Saturday 23 December 2017

Seremoni 22 Desember

Setiap akan meninggalkan rumah, saya pasti mencium tangan bahkan kening ibu. But, is it enough?

22 Desember 2017 di Insta story, whatsApp story, dan wall Facebook, ramai berhiaskan dengan tulisan “Happy Mother’s Day!”. Sepaket dengan selfie bersama ibu tercinta. Ada juga yang mengunggah selembar foto kenangan bagi mereka yang telah ditinggal sang ibunda. Maka, semoga ibu kita semua senantiasa berada dalam lindungan-Nya dan kelak ditempatkan di surga-Nya. Aamiin.

Beberapa hari yang lalu, saya sempat menulis di insta story, dan saya pun menjadikannya highlight. Sebagaimana janji saya di salah satu kalimatnya bahwa saya akan menceritakannya di blog, maka terciptalah tulisan ini. Tulisan dari proses perenungan. Padahal, jauh sebelum tulisan ini dipikirkan, saya sudah menuliskan kerangka tulisan bertemakan family time, yang inti dari apa yang akan saya sampaikan, sebenarnya mirip. Tapi, hingga tulisan ini saya buat, entah mengapa saya tidak pernah tahu bagaimana cara menyelesaikan tulisan tersebut.

Highlight-nya seperti ini:

Terkadang aku ingin punya kemampuan untuk membelah dan mereplika diri.

Dan satu-satunya paragraf yang ada di tulisan itu adalah:

“Salah satu hal yang paling aku benci adalah ketika keluarga jauh yang sangat jarang kutemui datang berkunjung, dan di saat yang bersamaan aku harus menghadiri rapat atau kegiatan lain di mana aku menjadi salah satu orang (sok) pentingnya. Dan aku sudah sangat sering berhadapan dengan hal tersebut.”

Suatu waktu di masa liburan SMA, seorang tante yang sejak kecil saya anggap Mama sendiri berpesan bahwa perbanyaklah ciptakan momen berkesan bersama keluarga. “Walaupun momen sederhana, tapi itu cukup untuk membuatmu tersenyum. Momen berkesan tidak harus pergi ke tempat wisata, justeru biasanya momen berkesan itu akan datang tanpa direncakan. Sesedarhana kamu dan adikmu rebutan mie kremes.”

Teguran apakah yang gerangan saya maksud di insta story yang kujadikan highlight itu?

Hari Senin, 18 Desember 2017, siang, waktu itu saya sedang berada di Kampus Teknik Unhas menghadiri suatu kegiatan. Setelah makan siang, saya mengecek Hp yang sedang diisi daya sejak beberapa jam yang lalu. Dan ketika saya mengaktifkan data, muncullah beberapa miscall dari tante yang pada hari itu bersama ibu saya mengunjungi kondangan sepupu jauh. Ada pesan juga yang mengatakan bahwa ibu saya sedang berada di rumah sakit, habis kecelakaan. Pesan itu sejam yang lalu.

Pernah mendapatkan situasi tersebut? Bagaimana rasanya? Apa yang pertama kali kamu lakuakan? Kalau tidak pernah, semoga tidak akan pernah. J

Berdebar-bedar. Tentu saja. Istighfar. Bertanya-tanya keadaan ibu saat itu sambil menelepon sang tante. Histeris? Tidak. Menangis? Tidak. Panik? Sedikit. Kamu bisa tanyakan ekspresiku pada seorang teman. Andry namanya. Akhirnya telepon saya diangkat, tante bilang lukanya sedang dibersihkan. Sudah hampir selesai, dan akan pulang ke rumah. Tante suruh matikan telepon karena sedang kerepotan memegang banyak barang. Nada suaranya baik-baik saja. Maka aku pikir semuanya sudah aman. Tapi, hati ini tetap gelisah. Telepon lagi, tanyakan ibu nanti pulang naik apa. Sempat berpikir untuk ikut acara sampai selesai, tapi ternyata rasa ingin tengok ibu lebih besar, jadilah saya meninggalkan tamu jauh, para petinggi dari perusahaan yang telah memberikan beasiswanya pada saya.

Sesampainya di rumah sakit bahkan ketika melihat kondisi ibu yang ternyata tidak se-baik-baik-saja yang kupikirkan, entah mengapa air mataku tidak juga mengalir. Tapi jangan tanya debar-debar di jantung ini yang makin lama makin kencang. Satu, karena saya tidak mau menangis di depan ibu yang pada akhirnya bisa jadi akan membuatnya sedih. Dua, mungkin kepanikanku mengalahkan kesedihanku. Tiga, karena rasa syukurku. Saya merasa teramat sangat bersyukur karena ternyata Allah masih memberikan kesempatan untuk berbakti lebih lama lagi pada ibu.

Kata orang yang entah siapa itu benar, hujan mampu memancing air mata terjatuh. Ketika hujan deras terdengar mengamuk di atas atap rumah sakit, membasahi aspal-aspal, saya keluar ruangan IGD bagian bedah – yang mulai ramai karena kedatangan satu pasien lagi. Menuju jendela di sudut lorong. Menghayal beberapa detik, sontak air mataku terjatuh.

Ya, mungkin ini adalah teguran dari-Nya. Teguran agar saya rehat sejenak dari segala aktivitas yang begitu menyibukkan, membuat saya jarang di rumah. Agar saya lebih banyak lagi memanfaatkan waktu libur semester ini dengan ibu dan keluarga. Mungkin hanya dengan cara seperti ini aku bisa dicegah.

Ibu tidak pernah melarangku. Ya. Tidak pernah. Beliau selalu menunjukkan kekhawatiran, tetapi tidak sampai melarang. Ibu tidak pernah melarang pulang saat matahari sudah terbenam bahkan menginap di kost teman, meskipun teleponnya tidak pernah absen, bersama kalimat andalannya, “hati-hati, jaga diri baik-baik.” Ibu sangat mempercayai saya. Kepercayaan yang akhirnya membuat saya sering lupa bahwa saya adalah seorang anak perempuan pertama dan satu-satunya yang juga punya kewajiban membantu ibu mengurus rumah tangga.

Produktif boleh, tapi jangan sampai lupa family time.

Selamat liburan dan selamat berbakti!
-


P.s.: Kami mengucapkan terima kasih banyak atas doa-doa yang mengalir untuk ibu kami. Semoga doanya kembali kepada teman-teman sekalian! Selamat hari Ibu, Ibu! Maaf karena Firda belum bisa jadi apa-apa. Dan selamat hari Ibu untuk seluruh ibu di dunia. Semoga senantiasa berada dalam lindungan-Nya. Aamiin.

Tuesday 19 December 2017

Apa Kah itu Keren? (Keren Kah?)

Apa kah itu keren?
Sekedar mengikuti yang sedang tren
Tak khawatir akan jadi permanen
Yang akhirnya melahirkan temperamen
Kepada mereka yang ingin dianggap tulen
Duh, kebiasaan buruk kok dijadikan panen

Apa kah itu keren?
Terbawa arus perubahan zaman
Terseret pun engkau tak melawan
Yang kacau balau jadi panutan
Tak peduli walau sikap seperti setan
Malu kau sembunyikan di bawah telapak tangan

Apa kah itu keren?
Ketika yang viral wajib untuk ditonton
Meski pun tema selalu monoton
Manfaat sekecil fito-plankton
Racunnya lebih mematikan dari mercon
Menjadikan hati lebih keras dari beton

Apa kah itu keren?
Menggelengkan kepala mata dipicingkan
Melemparkan batu-batu hujatan
Seolah tak mengenal kata perasaan
Perihnya melebihi cambukan rotan
Selamat tinggal wahai norma dan aturan

Apa kah itu keren?
Bencana besar telah tiba di halaman
Sebentar lagi akan merusak taman-taman
Gendang ditabuh mengisyaratkan ancaman
Tapi hanya sedikit yang mendengarkan alunan
Berbisik ke dalam nurani menyerukan panggilan

Lekas bergerak, bungkam jangan!
Luruskan shaf merapatkan barisan
Mari bersama lakonkan peran
Yang terlanjur lupa tolong ingatkan
Tuhan pasti bukakan jalan

Atas moral yang dikepung kebuntuan