Saya percaya kamu tanpa peduli apakah kamu memercayai saya juga
atau tidak.
Waktu saya masih SMP, saya sering curhat kepada seorang
tante tersayang tentang cinta monyet saya pada waktu itu. Nah, giliran si tante
yang jatuh cinta – senyum-senyum sendiri tak karuan – saya selalu menunggu dia
untuk bercerita, hingga akhirnya saya sengaja cerita lagi tentang si cinta
monyet saya itu, dan bilang ke tante, “Masa saya sudah cerita banyak, tapi
tante masih merahasiakan”, dan jawaban tante saya itu sesederhana ini,
“Firda bebas untuk cerita segala hal ke tante, tapi bukan berarti tante juga
harus menceritakan semuanya ke Firda.” Bila ditanya bagaimana perasaan saya waktu
itu, yah, kesal bin sebal, lah. Orang saya sudah bocorkan semua rahasia, tapi
si tantenya malah diam-diam saja. Seolah si tante ini sangat tidak memercayai
keponakannya. Tapi, bila ditanya bagaimana tanggapan saya sekarang, yah,
mungkin waktu itu si tante melihat Firda sebagai bocah kecil yang baru saja
menginjak usia remaja. Sepertinya bukan pelabuhan yang tepat untuk kapal
curhatan tante berlabuh.
Siapa yang menyangka kalau kejadian sesederhana itu bakalan
saya ingat dan jadikan pedoman beberapa tahun ke depan. Di masa-masa SMA,
utamanya. Masa yang kata orang paling indah, paling membahagiakan, paling
berwarna. Saya pun mengaminkannya. Meskipun belum seartus persen karena saat
ini saya masih sedang dalam proses menyelesaikan masa kuliah. Boleh saja
persepsi tadi berubah dan menetapkan bahwa masa yang paling menyenangkan adalah
masa kuliah.
Sejujur-jujur-jujurnya, saya bukan tipe orang yang terbuka,
tapi tidak juga tertutup, posisi saya mungkin ada di pertengahan antara
keduanya. Meskipun saya tidak suka kalau banyak orang yang terlalu tahu tentang
kehidupanku, saya tetap butuh satu dua teman yang harus tahu banyak tentang apa
yang sedang saya rasakan. Terbukti, di SMA saya punya beberapa “kunci”. Kunci
yang mengetahui sejarah perjalanan SMAku. Sekarang pun, di masa kuliah juga
begitu, saya punya dua kunci yang ketika orang lain sibuk menduga-duga, kedua
kunci itu bisa mengetahui dengan jelas jenis keresahan apa yang tengah saya
rasakan.
Tentang dipercaya…
Hal-hal yang tidak terduga itu ketika benar-benar terjadi,
rasanya lebih indah dibandingkan sekadar diberi kejutan ulang tahun. Entahlah.
Mungkin karena saya jarang sekali diberikan kejutan ulang tahun. Skip. jangan anggap ini serius, apalagi anggap ini
sebagai kode. Please.
Sebulan yang lalu, ketika saya baru saja mencolokkan
pengisi daya ke ponsel, tiba-tiba ada sebuah pesan masuk di sosial media
alias chat dari seseorang yang baruuu saja akrab. Mungkin
karena hampir seminggu kami bersama-sama dalam rentetan agenda yang segitu
padatnya. Sepadat jalanan ibu kota yang kami tatap dari jendela di malam itu.
Tsah. Isinya? “fir”, “fir”, “curhat dong”, “lg tengkar nih ma cewe gue”,
disertai stiker moon yang lagi bertekuk lutut sambil nangis di bawah awan
berhujan.
Bagi sebagian dari kalian mungkin sedikit lebay, ya, eh
baru begitu saja sudah kagetan. Tapi bagiku, wow. Saya memang
sudah sering sekali mendapatkan pesan sejenis itu dari Ari, Dzul, atau siapa
lah teman yang akrabnya sudah sampai memercayakan kegundahan hatinya kepada
seorang Firda. Perempuan yang begitu mudahnya berkawan karib dengan makhluk
yang bernama lelaki tanpa ada baper sedikit pun. Tapi, adalah sebuah pengalaman
baru mendapatkan kepercayaan menceritakan kegundahan hati dari seorang teman
yang akrabnya baru minggu kemarin.
Saya sendiri pun bingung mengapa orang-orang begitu
mudahnya percaya kepada seseorang yang lain. Bahkan bingung sama diri sendiri.
Bisa, ya, segitu mudahnya saya menceritakan segalanya ke Diah teman sebang saya
waktu SMA, misalnya. Atau ke kunci-kunci lain tanpa takut rahasia-rahasia kecil
itu akan merembes ke mana-mana. Sekaligus penasaran. Apa yang membuat Ari dan
teman-teman yang lain segitu mudahnya memercayai saya sebagai buku diarinya.
Mungkin karena setiap mereka curhat ada solusi yang saya tawarkan? Sepertinya
sangat-sangat tidak. Mungkin karena nyaman? Iya, tapi nyamannya karena apa?
Atau mungkin karena saya selalu menjaga apa yang ingin menjadi rahasia mereka?
Sepertinya alasan ini sedikit masuk akal.
Tapi bagaimana dengan kepercayaan yang lain?
Kepada orang-orang yang memercayakan ide?
Kepada orang-orang yang memercayakan amanah?
Kejutan-kejutan sederhana itu pun muncul dari adik-adik
penerus perjuangan. Entah itu OSIS, Forum Anak, dan adik dari payung-payung
yang sama lainnya. Kak, saya mau ikut kegiatan ini, disuruh buat esai
yang temanya ini. Kira-kira menurut kakak saya baiknya menulis tentang apa?
Bagaimana kalau yang ini? Atau yang itu? Atau Kak, menurut
kakak, kalau saya ambil jurusan ini, atau kursus ini, atau kursus di bimbel
ini, akan efektifkah? Lebih baik yang mana? Atau Kak, saya
disuruh baca buku sama senior tapi buku yang tentang ini, kira-kira buku apa
yang bagus untuk saya baca? Atau Kak, susunan acara untuk fun
walk nanti sebaiknya penampilan hiburan dulu atau sambutan-sambutan dulu?
Ternyata kepercayaan itu selalu dibangun dari hal-hal yang
sederhana saja.
Dan yang tidak kalah mengejutkannya adalah, ketika saya
yang jarang kelihatan batang hidungnya, saya yang selalu ogah-ogahan, saya
tidak pernah menjadi bagian yang cukup penting, diberikan kepercayaan untuk
merangkul amanah yang sebegitu besarnya bagi saya.
Kalau ditanya bagaimana perasaanku setiap kali mendapatkan
kepercayaan, rasanya, tidak adil sekali bila saya harus membusungkan dada. Saya
sadar bahwa dibalik semua limpahan kepercayaan itu, rasa syukurlah yang patut saya
besarkan. Syukur karena ternyata masih banyak sekali orang-orang yang sudah
berbaik hati memercayakan Firda, yang bukan psikolog, atau pun ahli baca
situasi, untuk sekadar dimintai saran sederhana. Saya pun sadar, bahwa saya
tidak punya hak apa pun untuk membuat orang lain percaya kepadaku, termasuk
kepada orang-orang yang saya percaya sekali pun. Karena kepercayaan itu tidak
dibangun atas dasar pemaksaan, ia murni berasal dari hasrat ingin mengeluarkan
resah.
Pararararam~
No comments:
Post a Comment