Oleh: Firda Amalia H
Merpati
putih beterbangan dengan bebasnya di bawah langit sore. Desiran sepoi-sepoi
menyapa tubuh yang baru saja bersandar pada bongkahan batu. Terlihat dari jauh
kapal-kapal yang akan tiba dan baru saja beranjak dari dermaga. Ombak mengalun
tenang menuju bibir pantai. Seakan tahu bahwa ia adalah tempat melepas penat,
Pantai Losari memang selalu menyuguhkan pemandangan indah di sore hari.
Ketenanganku
terusik ketika mataku beradu dengan mata seorang pemuda. Gitar cokelatnya mengalung.
Celananya sobek. Kaos oblongnya terlihat dibalik jaket kulit yang ia kenakan.
Rambut gondrong nyaris menutupi matanya. Seorang pengamen Losari yang nampaknya
sebaya denganku atau bahkan lebih muda. Semakin ia menghampiri, semakin aku
merasa cemas.
Tak
lama kemudian, pemuda itu sudah tepat berdiri di hadapanku. Kugenggam erat tas
jinjingku. Jantungku berdetak lebih cepat. Pikiranku mulai mengacau. Kulihat ke
arah kanan dan kiriku. Sepi. Jika terjadi hal yang buruk, mungkin tak ada yang
bisa menolongku. Melihat raut cemas dari wajahku, pemuda itu mulai memetik
gitarnya.
“Ibu
kota… Begitu sadis nasibmu. Rakyatmu terlantar, kelaparan, menjerit kesakitan
atas pilu derita yang dialaminya. Tapi mengapa, kaum borjou tak pernah merasa
dirinya di atas kuasa dan menenggelamkan asa para rakyat jelata…”.
Berharap
segera lepas darinya, kuserahkan uang dua puluh ribu rupiah. Pemuda itu menatap
lembaran berwarna hijau itu dengan lekat. Nampaknya kurang. Kukeluarkan rupiah
lain berwarna biru tua. Bukannya malah pergi, pemuda itu duduk di sampingku,
membuatku semakin resah.
“Kenapa
ngasih sebanyak ini, kak?”, tanyanya.
Mulutku
membungkam.
“Kakak
bisa ngomong, kan? Kok diam?”, rupanya ia tak menyerah begitu saja untuk
mendapatkan sebuah jawaban.
“Buat
kamu, ambil aja, enggak usah banyak nanya”.
“Cuma
mau tahu aja. Soalnya jarang ada orang yang mau ngasih jajan sebanyak ini.
Kemarin-kemarin uang segini tuh hasil seharian. Nah, sekarang belum juga
semenit, eh udah dapat”.
Seolah
tak mengacuhkan resahku, pemuda itu terus berdalih.
“Orang-orang
jaman sekarang tuh kak, paling ngasihnya seribuan doang. Masih baik kalau
ngasih, kalau cuma dicuekin dan diusir, rasanya udah keterlaluan banget. Mereka
seolah-olah gak ngehargain usaha kita. Padahal kalau menurut aku nih kak, jauh lebih
mendingan ngamen daripada ngemis yang kerjanya cuma minta-minta doang”.
Mata
kami kembali berjumpa. Ia melemparkan senyum kecil. Namun, raut wajahnya tak
dapat menyembunyikan kekecewaan. Mungkin karena sedari tadi mulutku membisu
atau karena sikap orang-orang yang tak acuh terhadapnya. Entahlah.
“Kakak
mahasiswa, ya?”.
Aku
mengangguk.
“Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, kan?”.
“Tahu
darimana dia?”, gumamku dalam hati.
“Gak
usah heran gitu, kak. Aku baca pin di tas kakak. Kak, sebagai mahasiswa di fakultas
kakak itu harusnya kakak lebih banyak bersosialisasi sama masyarakat – apalagi masyarakat
kecil seperti aku ini – yang sangat kurang dari segi ekonominya. Aku cuma satu
diantara puluhan juta masyarakat di negeri ini yang mengharapkan kakak dan
teman-teman kakak di fakultas kakak itu bisa memperbaiki nasib kami di masa
depan”.
Aku
menelan ludah. Pernyataannya barusan bagaikan bom yang baru saja mendarat tanpa
aba-aba.
“Tapi
aku percaya, kalau nanti kakak sudah kerja pasti bakalan jadi orang yang baik.
Sekarang aja kakak mau ngasih uang sebanyak ini sama Pengamen Losari”.
Padahal
aku mengeluarkan beberapa rupiah hanya agar dia cepat-cepat pergi dariku.
“Eh,
makasih yah kak atas apresiasinya. Lagu yang tadi itu ciptaan aku sendiri, loh.
Senang bisa bertemu sama kakak. Belajar yang tekun kak biar benar-benar dapat
ilmunya, dan biar bisa jadi politikus yang intelek. Nanti kalau udah dapat
jabatan di negeri ini, jangan lupa sama rakyat kecil”.
Ia
lalu berdiri dari tempat duduknya.
“Langit
udah mulai gelap, pamit dulu ya, kak”.
Ia
beranjak diiringi mentari yang mulai menurun seolah akan tenggelam di dalam
Laut Losari. Keheningan mulai meraba. Seluruh yang diucapkan pemuda tadi kini
terngiang-ngiang di telingaku. Aku mulai bertanya-tanya kepada diriku sendiri.
Apakah aku belajar untuk kemaslahatan bangsa di masa depan atau semata karena
ingin mendapatkan gelar sarjana? Aku disadarkan oleh sebuah petuah dari Pengamen
Losari.
-Selesai-