Setiap akan meninggalkan rumah,
saya pasti mencium tangan bahkan kening ibu. But, is it enough?
22
Desember 2017 di Insta story, whatsApp story, dan wall Facebook, ramai
berhiaskan dengan tulisan “Happy Mother’s
Day!”. Sepaket dengan selfie bersama ibu tercinta. Ada juga yang mengunggah
selembar foto kenangan bagi mereka yang telah ditinggal sang ibunda. Maka, semoga
ibu kita semua senantiasa berada dalam lindungan-Nya dan kelak ditempatkan di
surga-Nya. Aamiin.
Beberapa
hari yang lalu, saya sempat menulis di insta story, dan saya pun menjadikannya highlight. Sebagaimana janji saya di
salah satu kalimatnya bahwa saya akan menceritakannya di blog, maka terciptalah
tulisan ini. Tulisan dari proses perenungan. Padahal, jauh sebelum tulisan ini
dipikirkan, saya sudah menuliskan kerangka tulisan bertemakan family time, yang inti dari apa yang akan saya sampaikan, sebenarnya mirip.
Tapi, hingga tulisan ini saya buat, entah mengapa saya tidak pernah tahu
bagaimana cara menyelesaikan tulisan tersebut.
Highlight-nya
seperti ini:
Terkadang aku ingin punya kemampuan
untuk membelah dan mereplika diri.
Dan
satu-satunya paragraf yang ada di tulisan itu adalah:
“Salah
satu hal yang paling aku benci adalah ketika keluarga jauh yang sangat jarang
kutemui datang berkunjung, dan di saat yang bersamaan aku harus menghadiri
rapat atau kegiatan lain di mana aku menjadi salah satu orang (sok) pentingnya.
Dan aku sudah sangat sering berhadapan dengan hal tersebut.”
Suatu
waktu di masa liburan SMA, seorang tante yang sejak kecil saya anggap Mama
sendiri berpesan bahwa perbanyaklah ciptakan momen berkesan bersama keluarga.
“Walaupun momen sederhana, tapi itu cukup untuk membuatmu tersenyum. Momen
berkesan tidak harus pergi ke tempat wisata, justeru biasanya momen berkesan
itu akan datang tanpa direncakan. Sesedarhana kamu dan adikmu rebutan mie
kremes.”
Teguran
apakah yang gerangan saya maksud di insta story yang kujadikan highlight itu?
Hari
Senin, 18 Desember 2017, siang, waktu itu saya sedang berada di Kampus Teknik
Unhas menghadiri suatu kegiatan. Setelah makan siang, saya mengecek Hp yang
sedang diisi daya sejak beberapa jam yang lalu. Dan ketika saya mengaktifkan
data, muncullah beberapa miscall dari tante yang pada hari itu bersama ibu saya
mengunjungi kondangan sepupu jauh. Ada pesan juga yang mengatakan bahwa ibu
saya sedang berada di rumah sakit, habis kecelakaan. Pesan itu sejam yang lalu.
Pernah
mendapatkan situasi tersebut? Bagaimana rasanya? Apa yang pertama kali kamu
lakuakan? Kalau tidak pernah, semoga tidak akan pernah. J
Berdebar-bedar.
Tentu saja. Istighfar. Bertanya-tanya keadaan ibu saat itu sambil menelepon
sang tante. Histeris? Tidak. Menangis? Tidak. Panik? Sedikit. Kamu bisa
tanyakan ekspresiku pada seorang teman. Andry namanya. Akhirnya telepon saya
diangkat, tante bilang lukanya sedang dibersihkan. Sudah hampir selesai, dan
akan pulang ke rumah. Tante suruh matikan telepon karena sedang kerepotan
memegang banyak barang. Nada suaranya baik-baik saja. Maka aku pikir semuanya
sudah aman. Tapi, hati ini tetap gelisah. Telepon lagi, tanyakan ibu nanti
pulang naik apa. Sempat berpikir untuk ikut acara sampai selesai, tapi ternyata
rasa ingin tengok ibu lebih besar, jadilah saya meninggalkan tamu jauh, para
petinggi dari perusahaan yang telah memberikan beasiswanya pada saya.
Sesampainya
di rumah sakit bahkan ketika melihat kondisi ibu yang ternyata tidak
se-baik-baik-saja yang kupikirkan, entah mengapa air mataku tidak juga
mengalir. Tapi jangan tanya debar-debar di jantung ini yang makin lama makin
kencang. Satu, karena saya tidak mau menangis di depan ibu yang pada akhirnya
bisa jadi akan membuatnya sedih. Dua, mungkin kepanikanku mengalahkan
kesedihanku. Tiga, karena rasa syukurku. Saya merasa teramat sangat bersyukur
karena ternyata Allah masih memberikan kesempatan untuk berbakti lebih lama
lagi pada ibu.
Kata
orang yang entah siapa itu benar, hujan mampu memancing air mata terjatuh.
Ketika hujan deras terdengar mengamuk di atas atap rumah sakit, membasahi
aspal-aspal, saya keluar ruangan IGD bagian bedah – yang mulai ramai karena
kedatangan satu pasien lagi. Menuju jendela di sudut lorong. Menghayal beberapa
detik, sontak air mataku terjatuh.
Ya,
mungkin ini adalah teguran dari-Nya. Teguran agar saya rehat sejenak dari
segala aktivitas yang begitu menyibukkan, membuat saya jarang di rumah. Agar
saya lebih banyak lagi memanfaatkan waktu libur semester ini dengan ibu dan
keluarga. Mungkin hanya dengan cara seperti ini aku bisa dicegah.
Ibu
tidak pernah melarangku. Ya. Tidak pernah. Beliau selalu menunjukkan
kekhawatiran, tetapi tidak sampai melarang. Ibu tidak pernah melarang pulang saat
matahari sudah terbenam bahkan menginap di kost teman, meskipun teleponnya
tidak pernah absen, bersama kalimat andalannya, “hati-hati, jaga diri
baik-baik.” Ibu sangat mempercayai saya. Kepercayaan yang akhirnya membuat saya
sering lupa bahwa saya adalah seorang anak perempuan pertama dan satu-satunya
yang juga punya kewajiban membantu ibu mengurus rumah tangga.
Produktif
boleh, tapi jangan sampai lupa family
time.
Selamat
liburan dan selamat berbakti!
-
P.s.:
Kami mengucapkan terima kasih banyak atas doa-doa yang mengalir untuk ibu kami.
Semoga doanya kembali kepada teman-teman sekalian! Selamat hari Ibu, Ibu! Maaf
karena Firda belum bisa jadi apa-apa. Dan selamat hari Ibu untuk seluruh ibu di
dunia. Semoga senantiasa berada dalam lindungan-Nya. Aamiin.