Sunday 22 October 2017

Idola dan Authentic Leadership

Saya percaya bahwa setiap orang bisa mengidolakan dirinya sendiri.

Saya selalu percaya bahwa setiap manusia yang terlahir di muka bumi ini memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Kita itu sudah diberikan kapasitas masing-masing. Apa yang terbawa dalam diri kita sejak lahir itu akan menjadi penentu nasib di masa depan. Nah, tinggal kita sendiri yang menentukan apakah sisi yang kurang itu harus ditambal dan kelebihan itu harus dikendalikan atau membiarkan mereka berdiam diri begitu saja tanpa terjamah?

Beberapa bulan yang lalu di suatu seminar, saya mendapatkan materi yang berjudul Discovering Your Authentic Leadership yang intinya adalah setiap orang yang terlahir di dunia ini otentik, mempunyai keunikan dan ciri khas tersendiri, dibangun berdasarkan pengalaman dan mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi lingkungan sekitarnya.

Banyak orang yang bila ditanya siapa idolamu, maka akan menjawab ibu, atau manusia pilihan yang telah diberikan wahyu kepadanya. Saya pun tentu akan menjawab demikian. Bagiku, jawaban seperti itu adalah jawaban yang sudah seharusnya dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Idola yang saya maksud bukan pada ranah itu. Melainkan pada sosok manusia biasa. Bagiku, ibu bukan lah manusia biasa. Ia jelmaan malaikat tanpa sayap. Sebut saja manusia biasa itu adalah artis, atlet, tokoh politik, atau orang-orang biasa lain yang menemukan keistimewaan dalam dirinya sendiri sehingga orang lain melihatnya istimewa.
                                           
Saya setuju dengan pernyataan bahwa seseorang akan berperila saya meniru sosok idolanya. Tetapi, saya lebih setuju lagi bahwa seseorang sebaiknya tidak menduplikat idolanya. Mengambil yang baik-baik saja. Mengambil yang perlu diambil saja. Sejak kecil hingga sekarang, bila ditanya siapa tokoh idolaku, pasti jawabannya akan berbeda-beda. Teman-teman SD saya mungkin mendapat jawaban artis-artis sinetron yang sedang naik daun atau penyanyi seumuran saya yang sedang ikut ajang pencarian bakat pada saat itu. Teman-teman SMP saya mungkin mendapat jawaban tokoh politik yang menjadi suri tauladan banyak orang. Teman-teman SMA saya mungkin mendapat jawaban seorang sejarawan yang abadi dalam karya-karyanya.

Hingga saya sadar bahwa sebenarnya saya tidak pernah begitu fanatik dengan tokoh-tokoh yang pernah saya idolakan.

Kalau ditanya siapa idola saya sekarang? Saya akan menjawab seorang youtuber yang bagi saya mampu menjadi positive influencer di tengah-tengah kehancuran moral yang banyak terjadi di dunia maya zaman now.

Lalu apakah saya harus menjadi seperti dia seutuhnya?

Tentu jawabannya adalah tidak. Saya hanya mengambil apa yang menurut saya cocok untuk diterapkan kepada diri saya sendiri. Saya tidak bisa memaksakan diri saya untuk jago menyanyi dan ikut lomba paduan suara tingkat internasional. Saya juga tidak bisa memaksakan diri saya untuk jago menggambar memakai kuas dan cat air. Jangankan menggambar dengan hasil yang nyaris sempurna, untuk menarik satu lingkaran pun saya susah melakukannya. Tapi saya ingin untuk bisa mengecap pendidikan dan merantau ke negeri orang seperti dia. Atau setidaknya, menjadi positive influencer setidak-tidaknya bagi followers instagramku. Atau mungkin menulis catatan-catatan kecil di blog saya seperti yang kulakukan sekarang. Atau kah, mengadopsi cara berpikirnya yang kritis dan keren.

Itu pun tidak semua opini yang dikeluarkan dari idola saya itu ternyata sejalan dengan isi kepalaku. Saya tidak harus memaksakan diri untuk membenarkan semua opininya, bukan? Saya tidak akan mengubah ESTJ saya menjadi INTJ hanya karena saya mengidolakan dia. Setiap orang memandang sesuatu dari sisi yang berbeda-beda. Ada yang dari sisi depan, belakang, kiri, atau kanan. Setiap orang juga punya latar belakang dan pengalaman yang berbeda-beda sehingga menghasilkan kerangka berpikir yang berbeda pula.

Bila saya hanya menduplikat hal-hal yang melekat pada idola saya ke dalam diriku, harus menerima hal-hal yang tidak sejalan dengan pikiranku, memaksakan hal-hal yang saya sadari memang berada di luar batas kemampuan saya tanpa memedulikan bahwa sebenarnya ada ranah lain yang saya kuasai, maka sama halnya bahwa saya membuang-buang waktu dan kesempatan yang sebegitu besarnya Tuhan telah amanahkan kepadaku. Dengan menjadi orang lain, sama saja saya membunuh potensi alamiah yang sudah dititipkan ke dalam diriku.

Bersyukur dan berusaha itu menurut saya seperti sistem double entry dalam akuntansi, perlu diseimbangkan. Di satu sisi saya harus menyukuri semua yang telah ada pada diriku. Bersyukur menjadi diri saya dengan bentuk yang seperti ini. Di sisi lain, saya harus berusaha untuk lebih mengembangkan dan mengoptimalkan semua yang telah ada pada diriku. Termasuk berusaha memanfaatkan kelebihan saya agar berguna tidak hanya bagi diri saya sendiri, tapi juga bagi orang-orang di sekitarku.

Maka beginilah saya dengan segala kekurangan yang kumiliki. Bila kita harus sadar akan kekurangan yang kita punya, maka kita seharusnya lebih sadar lagi dengan kelebihan yang kita punya agar kekurangan-kekurangan itu bisa tertutupi. Bukannya karena ingin dikatakan sempurna, tapi untuk mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri kita sendiri. Sekeras apapun saya mencoba untuk menjadi orang lain, bila Tuhan tidak memberikan kelebihan itu untukku, pasti ada bentuk-bentuk lain yang bisa saya kembangkan. Saya percaya bahwa Tuhan memberikan porsi yang sama atas kelebihan dan kekurangan yang dimiliki manusia. Hanya bentuknya saja yang berbeda.

Idola saya itu bilang begini dalam bukunya, “Ternyata ada beberapa hal di dunia yang nggak bisa kita utak-atik, memang bukan kuasa kita.”


Jadi sudah tahu siapa idola saya sekarang? Besok lusa mungkin akan beda lagi.

Thursday 19 October 2017

Cerpen: Pelita


Pelita duduk bertekuk lutut di sisi tempat tidurnya. Menatap kosong ke luar jendela. Termangu sendirian di tengah remang-remang cahaya dari lentera di sudut ruangan. Sesekali ia terisak.
Sementara itu, samar-samar terdengar suara gaduh dari ruang keluarga di lantai dasar rumah gedongan tempat Pelita bernaung.
“Semua ini kesalahanmu!” Lelaki berusia senja menyeru lantang.
“Tidak! Semua ini karenamu!” Perempuan paruh baya membentak dengan suara melengking.
Pelita kembali terisak. Ia tahu bahwa dirinyalah penyebab semua kegaduhan itu.
Pandangannya berpaling ke pintu ketika mendengar suara berderap. Suara derap itu berhenti persis di pintu kamarnya. Lalu, terdengar suara ketukan.
Pelita bisa menebak siapa yang sedang mencoba menemuinya.
Gagang pintu bergerak pelan. Pintu itu berderik kala dibuka.
Pintu itu baru sepertiga terbuka kala seorang perempuan dewasa menjulurkan kepalanya. Matanya menatap lamat-lamat kepada Pelita. Kemudian menyuggingkan senyuman. Ia segera masuk tanpa dipersilakan. Menutup kembali pintu rapat-rapat sebelum melangkah ke arah Pelita.
Perempuan dewasa itu adalah kakak Pelita. Namanya Renata. Satu-satunya kakak yang dimilikinya. Renata baru saja pulang setelah empat tahun rantaunya di negeri orang lain.
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Renata kepada Pelita.
Pelita memalingkan pandangannya ke arah lentera di sudut ruangan. Membisu.
Sementara itu, samar-samar masih terdengar suara gaduh dari ruang keluarga di lantai dasar rumah gedongan tempat Pelita dan Renata bernaung.
“Kamu terlalu memanjakannya!” Lelaki berusia senja menyeru lantang.
“Kamu yang terlalu keras mendidiknya!” Perempuan paruh baya membentak dengan suara melengking.
Renata mendekatkan wajahnya ke wajah Pelita.
“Bagaimana keadaanmu?” Renata mengulang pertanyaannya.
Pelita lebih memilih diam.
Renata tahu bahwa adiknya sedang memikirkan kegaduhan di luar sana.
“Apakah kau baik-baik saja?” Renata kembali bertanya dengan kalimat yang berbeda.
Pelita menunduk. Memainkan jari-jari tangannya.
 “Aku punya banyak sekali cerita dongeng baru. Aku dan teman-teman asramaku selalu menceritakan dongeng dari negara masing-masing saat akhir pekan. Kamu ingin mendengarnya?”, Renata tidak mudah menyerah begitu saja.
Sementara itu, samar-samar terdengar suara pecahan kaca dari ruang keluarga di lantai dasar rumah gedongan tempat Pelita dan Renata bernaung.
“Pelita? Kau ingin mendengarkan cerita-cerita dongeng itu?” Renata mencoba merebut perhatian adiknya dari suara gaduh di luar sana. “Cerita-cerita dongeng itu seru sekali, loh. Kamu bisa menceritakannya kembali ke teman-temanmu nanti.”
Pelita beralih pandangan ke arah jendela. Ditatapnya langit kelam di luar sana.
“Apakah kau tidak merindukan kakak, Pelita?” Tanya Renata pelan.
Pelita menatap ke dalam bola mata teduh kakaknya. Terisak. Melinangkan air mata. Lalu kembali tertunduk.
Renata tahu betul bahwa adiknya itu merindukannya sangat dalam. Renata memeluk Pelita erat. Mencium kening adik satu-satu yang dimilikinya. Adik yang paling disayangi dan paling dibanggakannya.
Renata beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan Pelita sendirian.
Renata menyusuri lorong-lorong kecil di rumahnya. Semakin ia melangkah maju, suara gaduh itu semakin jelas terdengar. Hingga suara gaduh itu menyisakan hening setibanya ia di ujung lorong.
Lelaki berusia senja dan perempuan paruh baya baru saja masuk ke dalam kamar.
Renata berdiri di balik pintu kamar. Membuka tanpa mengetuknya lalu menutup kembali rapat-rapat.
“Sudah selesai diskusinya, Ma? Pa?” Renata bertanya pelan.
Kedua orang tua itu menatap sinis.
“Sampai kapan kalian akan mempertahankan ego masing-masing?” Nada bicara Renata mulai tidak sabaran.
“Renata, bicaralah dengan sopan!” Lelaki berusia senja itu membentak.
“Aku kira semua akan berubah setelah aku pergi. Tapi, ternyata aku salah. Aku bodoh karena saat itu aku terlalu percaya dengan diriku sendiri. Aku kira kalian akan mendengarkan apa yang kusampaikan.” Renata mulai berbicara. “Tapi, ternyata aku salah.” Suaranya merendah.
“Pelita!” Kali ini perempuan paruh baya yang membentak.
“Kalian menyalahkan Pelita yang selalu keluar rumah, tapi tidak pernah bercermin pada diri kalian masing-masing. Bagaimana mungkin seseorang akan betah tinggal di rumah bila setiap hari mereka hanya dipertontonkan perkelahian? Cukup, Ma! Pa! Aku dan Pelita capai melihat kalian terus-terusan bertengkar. Di depan tetangga kalian adu kehebatan, di depan teman-temanku dan teman-teman Pelita kalian saling lempar kesalahan. Sudah berkali-kali aku memohon kepada kalian agar jangan bertengkar di depan adikku. Sudah berkali-kali aku memohon agar Pelita tidak pernah melihat kekerasan lagi.” Ucap Renata dengan intonasi yang semakin kacau.
“Oh, jadi karena itu kamu berani melawan orang tua?” Lelaki berusia senja itu kembali berbicara.
“Papa dan Mama beruntung karena Pelita tidak seberontak aku. Papa dan Mama beruntung karena Pelita hanya bisa tertunduk diam bila dimarahi. Papa dan Mama teramat sangat beruntung mempunyai anak manis seperti Pelita!” Renata melanjutkan kalimatnya.
“Sudah, Renata! Bahkan kau tidak pernah membela adikmu sendiri bila kami marahi!” Perempuan paruh baya itu menimpali.
“Ya! Aku tidak ingin membelanya di hadapannya. Tapi, Mama dan Papa tahu kalau aku selalu membelanya ketika dia tidak ada. Tidak seperti Mama! Mama selalu memanjakannya di depannya hingga ia merasa selalu ada orang yang melindunginya bila dia membuat kesalahan. Aku ingin Pelita menjadi anak yang tangguh!” Aku Renata.
“Sudah kukatakan, Aisyah. Kau tidak perlu ikut campur bila aku menghukum anak-anak!” Lelaki berusia senja itu kini membentak perempuan paruh baya di hadapannya.
“Aku bahkan tidak pernah membentak Mama dan Papa di depan Pelita. Aku tidak ingin Pelita menjadi anak pembantah sepertiku. Tapi, Papa? Papa selalu saja membentak Mama di depan kami. Papa yang telah memberikan contoh buruk itu!” Ujar Renata.
“Kamu memang seperti itu!” Kini giliran perempuan paruh baya yang menimpali lelaki berusia senja itu.
“Kalian selalu saja melarang Renata dan Pelita melakukan ini dan itu. Padahal, semua yang kami lakukan tidak pernah memberatkan kalian. Sebaliknya, bahkan kami membuat kalian bangga.” Renata mengambil satu helaian napas panjang. “Pa, Ma, aku tahu kalian sangat menjaga Pelita. Tapi, tanpa kalian sadari kalian justru mengekang dia. Sampai kapan kalian akan melakukan itu? Ku mohon hentikan ini semua. Aku ingin adikku tumbuh tanpa tekanan!” Renata mempertemukan kedua telapan tangannya, jari-jarinya saling menggenggam, “Tepat tujuh hari lagi, Pelita akan berusia 17 tahun. Dia sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk dirinya sendiri. Berilah kepercayaan kepadanya.” Renata tersenyum.
“Terima kasih sudah mau mendengarkan Renata.” Kata Renata sesaat sebelum ia menutup pintu kembali.
Renata kembali menyusuri lorong-lorong rumahnya menuju kamar Pelita. Ia sedikit berlari. Tidak sabar ingin memeluk erat adiknya.
Sesampainya di kamar Pelita, Renata melihat adiknya sudah terlelap di ranjangnya. Pulas sekali.
***
Tujuh hari selanjutnya.
Pagi-pagi sekali Renata membuka pelan pintu menuju ruangan tiga kali empat meter di sebuah bangunan megah bercat putih.
Saat pintu itu terbuka, Renata mendapati ruangan yang sangat sepi. Hanya ada dua orang di ruangan itu. Laki-laki berjas putih seusianya tersenyum saat melihatnya berjalan memasuki ruangan itu.
Sorot mata Renata tertuju pada seorang lelaki berusia senja yang sedang terbaring lemah. Dua selang tertancap di punggung telapak tangan kirinya. Satu selang terhubung dengan kantong darah. Selang lainnya dialiri cairan infus. Satu selang lagi menghubungkan hidungnya dengan tabung oksigen.
Renata berjalan menuju satu-satunya pembaringan di ruangan itu. Mata sembapnya menatap sendu seseorang yang terbaring lemah di sana.
“Selamat pagi, Pa. Cepatlah bangun.” Renata terisak.
Sudah hampir tiga hari lelaki berusia senja itu terbaring di sana. Tidak sadarkan diri. Hari-hari sebelum dia tidak sadarkan diri merupakan hari-hari yang sangat sulit. Hampir setiap hari dia tidak makan dan juga tidak tidur. Memikirkan dan menjaga banyak sekali hal.
Renata mengelus rambut lelaki senja itu dengan penuh kasih sayang. Mengecup keningnya.
Lama sekali Renata berada di ruangan itu. Di tengah-tengah penantiannya. Berharap lelaki berusia senja itu membuka kedua matanya.
“Kapan Papa bangun?” Tanya Renata kepada lelaki berjas putih. Itu merupakan pertanyaan keseribunya saat lelaki paruh baya di hadapannya tidak sadarkan diri.
Lelaki berjas putih hanya bisa mengedipkan kedua matanya. “Kita berdoa saja.” Tuturnya.
“Segera kabari aku jika Papa sadarkan diri.” Pinta Renata.
Renata kembali terisak. Dia bangkit dari tempatnya duduk. Meninggalkan lelaki berusia senja bersama lelaki berjas putih.
***
Matahari mulai meninggi hingga tepat berada di atas kepala.
Renata menuju sebuah ruangan di sisi lain bangunan megah bercat putih.
“Renata, dari mana saja kamu?”, Seorang perempuan paruh baya langsung berseru ketika melihat kepala Renata muncul dari balik pintu. Dia sedang sibuk dengan bunga-bunga plastik.
Renata mendapati sebuah ruangan yang sangat ramai. Balon-balon udara menghias sudut-sudut ruangan. Bunga-bunga plastik tertata indah di sisi-sisi ruangan. Ada karpet merah yang menjulur ketika memasuki ruangan itu. Mengarah ke arah kue tar yang terletak di tengah-tengah ruangan. Ruangan itu didekorasi sempurna untuk sebuah pesta ulang tahun.
“Ini semua Mama yang buat?” Tanya Renata penasaran.
Perempuan yang ditanya Renata – sedang asyik bergelut dengan bunga-bunga plastik – tidak menghiraukannya.
“Halo. Kamu anaknya dia?” Seorang perempuan paruh baya lain menyapa Renata. Dia memegang balon udara dengan riangnya. “Wah, cantik sekali kamu!”, dia kemudian mencubit-cubit pipi Renata.
“Renata, di mana Pelita?”, Perempuan paruh baya yang sedang mengotak-atik bunga-bunga plastik bertanya kepada Renata.
Renata tidak menjawab. Dia sedang asyik mengobrol dengan perempuan seusianya sembari menatapi balon-balon udara di salah satu sudut ruangan.
“Renata, Mama bertanya kepadamu.” Perempuan paruh baya itu meninggikan suaranya.
Renata berbalik badan. Perempuan di sampingnya juga ikut berbalik badan.
“Iya, Ma?” Renata mendapati perempuan itu masih berdandan.
“Pelita sudah pulang?” Perempuan paruh baya itu kembali bertanya.
Renata tersenyum sebentar. Mengangguk.
Perempuan paruh baya itu menghampiri Renata. Wajahnya berseri-seri. Girang sekali.
“Benarkah? Bagaimana penampilan Mama? Apakah Mama sudah cantik?”
Renata memerhatikan perempuan paruh baya itu dengan saksama. Perempuan paruh baya itu mengenakan gaun berwarna merah. Gincu berwarna merah darah terpoles di bibirnya. Polesannya bahkan melewati garis pinggir bibirnya. Bedaknya juga berlepotan.
“Cantik sekali, Ma!” Renata tersenyum.
Perempuan paruh baya itu memutar badannya. Mengibas-ngibaskan rok gaunnya. Meloncat-loncat kegirangan.
“Tapi, Pelita benar-benar sudah pulang, kan?” Tiba-tiba perempuan paruh baya itu bertanya cemas. Cepat sekali ekspresinya berubah.
Renata tersenyum. “Iya, Ma. Pelita benar-benar sudah pulang” Renata memeluk tubuh perempuan paruh baya itu erat. Sangat erat.
“Awas, nanti gaun Mama kusut.” Perempuan paruh baya itu melepaskan pelukan Renata.
Renata mengambil satu buket dari salah satu sisi ruangan. “Ma, aku minta satu bunganya, ya?”
“Jangan, ini semua untuk Pelita.” Perempuan paruh baya itu mengambil buket dari tangan Renata. Kemudian tersenyum simpul.
“Mama pasti belum menghitung jumlah buketnya. Semua ada delapan belas. Lebih satu, kan, Ma?” Renata mengambil kembali buket dari tangan perempuan paruh baya.
“Benarkah?” Perempuan paruh baya melayang-layangkan telunjuknya. Menghitung jumlah buket di ruangan itu. Mengulangnya berkali-kali.
“Mama tidak memercayai Renata lagi?” Renata memasang wajah kecewa.
Perempuan paruh baya itu berhenti menghitung. Tersenyum.
“Ma, Renata mau pergi dulu sebentar.” Renata memohon izin kepada perempuan paruh baya.
“Kamu mau kemana lagi?” Tanya perempuan paruh baya marah. Ekspresinya berubah lebih cepat.
“Ada urusan sebentar, Ma.” Renata mencium punggung telapak tangan perempuan paruh baya.
“Renata, jangan lupa panggil Pelita. Bilang kalau Mama sudah menunggunya!” Ucap perempuan paruh baya ketika Renata tepat di hadapan pintu. Ia kembali asyik memainkan bunga-bunga plastik.
Renata tersenyum tanpa membalikkan badan ke arah perempuan paruh baya.
“Aku pergi dulu. Tolong jaga Mama baik-baik. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku.” Pinta Renata kepada perempuan seusianya yang sedari tadi mengobrol dengannya. Perempuan yang mengenakan jas putih. Kemudian dia menutup pintu ruangan ramai itu rapat-rapat.
***
Matahari mulai merendah. Renata sedang berada di perbukitan di tengah kota. Dia melangkah di jalanan bukit yang menanjak.
Renata sampai di puncak bukit. Memandang ke sekelilingnya. Sepi sekali tempat itu. Tidak ada orang-orang di sana selain dirinya. Dia duduk bersila berpayungkan langit sore.
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Renata dengan suara datar.
Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutnya.
“Apakah kau baik-baik saja?” Renata bertanya canggung.
Angin berdesah menjawabnya.
“Maafkan kakak yang datang kesorean. Banyak sekali hal yang harus kakak urus.”
Suara Renata nyaris tidak terdengar di ujung kalimat.
“Kakak membawakan sesuatu. Ini dari Mama.”
Suara Renata bergetar.
Renata meletakkan buket di atas gundukan tanah.
“Selamat ulang tahun, adikku tersayang.”
Suara Renata semakin bergetar. Dia berusaha menahan linangan air mata dari balik  pelupuknya.
“Ulang tahun ketujuh belasmu pasti seru sekali, kan?” Renata mengusap kedua matanya. “Kamu merayakannya bersama para malaikat di surga.”
Tangis Renata pecah. Ingatannya menjajaki masa lalu. Tepat sebelas tahun yang lalu.
***
Pelita berlari-lari kecil menghampiri Renata yang sedang mengerjakan tugas Ilmu Pengetahuan Alam di meja belajarnya.
“Kakak Renata, Kakak Renata!” Pelita kecil berseru.
“Iya, kenapa sayang?” Renata meletakkan pulpennya. Membalikkan tubuhnya hingga berhadapan dengan Pelita.
“Aku punya PR yang sulit.” Pelita yang baru saja masuk sekolah dasar bercerita kepada kakaknya yang sudah kelas dua di sekolah menengah pertama.
“Apa PRnya?” Tanya Renata penasaran.
“Nomor satu. Apa arti nama kamu?” Pelita mengeja soalnya. “Apa arti namaku, kak?” Pelita bertanya kepada kakaknya.
Renata yang sebelumnya sedang mengerjakan PR IPA dengan materi cahaya tiba-tiba mendapat ide.
“Kalau kamu buka kamus, pelita itu artinya lampu. Jadi kamu menjadi penerang di dalam kegelapan.” Renata menjawab semampunya.
“Benarkah, kak?” Wajah Pelita terlihat berseri-seri.
“Ada lagi?” Renata kembali bertanya.
“Nomor dua. Apa cita-cita kamu? Apa alasannya?” Pelita kembali mengeja soalnya.
“Kamu tidak punya cita-cita, ya?” Renata menggoda Pelita.
“Cita-cita itu apa, kak?” Pelita bertanya polos.
“Cita-cita itu apa yang kamu inginkan. Mau jadi seperti apa kamu.” Renata menerangkannya dengan bahasa yang mudah dimengerti Pelita.
“Cita-citaku… Hm… Oh, iya! Aku ingin ke surga sama Mama, Papa dan kakak Renata! Bu guru bilang, di surga kita bisa mendapatkan apapun.”
Renata tertawa geli mendengar penjelasan adik satu-satunya. “Pelita, Pelita. Semua orang pasti punya cita-cita masuk surga. Cita-cita yang ditanyakan bu guru itu profesi. Maksudnya, kalau besar nanti kamu mau menjadi apa? Apakah kamu mau menjadi pengusaha seperti Papa, atau mau menjadi akuntan seperti Mama, atau menjadi guru seperti ibu guru di sekolah. Tapi, kita harus belajar yang gita supaya cita-cita itu bisa kita raih.” Jelas Renata.
“Oh…” Pelita terlihat seperti berpikir. “Aku mau menjadi seperti tante Elisa. Dokter! Aku ingin mengobati orang-orang yang sakit seperti tante Elisa yang selalu mengobati Pelita. Tante Elisa itu hebat sekali. Dia bisa menghilangkan rasa sakit yang selalu mengganggu Pelita.” Pelita menuliskan kalimat yang dilontarkannya ke dalam buku tulisnya.
Renata terpaku melihat adiknya. Tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Renata juga mengakui bahwa tante Elisa adalah dokter spesialis kanker otak terhebat di kotanya.
“Kakak Renata janji, ya, mau bantu pelita meraih cita-cita Pelita menjadi dokter.” Pelita berucap disela-sela menuliskan jawaban.
“Pasti, dong! Kakak juga akan selalu menjagamu. Kakak akan selalu membuatmu bahagia.” Renata menjawab mantap sembari mengelus-elus rambut Pelita. Sedangkan hatinya, bergetar menahan pilu.
“Ye. Tugasku sudah selesai.” Pelita menari-nari dengan girangnya.
Pelita berlari menuju pintu. Dan tiba-tiba… “Surprise! Selamat ulang tahun, Pelita!” Papa dan Mama muncul dari balik pintu. Membawakan kue tar berwarna merah muda untuk Pelita.
Saat kue potongan pertama sudah ada di atas piring kecil, Pelita mengambil sendok, lalu menyuapkan kue potongan pertama itu kepada kakaknya, Renata.
***
Di puncak perbukitan tengah-tengah kota. Renata masih duduk bersila berpayungkan langit.
“Pelita, sekarang Papa dan Mama sakit. Kamu mau tahu, siapa yang merawat mereka?” Renata mengelus-elus nisan putih di dekatnya. “Anak kembarnya tante Elisa yang dulu sering berkunjung ke rumah! Mereka sudah menganggap Mama dan Papa seperti orang tua mereka sendiri. Mereka baik sekali.” Pelita melanjutkan kalimatnya tanpa menunggu jawaban ‘iya’ yang tidak akan pernah ia dengar.
“Andaikan saja kamu benar-benar bisa menjadi dokternya Mama dan Papa.” Renata mengambil napas dalam-dalam. “Aku punya cerita tentang profesi yang kamu cita-citakan itu. Kamu pasti akan menyukainya, Pelita.”
Renata bercerita seolah-olah sedang berada di kamar Pelita. Menceritakan dongeng-dongeng dari berbagai negara yang tidak sempat ia ceritakan kepada Pelita. Sesekali ia harus berjuang melawan tangis yang tiba-tiba saja pecah.
“Pelita, kakak sangat merindukanmu. Bahkan jauh lebih merindukanmu dibanding saat kakak di negeri orang. Sekarang kau pergi lebih jauh dari rantauan kakak dulu. Jauh sekali.”
Renata tertunduk.
“Pelita, maafkan kakak yang pernah meninggalkanmu selama bertahun-tahun. Maafkan kakak yang tidak bisa menjagamu dengan baik. Maafkan kakak yang pernah berjanji untuk selalu membuatmu bahagia.”
Ranata terisak di bawah langit yang telah berubah warna menjadi jingga.
“Pelita, singgahlah di tengah-tengah tidur lelap kakak. Walau itu hanya sebentar. Kakak hanya ingin memelukmu erat.”

* Selesai *

Sunday 15 October 2017

Rasanya Dipercaya

Saya percaya kamu tanpa peduli apakah kamu memercayai saya juga atau tidak.

Waktu saya masih SMP, saya sering curhat kepada seorang tante tersayang tentang cinta monyet saya pada waktu itu. Nah, giliran si tante yang jatuh cinta – senyum-senyum sendiri tak karuan – saya selalu menunggu dia untuk bercerita, hingga akhirnya saya sengaja cerita lagi tentang si cinta monyet saya itu, dan bilang ke tante, “Masa saya sudah cerita banyak, tapi tante masih merahasiakan”, dan jawaban tante saya itu  sesederhana ini, “Firda bebas untuk cerita segala hal ke tante, tapi bukan berarti tante juga harus menceritakan semuanya ke Firda.” Bila ditanya bagaimana perasaan saya waktu itu, yah, kesal bin sebal, lah. Orang saya sudah bocorkan semua rahasia, tapi si tantenya malah diam-diam saja. Seolah si tante ini sangat tidak memercayai keponakannya. Tapi, bila ditanya bagaimana tanggapan saya sekarang, yah, mungkin waktu itu si tante melihat Firda sebagai bocah kecil yang baru saja menginjak usia remaja. Sepertinya bukan pelabuhan yang tepat untuk kapal curhatan tante berlabuh.

Siapa yang menyangka kalau kejadian sesederhana itu bakalan saya ingat dan jadikan pedoman beberapa tahun ke depan. Di masa-masa SMA, utamanya. Masa yang kata orang paling indah, paling membahagiakan, paling berwarna. Saya pun mengaminkannya. Meskipun belum seartus persen karena saat ini saya masih sedang dalam proses menyelesaikan masa kuliah. Boleh saja persepsi tadi berubah dan menetapkan bahwa masa yang paling menyenangkan adalah masa kuliah.

Sejujur-jujur-jujurnya, saya bukan tipe orang yang terbuka, tapi tidak juga tertutup, posisi saya mungkin ada di pertengahan antara keduanya. Meskipun saya tidak suka kalau banyak orang yang terlalu tahu tentang kehidupanku, saya tetap butuh satu dua teman yang harus tahu banyak tentang apa yang sedang saya rasakan. Terbukti, di SMA saya punya beberapa “kunci”. Kunci yang mengetahui sejarah perjalanan SMAku. Sekarang pun, di masa kuliah juga begitu, saya punya dua kunci yang ketika orang lain sibuk menduga-duga, kedua kunci itu bisa mengetahui dengan jelas jenis keresahan apa yang tengah saya rasakan.

Tentang dipercaya…

Hal-hal yang tidak terduga itu ketika benar-benar terjadi, rasanya lebih indah dibandingkan sekadar diberi kejutan ulang tahun. Entahlah. Mungkin karena saya jarang sekali diberikan kejutan ulang tahun. Skip. jangan anggap ini serius, apalagi anggap ini sebagai kode. Please.

Sebulan yang lalu, ketika saya baru saja mencolokkan pengisi daya ke ponsel, tiba-tiba ada sebuah pesan masuk di sosial media alias chat dari seseorang yang baruuu saja akrab. Mungkin karena hampir seminggu kami bersama-sama dalam rentetan agenda yang segitu padatnya. Sepadat jalanan ibu kota yang kami tatap dari jendela di malam itu. Tsah. Isinya? “fir”, “fir”, “curhat dong”, “lg tengkar nih ma cewe gue”, disertai stiker moon yang lagi bertekuk lutut sambil nangis di bawah awan berhujan.

Bagi sebagian dari kalian mungkin sedikit lebay, ya, eh baru begitu saja sudah kagetan. Tapi bagiku, wow. Saya memang sudah sering sekali mendapatkan pesan sejenis itu dari Ari, Dzul, atau siapa lah teman yang akrabnya sudah sampai memercayakan kegundahan hatinya kepada seorang Firda. Perempuan yang begitu mudahnya berkawan karib dengan makhluk yang bernama lelaki tanpa ada baper sedikit pun. Tapi, adalah sebuah pengalaman baru mendapatkan kepercayaan menceritakan kegundahan hati dari seorang teman yang akrabnya baru minggu kemarin.

Saya sendiri pun bingung mengapa orang-orang begitu mudahnya percaya kepada seseorang yang lain. Bahkan bingung sama diri sendiri. Bisa, ya, segitu mudahnya saya menceritakan segalanya ke Diah teman sebang saya waktu SMA, misalnya. Atau ke kunci-kunci lain tanpa takut rahasia-rahasia kecil itu akan merembes ke mana-mana. Sekaligus penasaran. Apa yang membuat Ari dan teman-teman yang lain segitu mudahnya memercayai saya sebagai buku diarinya. Mungkin karena setiap mereka curhat ada solusi yang saya tawarkan? Sepertinya sangat-sangat tidak. Mungkin karena nyaman? Iya, tapi nyamannya karena apa? Atau mungkin karena saya selalu menjaga apa yang ingin menjadi rahasia mereka? Sepertinya alasan ini sedikit masuk akal.

Tapi bagaimana dengan kepercayaan yang lain?

Kepada orang-orang yang memercayakan ide?

Kepada orang-orang yang memercayakan amanah?

Kejutan-kejutan sederhana itu pun muncul dari adik-adik penerus perjuangan. Entah itu OSIS, Forum Anak, dan adik dari payung-payung yang sama lainnya. Kak, saya mau ikut kegiatan ini, disuruh buat esai yang temanya ini. Kira-kira menurut kakak saya baiknya menulis tentang apa? Bagaimana kalau yang ini? Atau yang itu? Atau Kak, menurut kakak, kalau saya ambil jurusan ini, atau kursus ini, atau kursus di bimbel ini, akan efektifkah? Lebih baik yang mana? Atau Kak, saya disuruh baca buku sama senior tapi buku yang tentang ini, kira-kira buku apa yang bagus untuk saya baca? Atau Kak, susunan acara untuk fun walk nanti sebaiknya penampilan hiburan dulu atau sambutan-sambutan dulu?

Ternyata kepercayaan itu selalu dibangun dari hal-hal yang sederhana saja.

Dan yang tidak kalah mengejutkannya adalah, ketika saya yang jarang kelihatan batang hidungnya, saya yang selalu ogah-ogahan, saya tidak pernah menjadi bagian yang cukup penting, diberikan kepercayaan untuk merangkul amanah yang sebegitu besarnya bagi saya.

Kalau ditanya bagaimana perasaanku setiap kali mendapatkan kepercayaan, rasanya, tidak adil sekali bila saya harus membusungkan dada. Saya sadar bahwa dibalik semua limpahan kepercayaan itu, rasa syukurlah yang patut saya besarkan. Syukur karena ternyata masih banyak sekali orang-orang yang sudah berbaik hati memercayakan Firda, yang bukan psikolog, atau pun ahli baca situasi, untuk sekadar dimintai saran sederhana. Saya pun sadar, bahwa saya tidak punya hak apa pun untuk membuat orang lain percaya kepadaku, termasuk kepada orang-orang yang saya percaya sekali pun. Karena kepercayaan itu tidak dibangun atas dasar pemaksaan, ia murni berasal dari hasrat ingin mengeluarkan resah.

Pararararam~