lucu dan menggemaskannya adik kita yang satu ini? Atau, eh, ternyata kids jaman now itu (maaf) seburuk dan segoblok ini, loh! Lah, kids jaman now (sekali lagi maaf) buruk dan goblok itu karena siapa? Karena dirinya sendiri yang tidak dapat menyaring kepantasan dan ketidakpantasan budaya yang bahkan orang dewasa pun sulit untuk membendungnya? Coba sejenak tengok the old jaman now yang tengah asyik mengonsumsi video ‘lucu’ saat sedang rapat mengadu nasib bangsa.

Jika si the old yang seharusnya punya pikiran matang saja bisa se’khilaf’ itu, apalagi si kids yang masih dalam proses mencari jati diri. Terkadang, menghujat dan megolok-olok itu memang mudah. Parahnya, kita tidak sadar bahwa kita sedang menghujat dan mengolok-olok seseorang dan buntu akan solusinya. Maka akan jauh lebih berfaedah bila saja kita membantu si kids menemukan jati diri dengan versi yang pahlawan pendiri bangsa kita inginkan.

Sekali lagi, tolong bantu saya menjawabnya, untuk apa semua aib itu disebar? Eh, atau ada yang menganggapnya bukan aib, ya? Berarti kamu termasuk ke dalam orang-orang yang kurang peka dan kurang piknik. Maaf.

Semoga kids jaman now yang dengan lugunya meniru idola termehek-mehek mereka hanya karena ingin mendapat perhatian publik dan ingin populer – karena memang demikian nafsu di usia remaja bekerja dan akan menjadi parah bila tidak dapat dikendalikan – kelak diberi petunjuk dan jalan yang terang oleh yang maha kuasa.


Jadi, solusinya apa? Saya pun bingung, sobat. Saya harap yang maha pemberi petunjuk selalu memberikan peta terbaiknya kita semua.