Tuesday 29 March 2016

Cerpen: Petuah Pengamen Losari

Oleh: Firda Amalia H
Merpati putih beterbangan dengan bebasnya di bawah langit sore. Desiran sepoi-sepoi menyapa tubuh yang baru saja bersandar pada bongkahan batu. Terlihat dari jauh kapal-kapal yang akan tiba dan baru saja beranjak dari dermaga. Ombak mengalun tenang menuju bibir pantai. Seakan tahu bahwa ia adalah tempat melepas penat, Pantai Losari memang selalu menyuguhkan pemandangan indah di sore hari.
Ketenanganku terusik ketika mataku beradu dengan mata seorang pemuda. Gitar cokelatnya mengalung. Celananya sobek. Kaos oblongnya terlihat dibalik jaket kulit yang ia kenakan. Rambut gondrong nyaris menutupi matanya. Seorang pengamen Losari yang nampaknya sebaya denganku atau bahkan lebih muda. Semakin ia menghampiri, semakin aku merasa cemas.
Tak lama kemudian, pemuda itu sudah tepat berdiri di hadapanku. Kugenggam erat tas jinjingku. Jantungku berdetak lebih cepat. Pikiranku mulai mengacau. Kulihat ke arah kanan dan kiriku. Sepi. Jika terjadi hal yang buruk, mungkin tak ada yang bisa menolongku. Melihat raut cemas dari wajahku, pemuda itu mulai memetik gitarnya.
“Ibu kota… Begitu sadis nasibmu. Rakyatmu terlantar, kelaparan, menjerit kesakitan atas pilu derita yang dialaminya. Tapi mengapa, kaum borjou tak pernah merasa dirinya di atas kuasa dan menenggelamkan asa para rakyat jelata…”.
Berharap segera lepas darinya, kuserahkan uang dua puluh ribu rupiah. Pemuda itu menatap lembaran berwarna hijau itu dengan lekat. Nampaknya kurang. Kukeluarkan rupiah lain berwarna biru tua. Bukannya malah pergi, pemuda itu duduk di sampingku, membuatku semakin resah.
“Kenapa ngasih sebanyak ini, kak?”, tanyanya.
Mulutku membungkam.
“Kakak bisa ngomong, kan? Kok diam?”, rupanya ia tak menyerah begitu saja untuk mendapatkan sebuah jawaban.
“Buat kamu, ambil aja, enggak usah banyak nanya”.
“Cuma mau tahu aja. Soalnya jarang ada orang yang mau ngasih jajan sebanyak ini. Kemarin-kemarin uang segini tuh hasil seharian. Nah, sekarang belum juga semenit, eh udah dapat”.
Seolah tak mengacuhkan resahku, pemuda itu terus berdalih.
“Orang-orang jaman sekarang tuh kak, paling ngasihnya seribuan doang. Masih baik kalau ngasih, kalau cuma dicuekin dan diusir, rasanya udah keterlaluan banget. Mereka seolah-olah gak ngehargain usaha kita. Padahal kalau menurut aku nih kak, jauh lebih mendingan ngamen daripada ngemis yang kerjanya cuma minta-minta doang”.
Mata kami kembali berjumpa. Ia melemparkan senyum kecil. Namun, raut wajahnya tak dapat menyembunyikan kekecewaan. Mungkin karena sedari tadi mulutku membisu atau karena sikap orang-orang yang tak acuh terhadapnya. Entahlah.
“Kakak mahasiswa, ya?”.
Aku mengangguk.
“Fakultas Ekonomi dan Bisnis, kan?”.
“Tahu darimana dia?”, gumamku dalam hati.
“Gak usah heran gitu, kak. Aku baca pin di tas kakak. Kak, sebagai mahasiswa di fakultas kakak itu harusnya kakak lebih banyak bersosialisasi sama masyarakat – apalagi masyarakat kecil seperti aku ini – yang sangat kurang dari segi ekonominya. Aku cuma satu diantara puluhan juta masyarakat di negeri ini yang mengharapkan kakak dan teman-teman kakak di fakultas kakak itu bisa memperbaiki nasib kami di masa depan”.
Aku menelan ludah. Pernyataannya barusan bagaikan bom yang baru saja mendarat tanpa aba-aba.
“Tapi aku percaya, kalau nanti kakak sudah kerja pasti bakalan jadi orang yang baik. Sekarang aja kakak mau ngasih uang sebanyak ini sama Pengamen Losari”.
Padahal aku mengeluarkan beberapa rupiah hanya agar dia cepat-cepat pergi dariku.
“Eh, makasih yah kak atas apresiasinya. Lagu yang tadi itu ciptaan aku sendiri, loh. Senang bisa bertemu sama kakak. Belajar yang tekun kak biar benar-benar dapat ilmunya, dan biar bisa jadi politikus yang intelek. Nanti kalau udah dapat jabatan di negeri ini, jangan lupa sama rakyat kecil”.
Ia lalu berdiri dari tempat duduknya.
“Langit udah mulai gelap, pamit dulu ya, kak”.
Ia beranjak diiringi mentari yang mulai menurun seolah akan tenggelam di dalam Laut Losari. Keheningan mulai meraba. Seluruh yang diucapkan pemuda tadi kini terngiang-ngiang di telingaku. Aku mulai bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Apakah aku belajar untuk kemaslahatan bangsa di masa depan atau semata karena ingin mendapatkan gelar sarjana? Aku disadarkan oleh sebuah petuah dari Pengamen Losari.

-Selesai-