Friday 24 November 2017

Belajar Lebih Peka

Kalau kamu merasa nyaman mem-bully seseorang, berarti ada masalah dengan hati kamu.
Tepat setahun yang lalu, saya telah membuat vlog tentang perundungan alias bullying dengan harapan orang-orang bisa sedikit peka melihat fenomena perundungan yang makin ke sini makin menjadi-jadi. Yang lebih parahnya lagi adalah seseorang tidak sadar kalau dia telah melakukan tindakan perundungan. Melihat semuanya baik-baik dan normal-normal saja. Please, open your eyes, buddies!
Kalau kamu menggunakan kekuatan fisik atau psikologis untuk melemahkan seseorang secara sengaja, berulang-ulang dan ada perbedaan kekuatan antara kamu dan seseorang itu, berarti kamu telah melakukan perundungan.
Sengaja. Seseorang kalau ditanya mengapa mereka melakukan perundungan, maka sebagain besar akan menjawab hanya sebatas bercanda supaya lebih akrab. Nah, ini menarik untuk dibahas. Terkadang saya mendapat pertanyaan semacam, “Eh, bagaimana kalau saya membully seseorang, tapi orangnya tidak marah dan merasa senang dibully?”. Tunggu, senang? Masalahnya adalah kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi pada perasaan seseorang. Bisa saja dia menyunggingkan senyuman bahkan tawa padahal hatinya sedang rapuh. Saya pikir semua manusia pandai bersandiwara dengan jenis ini. Baru mau berhenti ketika dia sudah memperlihatkan kelemahan lewat air matanya?
Berulang-ulang. Manusia kalau sudah asyik, terkadang suka lupa. Kalau dilakukan sekali – dua kali, bisa jadi masih dimaafkan. Mungkin dia khilaf. Tapi, kalau sudah berulang-ulang, maka khilafnya sudah melampau batas sehingga tidak wajar lagi disebut khilaf.
Ada perbedaan kekuatan. Merasa kita jauh “lebih baik” atau “lebih pantas” dari seseorang juga bisa mengindikasi terjadinya perundungan. Kaya-miskin, senior-junior, dan sejenisnya. Yang lebih miris adalah perbedaan fisik seperti tinggi-pendek, gemuk-kurus, mancung-pesek, lurus-keriting, hitam-putih, padahal apa yang melekat pada tubuh seseorang adalah karunia yang sudah diberikan Tuhan. Jadi, ketika dihina, berarti sama dengan menghina pemberian Tuhan, bukan? Let’s think smart!
Satu pernyataan lagi yang selalu membuat saya ber-huh setiap kali diterbangkan kepada saya. Apalagi kalau bukan alasan konyol yang mengatakan kalau perundungan itu bisa meningkatkan mental seseorang. Gimana nih? Saya harus jawab apa? Memang benar seperti itu, kah?
Kalau sesuatu itu dianggap baik, kenapa harus dilarang dan ditentang? Kalau sesuatu itu dianggap baik, kenapa banyak organisasi yang berbondong-bondong untuk memusnahkannya? Kenapa UNICEF, misalnya, rela menghabiskan anggaran sampai milyaran atau bahkan trilyunan untuk menerapkan program-program pencegahannya ke seluruh penjuru dunia? Saya pikir riset yang dilakukan oleh mereka jauh lebih mendetail daripada sekedar ke-soktahu-an kita.
Jawaban yang menurut saya paling tepat adalah bukan perundungan yang membuat mentalnya semakin kokoh, tapi karena semangat dan dukungan yang diterima dari orang-orang sekeliling dan lingkungannya. Dan situasi seperti ini bisa diperoleh bukan hanya setelah mengalami perundungan. Kapan? Ketika dia mendapatkan ujian hidup, misalnya. Bukan dari sesuatu yang disengaja. Toh, pun tidak semua orang ternyata bisa bangkit dari keterpurukannya. Sebagian dari kalian mungkin masih fresh ingatannya dengan berbagai kasus bunuh diri yang terjadi karena perundungan. Atau mau diingatkan kembali?

Check it out...

(gambar diambil dari power point yang dibuat sama mas Derry)

Jaman now, perundungan tidak hanya terjadi di dunia nyata, tapi di dunia maya juga. Jenis ini disebut juga cyber bullying, perundungan tipe keempat setelah fisik, verbal dan sosial. Cyber bullying ini menyebabkan komentar hate speech bertebaran di mana-mana. Tanpa peduli kenal atau tidak. Seakan lupa kalau semua yang dilakukan akan dimintai pertanggungjawabannya, sekecil dzarrah pun, seremeh mengetikkan kata di kolom komentar.
Jadi, apa yang harus kita lakukan, buddies? Sepertinya tingkat kepekaan kita masih kurang. Saya sangat setuju bila ada yang mengusulkan untuk menegur secara langsung orang-orang yang melakukan tindakan perundungan, menasihatinya dengan pelan. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika orang tersebut lebih tua dari kita. Alih-alih ucapan terima kasih, yang kita dapatkan hanyalah kalimat-kalimat menyudutkan serupa, “eh, anak kecil kok menasihati orang tua yang jauh lebih berpengalaman menelan banyak garam”. Meskipun saya percaya bahwa masih banyak orang-orang yang ingin mendengarkan pendapat anak kecil seperti saya.
Kalau tidak mau mengobati, ya kita harus mencegah. Kalau tidak bisa melarang, setidaknya kita tidak melakukan hal yang sama. Kalau belum bisa mengajak orang lain, setidaknya kita mulai dari diri kita sendiri. Berdoa saja semoga besok lusa akan ada seseorang yang mau mengikuti langkah kita. Kita memang tidak bisa memaksa orang lain, tapi kita bisa mendoakannya untuk berubah menjadi lebih baik. Saya pun butuh doa-doa dari buddies sekalian. Dan yang paling keren adalah ikut terjun langsung di program-program yang ada. Banyak, kok, komunitas-komunitas dan NGO yang masih peka melihat masalah ini! – yang mungkin sebagian besar orang menganggapnya bukan masalah serius.
-

P.s. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah menyadarkan saya. Orang-orang yang membagikan ilmunya seputar perundungan kepada saya. Mas Derry, Miss Emily, Miss Lucy, Kak Ju, dan rekan-rekan UNICEF lainnya. Orang-orang yang memberikan kesempatan untuk terlibat, Bu Faridah, Bu Farida, dan bapak ibu pahlawan Yayasan Indonesia Mengabdi lainnya. Kak Ilo, Kak Irma, Kak Sinta, Kak Yusri, dan Auzan, teman-teman fasil yang selalu semangat menyebarkan virus anti-bully. Selamat satu tahun berkolaborasi!

Wednesday 8 November 2017

Kids Jaman Now

Kids jaman now itu haus perhatian, benar-benar haus!

Tulisan ini tercipta karena kepopuleran kata kids jaman now. Saking populernya, hampir tiap jam saya tidak sengaja membaca atau tidak sengaja mendengar kata tersebut dilontarkan. Entah secara nyata atupun melalui media sosial. Selayaknya manusia yang tidak ingin ketinggalan zaman, saya sendiri sudah beberapa kali menggunakan kata-kata yang sedang menjadi tren tersebut. Entah secara langsung, ataupun melalui status yang diunggah ke media sosial.

Semakin ke sini, semakin tua bumi, semakin canggih teknologi, semakin aneh pola tingkah laku manusia. Aneh bagi orang-orang yang hidup di zaman yang berbeda. Tapi bagi mereka yang hidup di zaman yang sama, mungkin akan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Kendati demikian, mereka yang dibekali akal yang ‘sehat’ dan lingkungan yang ‘waras’, meski pun hidup di zaman yang sama, maka tetap akan merasakan keanehannya. Dan begitu lah yang sedang saya (dan mungkin sebagian kamu) rasakan.

Kita hidup pada zaman di mana akses informasi dari belahan bumi satu dengan belahan bumi lainnya yang terpisah jutaan mil dapat diperoleh hanya dengan satu kali klik dengan kecepatan yang tidak sampai satu menit. Kecanggihan tersebut mengikis dinding-dinding dan memutus jala-jala yang seharusnya menjadi penyaring kecocokan dan ketidakcocokan, kepantasan dan ketidakpantasan, kelayakan dan ketidaklayakan. Dengan begitu, budaya dari satu tempat sangat mudah terbawa arus ke tempat lain tidak peduli sejauh apa pun jaraknya. Menjadikan budaya yang sebelumnya sangat asing, menjadi sangat akrab dan berbaur dengan budaya setempat. Mudah diterima, menjadi bahan konsumsi, layaknya micin yang menjadi bumbu dapur utama di setiap masakan.

Okay. Back to kids jaman now.

Selain sebutan kids jaman now, manusia-manusia yang lahir di abad 21 – yang sering main ke 21 – itu juga disebut dengan generasi micin. Kenapa? Ya, mungkin karena tingkahnya seperti orang-orang yang mengonsumsi monosodium glutamate dengan dosis yang berlebihan – yang konon sangat dihindari ibu hamil karena dapat membuat calon bayi yang dikandungnya mempunyai kemampuan berpikir yang rendah alias bodoh. Ya mau diapakan lagi, toh produk-produk zaman now juga dilumuri micin. Saya malah sempat berpikir jangan-jangan si asing yang membuka banyak franchise di Indonesia memang sengaja melumuri micin di setiap produknya untuk melemahkan daya pikir anak-anak Indonesia. Biar nanti kalau mereka beranjak dewasa tidak sempat kepikiran untuk menghidupkan produk lokal dan mengusir si asing yang berkuasa.

Aneh, abnormal, atau mungkin, lucu dan menggemaskan menjadi ciri setiap unggahan status, foto atau video yang social-media-able, mengundang gelak tawa dan komentar sarkasme dari orang-orang yang sesungguhnya telah mendzolimi generasi yang diharapkan mampu menjadi emas di tahun 2045.

Tidak sedikit pula yang membanding-bandingkan tingkah aneh kids jaman now dengan kids jaman old. Termasuk saya. Kalau kita berteman instagram sejak setahun lebih yang lalu, mungkin kamu masih ingat dengan potongan caption yang disandingkan dengan foto bersama dua orang teman kecilku:

Zaman kanak-kanak kami dipenuhi banyak sekali permainan yang menyenangkan; asing-asing, bom, boy, layang-layangan, manjat pohon lobe-lobe, lompat tali, tukar binder, wayang, beklan, dan masih banyaaaaaaak yang lainnya. Sinetron tontonan kami? Uh, mendidik sekali. Ada si Eneng, si Entong, si Mamat, eh, ada Ronaldowati juga. Dulu di tempat mengaji kami, kalau kuku panjang pasti dipukul pakai mistar kayu, tapi kami tidak pernah panggil orang tua untuk memarahi guru mengaji kami.

Sedangkan, kids jaman now lebih memilih untuk bermain game yang menjadikannya kenal dengan kawan nun jauh di sana, bermain sosial media yang mendekatkan yang jauh namun menjauhkan yang dekat, atau mungkin disuguhi tontonan yang akhirnya membuat mereka bermain pacar-pacaran mami-papi ayah-bundaan? – Eh, apa? Oh, serius pacaran, ya? Bukan main-main aja? Kalau gitu segera di-resmi-in dong. Hehe.

Apa yang membuat kondisi dulu dan kondisi sekarang yang terpaut sepuluh tahun itu berubah seratus delepan puluh derajat? Ya! Teknologi yang begitu derasnya menghujam kita. Akses informasi yang begitu mudahnya sampai ke tempat kita. Tidak peduli fakta atau hoaks. Semuanya dengan mudah dikonsumsi publik. Dan hal itu semua pun sangat mudah diperoleh sama kids jaman now. Sayangnya, mereka masih terlalu lugu untuk memilah mana yang boleh direplikasi dan mana yang tidak boleh.

Semua dikonsumsi, semua ditiru, tidak peduli hal itu benar atau salah. Pokoknya satu, yaitu bisa menjadi populer, mengikuti zaman, tidak kampungan, mendapatkan perhatian dan pengakuan hingga pada suatu ketika mereka akhirnya menjadi bahan ejekan, olok-olokan, candaan dan tertawaan orang-orang yang memiliki akal sedikit sehat.

Mengapa sedikit sehat? Karena orang-orang yang sepenuhnya sehat akan memandang hal tersebut sebagai hal yang sangat menyedihkan hingga tak layak sama sekali untuk ditertawakan. Layaknya orang meninggal, orang-orang seharusnya bersedih, bukan bergelak tawa. Nah, apa yang meninggal? Mari sama-sama berbela sungkawa atas moral yang perlahan tapi pasti, meninggalkan batang tubuh dan jiwa sanubari kids jaman now.

"Miris ya lihat adek-adek sekarang!"

Miris memang. Miris sekali. Sangat miris. Miris banget. Miris semiris-mirisnya.

Terus, kalau miris kita harus apa? Ikut andil menyebar-luaskan status, foto, dan video kids jaman now kepada para followers untuk sekedar dapat like atau komentar yang ramai? Biar orang-orang tahu kalau, wah, betapa lucu dan menggemaskannya adik kita yang satu ini? Atau, eh, ternyata kids jaman now itu (maaf) seburuk dan segoblok ini, loh! Lah, kids jaman now (sekali lagi maaf) buruk dan goblok itu karena siapa? Karena dirinya sendiri yang tidak dapat menyaring kepantasan dan ketidakpantasan budaya yang bahkan orang dewasa pun sulit untuk membendungnya? Coba sejenak tengok the old jaman now yang tengah asyik mengonsumsi video ‘lucu’ saat sedang rapat mengadu nasib bangsa.

Jika si the old yang seharusnya punya pikiran matang saja bisa se’khilaf’ itu, apalagi si kids yang masih dalam proses mencari jati diri. Terkadang, menghujat dan megolok-olok itu memang mudah. Parahnya, kita tidak sadar bahwa kita sedang menghujat dan mengolok-olok seseorang dan buntu akan solusinya. Maka akan jauh lebih berfaedah bila saja kita membantu si kids menemukan jati diri dengan versi yang pahlawan pendiri bangsa kita inginkan.

Sekali lagi, tolong bantu saya menjawabnya, untuk apa semua aib itu disebar? Eh, atau ada yang menganggapnya bukan aib, ya? Berarti kamu termasuk ke dalam orang-orang yang kurang peka dan kurang piknik. Maaf.

Semoga kids jaman now yang dengan lugunya meniru idola termehek-mehek mereka hanya karena ingin mendapat perhatian publik dan ingin populer – karena memang demikian nafsu di usia remaja bekerja dan akan menjadi parah bila tidak dapat dikendalikan – kelak diberi petunjuk dan jalan yang terang oleh yang maha kuasa.


Jadi, solusinya apa? Saya pun bingung, sobat. Saya harap yang maha pemberi petunjuk selalu memberikan peta terbaiknya kita semua.