Kamis,
8 Desember 2011, siswa-siswi kelas IX.1 sedang merencanakan persiapan kejutan
untuk ma’am Retna, wali kelas kami yang menginjak usia 45 tahun.
“Maaf
anak-anak, ibu harus pergi karena ada urusan yang sangat penting. Jadi,
pertemuan hari ini berakhir cukup sampai disini. Masih ada 30 menit jam
pelajaran yang tersisa. Saya harap tidak ada diantara kalian yang ribut atau pun
keluar masuk saat jam proses belajar mengajar masih berlangsung”, kata Bu
Sukdiarti, guru Fisika kami.
Beberapa
menit setelah Bu Sukdiarti meninggalkan ruangan kelas, suasana kelas kami
menjadi ribut. Yah, itulah kondisi kelas IX.1 jika tidak guru. Aku, selaku
ketua kelas sudah seringkali memperingatkan kepada teman-teman yang seringkali
membuat onar. Namun apa daya, mereka tetap saja melakukan hal-hal yang
melanggar. Bila mereka dilarang, bukannya mendengar, tetapi makin menjadi-jadi.
Akan tetapi, bila dibiarkan begitu saja, teman-teman lain yang merasa terganggu
akan memarahiku dan berkata, ”Sebagai ketua kelas seharusnya kamu dapat
melarangnya!”. Aku jadi serba salah dibuatnya.
“Firda,
ini kesempatan yang bagus untuk mendekorasi ruangan kita!”, kata Wanda sang
sekretaris kepadaku.
“Iya.
Aku tahu kok! Tapi, kita selesaikan saja dulu tugas ini”, jawabku.
Setelah
menyelesaikan tugas yang diberikan, kami lalu mempersiapkan segala sesuatu yang
bersangkut-paut dengan kejutan itu.
“Bagusnya,
kita tempel di mana tulisan ini?”, tanya Ika.
“Hmm..
di sana!”, jawabku sambil menunjuk ke arah dinding yang berhadapan dengan pintu
masuk kelas kami.
Setelah
menempel karton bertuliskan ‘HAPPY BIRTHDAY MA’AM’ , aku lalu menarik kursi Aza
yang kemudian aku letakkan berhadapan dengan pintu masuk kelas kami.
Setelahnya, Wanda dan Nisa meletakkan kue tar di atas meja tersebut. Kami ingin
saat pesta kejutan itu ma’am duduk di kursi yang telah disediakan.
“Sstt,
jangan terlalu ribut. Ini masih jam belajar, belum jam istirahat! Apa kalian
mau kejadian satu minggu yang lalu saat kepala sekolah begitu tegas memarahi dan menceramahi kita
habis-habisan akibat ulah kalian para pembuat onar yang ribut, nyanyian serta
siulan dan alunan gendang bagai music rock
yang tidak karuan itu terulang kembali?”, kataku kepada teman-teman yang
membuat suasana kelas bagaikan pasar malam.
“Iya.
Jangan ribut! Gimana kalau entar kita salah orang? Apa kalian mau yang masuk
nanti Pak Kepala Sekolah lalu dengan anehnya kita menyanyikan lagu selamat
ulang tahun kepadanya?”, kata Asrul yang membuat seisi kelas menjadi tertawa.
Seketika
itu pula, suasana kelas menjadi lebih tenang. Namun, tidak berarti aku sudah
berhasil menghentikan ulah-ulah nakal si para pembuat onar. Beberapa menit
kemudian, mereka menghampiri kue tar yang terletak dengan rapi di atas meja
yang telah dihias.
“Jangan
kerumunin kuenya! Entar kalau jatuh gimana? Percuma ‘kan kita ngumpulin uang
sampai ngorbanin uang jajan kita demi mendapatkan kue ini?”, kata Khafipa.
Lagi-lagi,
para pembuat onar itu tak mendengar apa yang dikatakan oleh Khafipa yang lebih
akrab disapa udztadzah itu. Mereka tetap saja membentuk lingkaran lalu
mengitari kue itu sambil bernyanyi bagaikan aktor disinetron yang melakoni
tokoh pasien rumah sakit jiwa. Sudah banyak yang menegur mereka, namun teguran
itu hanyalah angin lewat bagi mereka. Aku dikejutkan dengan getaran meja tempat
terletaknya kue itu. Hampir saja kue itu terjatuh akibat ulahnya. Kenakalan teman-temanku itu
membuat kesabaranku melenyap. Tanpa pikir panjang aku langsung saja memukuli
mereka. Ternyata teman-temanku masih mempunyai kesadaran, hingga akhirnya
mereka dengan sendirinya menjauhi meja tersebut.
“Semuanya
sudah siap nih!”, lapor Ima.
“Eh,
korek untuk nyalain lilin enggak ada!”, kata Anggi.
“Kalau
itu gampang! Kita pinjam saja sama guru-guru di perpustakaan!”, kata Ika.
Obrolan
kami terhenti ketika terdengar suara ketukan dari pintu kelas kami. Pintu itu
dalam kondisi tertutup. Seseorang yang berdiri tepat dibalik pintu membuat
semuanya terkejut. Orang itu tampak mencoba membuka pintu kelas kami. Sedang
teman-teman berlari menuju bangku masing-masing. Seketika itu pula suasana
menjadi hening. Semua penghuni kelas memberikan tatapan tajam lurus ke arah
pintu. Jantung kami semua berdegup tak karuan. Siapakah sosok dibalik pintu itu?
Dan… ketika pintu itu terbuka perlahan-lah, sosok itupun mulai terbaca.
“Pak
Haris! Huufftt, bikin kaget aja. Kirain siapa!”, kata kami semua.
Aduh,
tidak terbayang jika yang masuk tadi itu Ma’am Retna, kejutan kami belum sepenuhnya
siap. Atau bagaimana jika yang masuk tadi itu Pak Kepala Sekolah? Pasti kelas
kami dapat omelan lagi.
“Tinggal
tiga menit lagi lalu jam istirahat!”, kata Nisa.
“Ayo
nyalakan lilinnya!”, kata Chandra.
“Eh,
tunggu dulu! Tapi siapa yang akan pergi memanggil ma’am?”, tanya Fitrah.
“Tenang
saja, aku, Ika dan Aza yang akan menjemputnya!”, kata Anggi meyakinkan kami.
Tttrrriiiiiiiiiiiinnnnggg!!!....
Bel panjang tanda istirahat baru saja berbunyi. Anggi, Ika dan Aza segera
berlari ke kelas VIII.1, tampat ma’am mengajar di hari itu. Sedangkan di kelas,
Ari, Wanda dan Rahma membakar lilin.
“Ma’am
gawat! Chandra dan Irfan berkelahi di kelas!”, lapor Anggi kepada ma’am dengan
ekspresi wajah yang panik.
Di
kelas, semua sibuk mengatur posisi. Ada Fatimah dan Alya yang berdiri di depan
pintu. Siswa lain membelakangi meja tempat kue tar agar tidak terlihat oleh
ma’am. Fatimah dan Alya telah mengaba-abakan kedatangan ma’am. Ketika aku
menengok di balik pintu dan ingin menghitung mundur, alangkah terkejutnya aku,
ternyata ma’am telah berada dihadapanku. Kulihat wajah ma’am sangat panik. Aku
rasa, ia mempercayai laporan Anggi, Ika dan Aza. Ma’am lalu membuka pintu.
“HAPPY
BIRTHDAY MA’AM!”, teriak kami semua.
Potongan-potongan
kertas kecil dihamburkan para pembuat onar seketika itu juga. Aku ikut terkejut
melihat itu semua, tak menyangka kejutan untuk ma’am akan semeriah ini. aku
melihat senyuman dari raut wajah siswa-siswi kelas IX.1. Potongan kertas yang
dihamburkan para pembuat onar menghasilkan butiran air bening yang terselip
dibalik kelopak mata ma’am. Aku tahu,
itu adalah air mata haru. Satu per satu dari kami menyalaminya dan memberikan
ucapan selamat.
“Wish
you all the best, Ma’am!”, itulah yang terlontar dari mulutku. Tetesan air mata
haru diperlihatkan sebagian dari kami, tak terkecuali aku.
Banyak
kejadian lucu yang yang terjadi pada saat pemotongan kue. Saat ma’am untuk
pertama kalinya memotong kue, banyak yang bertanya, “Untuk siapa potongan
pertama itu?”. Suasana kekeluargaan yang diselingi candaan sangat terasa saat
itu. Ari berkata, “Potongan pertama untuk siswa kesayangannya ma’am ataukah
siswa teladan”. Ma’am menjawab “semuanya
ma’am sayang!”. Irfan berkata, “Siswa teladan adalah Irfan Karunia Sahid, siswa
yang paling disayang!”. Semua tertawa. Aku tak mau kalah dan berkata, “Irfan
memang murid teladan, telat datang pulang duluan!”. Suasana semakin seru ketika
Ari melemparkan kue tar tepat menganai sasaran, yaitu wajah Irfan. “Muka Irfan
jadi mirip kue tar, tuh!”. Yang lain jadi ikut-ikutan. Aku juga terkena
lemparan.
Aku
dan teman-teman sangat bangga bisa membuat kejutan untuk ma’am. Kejutan untuk
ma’am tidak akan sukses bila tidak ada kerja sama yang baik oleh seluruh
siswa-siswi kelas IX.1. Walaupun kejutan itu sangatlah sederhana, namun amat
berarti bagi kami semua. Harapan kami ialah ‘semoga masa-masa ini dapat menjadi
kenangan yang indah dan membekas di hati semuanya!’.
No comments:
Post a Comment