Monday 28 December 2015

Kejutan Untuk Ma'am

Oleh: Firda Amalia H


Kamis, 8 Desember 2011, siswa-siswi kelas IX.1 sedang merencanakan persiapan kejutan untuk ma’am Retna, wali kelas kami yang menginjak usia 45 tahun.
“Maaf anak-anak, ibu harus pergi karena ada urusan yang sangat penting. Jadi, pertemuan hari ini berakhir cukup sampai disini. Masih ada 30 menit jam pelajaran yang tersisa. Saya harap tidak ada diantara kalian yang ribut atau pun keluar masuk saat jam proses belajar mengajar masih berlangsung”, kata Bu Sukdiarti, guru Fisika kami.
Beberapa menit setelah Bu Sukdiarti meninggalkan ruangan kelas, suasana kelas kami menjadi ribut. Yah, itulah kondisi kelas IX.1 jika tidak guru. Aku, selaku ketua kelas sudah seringkali memperingatkan kepada teman-teman yang seringkali membuat onar. Namun apa daya, mereka tetap saja melakukan hal-hal yang melanggar. Bila mereka dilarang, bukannya mendengar, tetapi makin menjadi-jadi. Akan tetapi, bila dibiarkan begitu saja, teman-teman lain yang merasa terganggu akan memarahiku dan berkata, ”Sebagai ketua kelas seharusnya kamu dapat melarangnya!”. Aku jadi serba salah dibuatnya.
“Firda, ini kesempatan yang bagus untuk mendekorasi ruangan kita!”, kata Wanda sang sekretaris kepadaku.
“Iya. Aku tahu kok! Tapi, kita selesaikan saja dulu tugas ini”, jawabku.
Setelah menyelesaikan tugas yang diberikan, kami lalu mempersiapkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan kejutan itu.
“Bagusnya, kita tempel di mana tulisan ini?”, tanya Ika.
“Hmm.. di sana!”, jawabku sambil menunjuk ke arah dinding yang berhadapan dengan pintu masuk kelas kami.
Setelah menempel karton bertuliskan ‘HAPPY BIRTHDAY MA’AM’ , aku lalu menarik kursi Aza yang kemudian aku letakkan berhadapan dengan pintu masuk kelas kami. Setelahnya, Wanda dan Nisa meletakkan kue tar di atas meja tersebut. Kami ingin saat pesta kejutan itu ma’am duduk di kursi yang telah disediakan.
“Sstt, jangan terlalu ribut. Ini masih jam belajar, belum jam istirahat! Apa kalian mau kejadian satu minggu yang lalu saat kepala sekolah  begitu tegas memarahi dan menceramahi kita habis-habisan akibat ulah kalian para pembuat onar yang ribut, nyanyian serta siulan dan alunan gendang bagai music rock yang tidak karuan itu terulang kembali?”, kataku kepada teman-teman yang membuat suasana kelas bagaikan pasar malam.
“Iya. Jangan ribut! Gimana kalau entar kita salah orang? Apa kalian mau yang masuk nanti Pak Kepala Sekolah lalu dengan anehnya kita menyanyikan lagu selamat ulang tahun kepadanya?”, kata Asrul yang membuat seisi kelas menjadi tertawa.
Seketika itu pula, suasana kelas menjadi lebih tenang. Namun, tidak berarti aku sudah berhasil menghentikan ulah-ulah nakal si para pembuat onar. Beberapa menit kemudian, mereka menghampiri kue tar yang terletak dengan rapi di atas meja yang telah dihias.
“Jangan kerumunin kuenya! Entar kalau jatuh gimana? Percuma ‘kan kita ngumpulin uang sampai ngorbanin uang jajan kita demi mendapatkan kue ini?”, kata Khafipa.
Lagi-lagi, para pembuat onar itu tak mendengar apa yang dikatakan oleh Khafipa yang lebih akrab disapa udztadzah itu. Mereka tetap saja membentuk lingkaran lalu mengitari kue itu sambil bernyanyi bagaikan aktor disinetron yang melakoni tokoh pasien rumah sakit jiwa. Sudah banyak yang menegur mereka, namun teguran itu hanyalah angin lewat bagi mereka. Aku dikejutkan dengan getaran meja tempat terletaknya kue itu. Hampir saja kue itu terjatuh  akibat ulahnya. Kenakalan teman-temanku itu membuat kesabaranku melenyap. Tanpa pikir panjang aku langsung saja memukuli mereka. Ternyata teman-temanku masih mempunyai kesadaran, hingga akhirnya mereka dengan sendirinya menjauhi meja tersebut.
“Semuanya sudah siap nih!”, lapor Ima.
“Eh, korek untuk nyalain lilin enggak ada!”, kata Anggi.
“Kalau itu gampang! Kita pinjam saja sama guru-guru di perpustakaan!”, kata Ika.
Obrolan kami terhenti ketika terdengar suara ketukan dari pintu kelas kami. Pintu itu dalam kondisi tertutup. Seseorang yang berdiri tepat dibalik pintu membuat semuanya terkejut. Orang itu tampak mencoba membuka pintu kelas kami. Sedang teman-teman berlari menuju bangku masing-masing. Seketika itu pula suasana menjadi hening. Semua penghuni kelas memberikan tatapan tajam lurus ke arah pintu. Jantung kami semua berdegup tak karuan. Siapakah sosok dibalik pintu itu? Dan… ketika pintu itu terbuka perlahan-lah, sosok itupun mulai terbaca.
“Pak Haris! Huufftt, bikin kaget aja. Kirain siapa!”, kata kami semua.
Aduh, tidak terbayang jika yang masuk tadi itu Ma’am Retna, kejutan kami belum sepenuhnya siap. Atau bagaimana jika yang masuk tadi itu Pak Kepala Sekolah? Pasti kelas kami dapat omelan lagi.
“Tinggal tiga menit lagi lalu jam istirahat!”, kata Nisa.
“Ayo nyalakan lilinnya!”, kata Chandra.
“Eh, tunggu dulu! Tapi siapa yang akan pergi memanggil ma’am?”, tanya Fitrah.
“Tenang saja, aku, Ika dan Aza yang akan menjemputnya!”, kata Anggi meyakinkan kami.
Tttrrriiiiiiiiiiiinnnnggg!!!.... Bel panjang tanda istirahat baru saja berbunyi. Anggi, Ika dan Aza segera berlari ke kelas VIII.1, tampat ma’am mengajar di hari itu. Sedangkan di kelas, Ari, Wanda dan Rahma membakar lilin.
“Ma’am gawat! Chandra dan Irfan berkelahi di kelas!”, lapor Anggi kepada ma’am dengan ekspresi wajah yang panik.
Di kelas, semua sibuk mengatur posisi. Ada Fatimah dan Alya yang berdiri di depan pintu. Siswa lain membelakangi meja tempat kue tar agar tidak terlihat oleh ma’am. Fatimah dan Alya telah mengaba-abakan kedatangan ma’am. Ketika aku menengok di balik pintu dan ingin menghitung mundur, alangkah terkejutnya aku, ternyata ma’am telah berada dihadapanku. Kulihat wajah ma’am sangat panik. Aku rasa, ia mempercayai laporan Anggi, Ika dan Aza. Ma’am lalu membuka pintu.
“HAPPY BIRTHDAY MA’AM!”, teriak kami semua.
Potongan-potongan kertas kecil dihamburkan para pembuat onar seketika itu juga. Aku ikut terkejut melihat itu semua, tak menyangka kejutan untuk ma’am akan semeriah ini. aku melihat senyuman dari raut wajah siswa-siswi kelas IX.1. Potongan kertas yang dihamburkan para pembuat onar menghasilkan butiran air bening yang terselip dibalik kelopak mata ma’am.  Aku tahu, itu adalah air mata haru. Satu per satu dari kami menyalaminya dan memberikan ucapan selamat.
“Wish you all the best, Ma’am!”, itulah yang terlontar dari mulutku. Tetesan air mata haru diperlihatkan sebagian dari kami, tak terkecuali aku.
Banyak kejadian lucu yang yang terjadi pada saat pemotongan kue. Saat ma’am untuk pertama kalinya memotong kue, banyak yang bertanya, “Untuk siapa potongan pertama itu?”. Suasana kekeluargaan yang diselingi candaan sangat terasa saat itu. Ari berkata, “Potongan pertama untuk siswa kesayangannya ma’am ataukah siswa teladan”.  Ma’am menjawab “semuanya ma’am sayang!”. Irfan berkata, “Siswa teladan adalah Irfan Karunia Sahid, siswa yang paling disayang!”. Semua tertawa. Aku tak mau kalah dan berkata, “Irfan memang murid teladan, telat datang pulang duluan!”. Suasana semakin seru ketika Ari melemparkan kue tar tepat menganai sasaran, yaitu wajah Irfan. “Muka Irfan jadi mirip kue tar, tuh!”. Yang lain jadi ikut-ikutan. Aku juga terkena lemparan.
Aku dan teman-teman sangat bangga bisa membuat kejutan untuk ma’am. Kejutan untuk ma’am tidak akan sukses bila tidak ada kerja sama yang baik oleh seluruh siswa-siswi kelas IX.1. Walaupun kejutan itu sangatlah sederhana, namun amat berarti bagi kami semua. Harapan kami ialah ‘semoga masa-masa ini dapat menjadi kenangan yang indah dan membekas di hati semuanya!’.

No comments:

Post a Comment