Oleh Firda
Amalia H
“Ayolah,
jangan nangis lagi, Din!” Kata Suci seraya mengelus pundak Dina.
“Tidak,
Ci! Aku tidak mau berhenti nangis!” Ucap Dina tersedu-sedu.
“Memangnya
ada masalah apa lagi kamu dengan ibumu?” Tanya Suci.
“Aku
capek, Ci! Ibuku tidak bisa mengerti aku!” Teriak Dina.
Pembicaraan
mereka sempat terhenti ketika Bik Ratih, ibu Suci membawa secangkir bajigur dan
sepiring pisang goreng untuk mereka. Siang itu, hujan deras disertai kilat dan
petir. Dina sedang berada di rumah sahabatnya, Suci bercerita tentang sikap
ibunya yang terlalu memanjakannya.
“Kok
perempuan tangguh sepertimu ini bisa nangis? Ada apa, nak?” Tanya Bik Ratih.
“Bibi..”
Kata Dina yang lalu memeluk ibu sahabatnya.
“Jangan
cengeng gitu ah, Din!” Ujar Suci.
“Aku
nangis bukan berarti aku cengeng, tapi aku sudah terlalu sabar menghadapi ibu!”
Kata Dina.
“Kamu
tahu masalah Dina apa, Ci?” Tanya Bik Ratih kepada anaknya.
“Tidak
tahu, Bu! Dia datang-datang eh langsung nangis. Yang dia sebutin cuman ibunya.
Din, jangan putus asa gitu dong! Nanti ibu kamu pasti ngerti apa yang kamu
rasain!” Nasihat Suci pada Dina sahabatnya.
“Tidak,
Ci! Aku tidak pernah putus asa, kok! Malahan aku mati-matian mempertahankan segala
kemauanku yang selalu ditentang ibu!” Balas Dina.
“Ibu
kamu sangat sayang sama kamu. Dia tidak mungkin melarangmu kalau hal itu wajar
kamu lakukan. Kamu anak perempuan satu-satunya di keluargamu. Wajarlah kalau
orang tuamu selalu melebih-lebihkanmu. Renungkan itu, Nak!” Ujar Bik Ratih.
“Ibu
itu sangat menyebalkan, bi. Aku tidak mau terus-terus dimanjakan. Aku sudah capek
dimanja terus. Lagian, aku kan sudah besar, sudah tahu mana yang salah dan mana
yang benar” Ucap Dina kesal.
“Din,
coba bayangkan kalau seandainya kamu jadi Tina. Kamu tahu kan kalau ibu Tina
itu sudah meninggal. Padahal, Tina masih sangat membutuhkan ibunya. Setiap ia
melihat kita dan teman-teman bersama ibu kita, dia pasti menangis. Dia sedih
karena ibunya telah pergi meninggalkan dia untuk selama-lamanya. Sudah tidak
ada lagi yang memerhatikan dia. Lah, kamu kok malah tidak mau sih punya ibu?” Suci
terus mencoba meredamkan tangis sahabatnya.
“Nak,
kamu harusnya bersyukur mempunyai seorang ibu yang sangat sayang sama kamu.
Tidak ada seorang ibu yang tega melihat anaknya sedih dan menderita. Sakit hati
yang kau rasakan saat ini tidak sebanding dengan rasa sakit ketika ibumu
melahirkanmu. Disitulah perjuangan dan pertarungan hidup dan matinya. Sekarang,
kau menangisi ibumu yang sangat sayang padamu. Seolah-olah, kamu tak
menginginkannya. Sangat berbanding terbalik saat ibumu akan melahirkanmu. Saat
itu, ia tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Kau tahu apa arti di balik
air mata itu? Air mata itu melambangkan begitu kerasnya perjuangan seorang ibu.
Berjuang melawan rasa sakit yang ia rasakan. Berjuang mempertahankan nyawa
anaknya. Bahkan ia rela menukar nyawanya dengan nyawa anaknya. Kenangan
terindah bagi seorang ibu ialah saat ia tersenyum melihat kelahiranmu, bayi
yang begitu menggemaskan. Betapa senang hatinya saat mendengar tangisan
pertamamu. Ia merasa bangga karena telah melahirkanmu. Ia bangun tengah malam
untuk memberikanmu ASI agar kamu dapat bertahan hidup. Sadarkah kamu akan hal
itu, nak? Beruntunglah kamu bisa melihat dan memandangi wajah ibumu. Tapi,
bagaimana dengan anak yang ditinggal ibunya sejak ia kecil atau bahkan
baru lahir? Apakah kau tak membayangkan
bagaimana perasaan anak itu? Ibumu telah merawatmu dari kecil hingga besar dan
mengajarimu cara berperilaku yang baik. Ingatkah pula saat ibumu mengajarkanmu
kata yang indah yaitu, ‘Mama’? Hingga akhirnya kamu tumbuh menjadi sosok gadis yang
cantik dan cerdas? Itu hanya sebagian kecil dari segala hal luar biasa yang
dilakukan seorang ibu. Bibik rasa, tak ada seorang pun yang mampu melukiskan
betapa besarnya perjuangan seorang ibu. Ada sebuah kisah ketika Rasulullah
ditanyai oleh seorang lelaki, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling
berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?’, Rasulullah pun menjawab, ‘ibu’, lau
lelaki itu kembali bertanya, ‘lalu siapa?’, Rasulullah kembali menjawab ‘ibu’,
kemudian lelaki tadi menanyakan hal yang sama, ‘kemudian siapa?’, Rasulullah
menjawab lagi ‘ibu’, untuk keempat kalinya lelaki itu bertanya, ‘selanjutnya
siapa lagi?’, barulah Rasulullah menjawab ‘ayah’. Bayangkan, Rasulullah telah
menyebut ibu tiga kali sebagai orang yang harus kita muliakan. Satu hal lagi
yang harus selalu kamu ingat, berbuat baik kepada kedua orang tua itu salah
satu jihad di jalan Allah, nak!” Kata Bik Ratih yang berusaha menyadarkan Dina.
Air
mata Dina mengalir semakin deras, sederas hujan di siang itu. Ia membayangkan
betapa besar perjuangan ibu yang merawatnya dari lahir sampai sekarang ini. Bik
Ratih telah memberinya suatu pelajaran “Dibalik tangisanku karena ibu, ternyata
aku tidak menyadari betapa besarnya pengorbanan ibu untukku”. Selama ini Dina
tak pernah menyadari betapa cinta ibu terhadapnya melebihi apapun di dunia ini,
cintanya mungkin lebih dalam dari samudera dan lebih luas dari jagad raya.
“Apa
ibumu tahu kau ada di sini?” Tanya Suci.
“Tidak,
ibu tidak tahu aku di sini.” Jawab Dina
“Kau
harus memberitahunya, nak!”
Saat
ingin menelepon ibunya, betapa kagetnya ia saat melihat ada empat puluh
panggilan tidak terjawab dari nomor papanya. Dan saat ia menelepon balik, nomor
papanya sudah tidak aktif. Tentu saja ini adalah hal yang amat sangat penting.
Biasanya, jika hal itu tidak begitu penting papanya hanya beberapa kali saja
meneleponnya. Hanya saja, sesampainya di rumah, Dina langsung diberi tahu akan
hal tersebut.
“Ada
apa yah papa menelepon aku sampai ada empat puluh panggilan tak terjawab. Papa tidak
biasanya seperti ini. Pasti ini hal yang sangat penting.” Gumam Dina dalam
hati.
“Ada
apa, Din?” Tanya Suci.
“Tidak
ada apa-apa, kok! Hujan sudah reda nih, antar aku pulang, yah? Takut nanti
orang rumah pada khawatir” Jawab Dina.
“Ya,
gitu dong. Pastilah aku antar kamu pulang!” Ucap Suci.
“Kalian
hati-hati, yah! Jangan ngebut bawa sepeda! Awas, biasanya habis hujan begini
jalananya pasti licin!” Nasihat singkat Bik Ratih.
Jarak
rumah Dina dan Suci tidak terlalu jauh. Sekitar sepuluh menit dalam perjalanan,
mereka sudah tiba di depan kompleks perumahan Citra Harapan. Betapa kagetnya
mereka ketika melihat bendera putih berkibar di pintu kompleks tempat Dina
tinggal itu.
“Innalillahi
wa innailaihi rojiun.” Ucap Suci dan Dina serentak, kepanikan sangat jelas
terlihat dari raut wajah mereka.
“Pak,
kalau boleh tahu siapa yang meninggal?” Tanya Suci kepada salah seorang satpam
yang sedang berjaga.
“Itu
Dek, keluarga pengusaha terkenal yang tinggal di Blok-C” Jawab pak satpam singkat.
“Loh,
itukan blok rumah aku, Ci! Ayo kita harus cepat-cepat sampai nih!” Ucap Dina
yang kepanikannya semakin memuncak.
Betapa
hancur hati Dina ketika melihat bendera putih di depan rumahnya. Air matanya
mengalir deras membasahi pipinya. Ia kemudian berlari ke pintu rumahnya,
disusul Suci di belakangnya. Tidak seorang pun orang di rumah tersebut menyadari
kehadirannya.
Tatapan
Dina lurus ke arah jasad yang ditutupi kain kafan. Ia melihat papanya sedang
menangisi jasad itu. Sosok ibunya lalu terbayang di pikiran Dina. Ia teringat
oleh perkataan Bik Ratih. Membayangkan saat ibunya menangis karena
kenakalannya, mengingat saat ibu memarahinya, saat ibu menyuapinya, saat ibu
menjadi teman curhatnya, saat ibu mengantarnya saat pertama kali masuk sekolah,
saat ibu menyanyikan lagu tidur untuknya, membuatnya merasa tenang,
membayangkan wajah ibu selagi senyum, marah, tertawa dan bahagia. Segala memori
bersama ibu terputar seketika itu juga
“Bu,
aku belum pamitan, belum meminta maaf, aku juga belum pernah membahagiakan ibu.
Aku belum menjadi anak yang baik, aku tidak pernah menyadari betapa besar
perjuangan ibu. Aku belum siap ditinggal ibu! Belum siap! Kini aku baru sadar betapa
sayangnya ibu padaku, ibu sangat perhatian padaku, tak pernah sekalipun ingin
menyakitiku. Ibu, jangan pergi dulu, yah? Aku masih membutuhkan ibu! Aku belum
sempat berpamitan dan meminta maaf kepada ibu” Katanya diiringi isak tangis.
“Dina?”
Ucap Suci
“Iiibuuuuuuuuuuuuu!!!”
Teriak Dina membuat semua orang berbalik ke arahnya.
“Dina?”
seseorang dengan suara halus menepuk pundak Dina.
Dina
lalu berbalik ke arah orang itu.
“Ibu”
Kata Dina sambil memeluk wanita itu.
“Ada
apa, Dina? Kenapa kamu teriak memanggil ibu, sayang?” Tanya wanita itu.
“Bu,
maafin Dina yang pergi tanpa pamit sama Ibu!” Dina berkata sambil memeluk erat
ibunya.
“Iya
sayang. Bik Ratih sudah kasih tahu ibu kalau tadi kamu main sama Suci!” Kata
wanita itu.
“Yang
ditutupi kain kafan itu jasad siapa, tante?” Tanya Suci.
“Oh,
itu jasad seorang petani yang tersambar petir di kaki gunung. Papa Dina
menemukannya saat melakukan penelitian di tempat itu. Setelah papa Dina
melihatnya baik-baik, ternyata dia orang yang pernah menyelamatkan papa Dina
saat terhanyut di sungai lima tahun yang lalu” Jelas Ibu Dina
“Innalillahi
Wa Innailaihi Rojiun.” Dina dan Suci turut berbela sungkawa.
-SELESAI-