Saturday 23 December 2017

Seremoni 22 Desember

Setiap akan meninggalkan rumah, saya pasti mencium tangan bahkan kening ibu. But, is it enough?

22 Desember 2017 di Insta story, whatsApp story, dan wall Facebook, ramai berhiaskan dengan tulisan “Happy Mother’s Day!”. Sepaket dengan selfie bersama ibu tercinta. Ada juga yang mengunggah selembar foto kenangan bagi mereka yang telah ditinggal sang ibunda. Maka, semoga ibu kita semua senantiasa berada dalam lindungan-Nya dan kelak ditempatkan di surga-Nya. Aamiin.

Beberapa hari yang lalu, saya sempat menulis di insta story, dan saya pun menjadikannya highlight. Sebagaimana janji saya di salah satu kalimatnya bahwa saya akan menceritakannya di blog, maka terciptalah tulisan ini. Tulisan dari proses perenungan. Padahal, jauh sebelum tulisan ini dipikirkan, saya sudah menuliskan kerangka tulisan bertemakan family time, yang inti dari apa yang akan saya sampaikan, sebenarnya mirip. Tapi, hingga tulisan ini saya buat, entah mengapa saya tidak pernah tahu bagaimana cara menyelesaikan tulisan tersebut.

Highlight-nya seperti ini:

Terkadang aku ingin punya kemampuan untuk membelah dan mereplika diri.

Dan satu-satunya paragraf yang ada di tulisan itu adalah:

“Salah satu hal yang paling aku benci adalah ketika keluarga jauh yang sangat jarang kutemui datang berkunjung, dan di saat yang bersamaan aku harus menghadiri rapat atau kegiatan lain di mana aku menjadi salah satu orang (sok) pentingnya. Dan aku sudah sangat sering berhadapan dengan hal tersebut.”

Suatu waktu di masa liburan SMA, seorang tante yang sejak kecil saya anggap Mama sendiri berpesan bahwa perbanyaklah ciptakan momen berkesan bersama keluarga. “Walaupun momen sederhana, tapi itu cukup untuk membuatmu tersenyum. Momen berkesan tidak harus pergi ke tempat wisata, justeru biasanya momen berkesan itu akan datang tanpa direncakan. Sesedarhana kamu dan adikmu rebutan mie kremes.”

Teguran apakah yang gerangan saya maksud di insta story yang kujadikan highlight itu?

Hari Senin, 18 Desember 2017, siang, waktu itu saya sedang berada di Kampus Teknik Unhas menghadiri suatu kegiatan. Setelah makan siang, saya mengecek Hp yang sedang diisi daya sejak beberapa jam yang lalu. Dan ketika saya mengaktifkan data, muncullah beberapa miscall dari tante yang pada hari itu bersama ibu saya mengunjungi kondangan sepupu jauh. Ada pesan juga yang mengatakan bahwa ibu saya sedang berada di rumah sakit, habis kecelakaan. Pesan itu sejam yang lalu.

Pernah mendapatkan situasi tersebut? Bagaimana rasanya? Apa yang pertama kali kamu lakuakan? Kalau tidak pernah, semoga tidak akan pernah. J

Berdebar-bedar. Tentu saja. Istighfar. Bertanya-tanya keadaan ibu saat itu sambil menelepon sang tante. Histeris? Tidak. Menangis? Tidak. Panik? Sedikit. Kamu bisa tanyakan ekspresiku pada seorang teman. Andry namanya. Akhirnya telepon saya diangkat, tante bilang lukanya sedang dibersihkan. Sudah hampir selesai, dan akan pulang ke rumah. Tante suruh matikan telepon karena sedang kerepotan memegang banyak barang. Nada suaranya baik-baik saja. Maka aku pikir semuanya sudah aman. Tapi, hati ini tetap gelisah. Telepon lagi, tanyakan ibu nanti pulang naik apa. Sempat berpikir untuk ikut acara sampai selesai, tapi ternyata rasa ingin tengok ibu lebih besar, jadilah saya meninggalkan tamu jauh, para petinggi dari perusahaan yang telah memberikan beasiswanya pada saya.

Sesampainya di rumah sakit bahkan ketika melihat kondisi ibu yang ternyata tidak se-baik-baik-saja yang kupikirkan, entah mengapa air mataku tidak juga mengalir. Tapi jangan tanya debar-debar di jantung ini yang makin lama makin kencang. Satu, karena saya tidak mau menangis di depan ibu yang pada akhirnya bisa jadi akan membuatnya sedih. Dua, mungkin kepanikanku mengalahkan kesedihanku. Tiga, karena rasa syukurku. Saya merasa teramat sangat bersyukur karena ternyata Allah masih memberikan kesempatan untuk berbakti lebih lama lagi pada ibu.

Kata orang yang entah siapa itu benar, hujan mampu memancing air mata terjatuh. Ketika hujan deras terdengar mengamuk di atas atap rumah sakit, membasahi aspal-aspal, saya keluar ruangan IGD bagian bedah – yang mulai ramai karena kedatangan satu pasien lagi. Menuju jendela di sudut lorong. Menghayal beberapa detik, sontak air mataku terjatuh.

Ya, mungkin ini adalah teguran dari-Nya. Teguran agar saya rehat sejenak dari segala aktivitas yang begitu menyibukkan, membuat saya jarang di rumah. Agar saya lebih banyak lagi memanfaatkan waktu libur semester ini dengan ibu dan keluarga. Mungkin hanya dengan cara seperti ini aku bisa dicegah.

Ibu tidak pernah melarangku. Ya. Tidak pernah. Beliau selalu menunjukkan kekhawatiran, tetapi tidak sampai melarang. Ibu tidak pernah melarang pulang saat matahari sudah terbenam bahkan menginap di kost teman, meskipun teleponnya tidak pernah absen, bersama kalimat andalannya, “hati-hati, jaga diri baik-baik.” Ibu sangat mempercayai saya. Kepercayaan yang akhirnya membuat saya sering lupa bahwa saya adalah seorang anak perempuan pertama dan satu-satunya yang juga punya kewajiban membantu ibu mengurus rumah tangga.

Produktif boleh, tapi jangan sampai lupa family time.

Selamat liburan dan selamat berbakti!
-


P.s.: Kami mengucapkan terima kasih banyak atas doa-doa yang mengalir untuk ibu kami. Semoga doanya kembali kepada teman-teman sekalian! Selamat hari Ibu, Ibu! Maaf karena Firda belum bisa jadi apa-apa. Dan selamat hari Ibu untuk seluruh ibu di dunia. Semoga senantiasa berada dalam lindungan-Nya. Aamiin.

Tuesday 19 December 2017

Apa Kah itu Keren? (Keren Kah?)

Apa kah itu keren?
Sekedar mengikuti yang sedang tren
Tak khawatir akan jadi permanen
Yang akhirnya melahirkan temperamen
Kepada mereka yang ingin dianggap tulen
Duh, kebiasaan buruk kok dijadikan panen

Apa kah itu keren?
Terbawa arus perubahan zaman
Terseret pun engkau tak melawan
Yang kacau balau jadi panutan
Tak peduli walau sikap seperti setan
Malu kau sembunyikan di bawah telapak tangan

Apa kah itu keren?
Ketika yang viral wajib untuk ditonton
Meski pun tema selalu monoton
Manfaat sekecil fito-plankton
Racunnya lebih mematikan dari mercon
Menjadikan hati lebih keras dari beton

Apa kah itu keren?
Menggelengkan kepala mata dipicingkan
Melemparkan batu-batu hujatan
Seolah tak mengenal kata perasaan
Perihnya melebihi cambukan rotan
Selamat tinggal wahai norma dan aturan

Apa kah itu keren?
Bencana besar telah tiba di halaman
Sebentar lagi akan merusak taman-taman
Gendang ditabuh mengisyaratkan ancaman
Tapi hanya sedikit yang mendengarkan alunan
Berbisik ke dalam nurani menyerukan panggilan

Lekas bergerak, bungkam jangan!
Luruskan shaf merapatkan barisan
Mari bersama lakonkan peran
Yang terlanjur lupa tolong ingatkan
Tuhan pasti bukakan jalan

Atas moral yang dikepung kebuntuan

Friday 24 November 2017

Belajar Lebih Peka

Kalau kamu merasa nyaman mem-bully seseorang, berarti ada masalah dengan hati kamu.
Tepat setahun yang lalu, saya telah membuat vlog tentang perundungan alias bullying dengan harapan orang-orang bisa sedikit peka melihat fenomena perundungan yang makin ke sini makin menjadi-jadi. Yang lebih parahnya lagi adalah seseorang tidak sadar kalau dia telah melakukan tindakan perundungan. Melihat semuanya baik-baik dan normal-normal saja. Please, open your eyes, buddies!
Kalau kamu menggunakan kekuatan fisik atau psikologis untuk melemahkan seseorang secara sengaja, berulang-ulang dan ada perbedaan kekuatan antara kamu dan seseorang itu, berarti kamu telah melakukan perundungan.
Sengaja. Seseorang kalau ditanya mengapa mereka melakukan perundungan, maka sebagain besar akan menjawab hanya sebatas bercanda supaya lebih akrab. Nah, ini menarik untuk dibahas. Terkadang saya mendapat pertanyaan semacam, “Eh, bagaimana kalau saya membully seseorang, tapi orangnya tidak marah dan merasa senang dibully?”. Tunggu, senang? Masalahnya adalah kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi pada perasaan seseorang. Bisa saja dia menyunggingkan senyuman bahkan tawa padahal hatinya sedang rapuh. Saya pikir semua manusia pandai bersandiwara dengan jenis ini. Baru mau berhenti ketika dia sudah memperlihatkan kelemahan lewat air matanya?
Berulang-ulang. Manusia kalau sudah asyik, terkadang suka lupa. Kalau dilakukan sekali – dua kali, bisa jadi masih dimaafkan. Mungkin dia khilaf. Tapi, kalau sudah berulang-ulang, maka khilafnya sudah melampau batas sehingga tidak wajar lagi disebut khilaf.
Ada perbedaan kekuatan. Merasa kita jauh “lebih baik” atau “lebih pantas” dari seseorang juga bisa mengindikasi terjadinya perundungan. Kaya-miskin, senior-junior, dan sejenisnya. Yang lebih miris adalah perbedaan fisik seperti tinggi-pendek, gemuk-kurus, mancung-pesek, lurus-keriting, hitam-putih, padahal apa yang melekat pada tubuh seseorang adalah karunia yang sudah diberikan Tuhan. Jadi, ketika dihina, berarti sama dengan menghina pemberian Tuhan, bukan? Let’s think smart!
Satu pernyataan lagi yang selalu membuat saya ber-huh setiap kali diterbangkan kepada saya. Apalagi kalau bukan alasan konyol yang mengatakan kalau perundungan itu bisa meningkatkan mental seseorang. Gimana nih? Saya harus jawab apa? Memang benar seperti itu, kah?
Kalau sesuatu itu dianggap baik, kenapa harus dilarang dan ditentang? Kalau sesuatu itu dianggap baik, kenapa banyak organisasi yang berbondong-bondong untuk memusnahkannya? Kenapa UNICEF, misalnya, rela menghabiskan anggaran sampai milyaran atau bahkan trilyunan untuk menerapkan program-program pencegahannya ke seluruh penjuru dunia? Saya pikir riset yang dilakukan oleh mereka jauh lebih mendetail daripada sekedar ke-soktahu-an kita.
Jawaban yang menurut saya paling tepat adalah bukan perundungan yang membuat mentalnya semakin kokoh, tapi karena semangat dan dukungan yang diterima dari orang-orang sekeliling dan lingkungannya. Dan situasi seperti ini bisa diperoleh bukan hanya setelah mengalami perundungan. Kapan? Ketika dia mendapatkan ujian hidup, misalnya. Bukan dari sesuatu yang disengaja. Toh, pun tidak semua orang ternyata bisa bangkit dari keterpurukannya. Sebagian dari kalian mungkin masih fresh ingatannya dengan berbagai kasus bunuh diri yang terjadi karena perundungan. Atau mau diingatkan kembali?

Check it out...

(gambar diambil dari power point yang dibuat sama mas Derry)

Jaman now, perundungan tidak hanya terjadi di dunia nyata, tapi di dunia maya juga. Jenis ini disebut juga cyber bullying, perundungan tipe keempat setelah fisik, verbal dan sosial. Cyber bullying ini menyebabkan komentar hate speech bertebaran di mana-mana. Tanpa peduli kenal atau tidak. Seakan lupa kalau semua yang dilakukan akan dimintai pertanggungjawabannya, sekecil dzarrah pun, seremeh mengetikkan kata di kolom komentar.
Jadi, apa yang harus kita lakukan, buddies? Sepertinya tingkat kepekaan kita masih kurang. Saya sangat setuju bila ada yang mengusulkan untuk menegur secara langsung orang-orang yang melakukan tindakan perundungan, menasihatinya dengan pelan. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika orang tersebut lebih tua dari kita. Alih-alih ucapan terima kasih, yang kita dapatkan hanyalah kalimat-kalimat menyudutkan serupa, “eh, anak kecil kok menasihati orang tua yang jauh lebih berpengalaman menelan banyak garam”. Meskipun saya percaya bahwa masih banyak orang-orang yang ingin mendengarkan pendapat anak kecil seperti saya.
Kalau tidak mau mengobati, ya kita harus mencegah. Kalau tidak bisa melarang, setidaknya kita tidak melakukan hal yang sama. Kalau belum bisa mengajak orang lain, setidaknya kita mulai dari diri kita sendiri. Berdoa saja semoga besok lusa akan ada seseorang yang mau mengikuti langkah kita. Kita memang tidak bisa memaksa orang lain, tapi kita bisa mendoakannya untuk berubah menjadi lebih baik. Saya pun butuh doa-doa dari buddies sekalian. Dan yang paling keren adalah ikut terjun langsung di program-program yang ada. Banyak, kok, komunitas-komunitas dan NGO yang masih peka melihat masalah ini! – yang mungkin sebagian besar orang menganggapnya bukan masalah serius.
-

P.s. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah menyadarkan saya. Orang-orang yang membagikan ilmunya seputar perundungan kepada saya. Mas Derry, Miss Emily, Miss Lucy, Kak Ju, dan rekan-rekan UNICEF lainnya. Orang-orang yang memberikan kesempatan untuk terlibat, Bu Faridah, Bu Farida, dan bapak ibu pahlawan Yayasan Indonesia Mengabdi lainnya. Kak Ilo, Kak Irma, Kak Sinta, Kak Yusri, dan Auzan, teman-teman fasil yang selalu semangat menyebarkan virus anti-bully. Selamat satu tahun berkolaborasi!

Wednesday 8 November 2017

Kids Jaman Now

Kids jaman now itu haus perhatian, benar-benar haus!

Tulisan ini tercipta karena kepopuleran kata kids jaman now. Saking populernya, hampir tiap jam saya tidak sengaja membaca atau tidak sengaja mendengar kata tersebut dilontarkan. Entah secara nyata atupun melalui media sosial. Selayaknya manusia yang tidak ingin ketinggalan zaman, saya sendiri sudah beberapa kali menggunakan kata-kata yang sedang menjadi tren tersebut. Entah secara langsung, ataupun melalui status yang diunggah ke media sosial.

Semakin ke sini, semakin tua bumi, semakin canggih teknologi, semakin aneh pola tingkah laku manusia. Aneh bagi orang-orang yang hidup di zaman yang berbeda. Tapi bagi mereka yang hidup di zaman yang sama, mungkin akan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Kendati demikian, mereka yang dibekali akal yang ‘sehat’ dan lingkungan yang ‘waras’, meski pun hidup di zaman yang sama, maka tetap akan merasakan keanehannya. Dan begitu lah yang sedang saya (dan mungkin sebagian kamu) rasakan.

Kita hidup pada zaman di mana akses informasi dari belahan bumi satu dengan belahan bumi lainnya yang terpisah jutaan mil dapat diperoleh hanya dengan satu kali klik dengan kecepatan yang tidak sampai satu menit. Kecanggihan tersebut mengikis dinding-dinding dan memutus jala-jala yang seharusnya menjadi penyaring kecocokan dan ketidakcocokan, kepantasan dan ketidakpantasan, kelayakan dan ketidaklayakan. Dengan begitu, budaya dari satu tempat sangat mudah terbawa arus ke tempat lain tidak peduli sejauh apa pun jaraknya. Menjadikan budaya yang sebelumnya sangat asing, menjadi sangat akrab dan berbaur dengan budaya setempat. Mudah diterima, menjadi bahan konsumsi, layaknya micin yang menjadi bumbu dapur utama di setiap masakan.

Okay. Back to kids jaman now.

Selain sebutan kids jaman now, manusia-manusia yang lahir di abad 21 – yang sering main ke 21 – itu juga disebut dengan generasi micin. Kenapa? Ya, mungkin karena tingkahnya seperti orang-orang yang mengonsumsi monosodium glutamate dengan dosis yang berlebihan – yang konon sangat dihindari ibu hamil karena dapat membuat calon bayi yang dikandungnya mempunyai kemampuan berpikir yang rendah alias bodoh. Ya mau diapakan lagi, toh produk-produk zaman now juga dilumuri micin. Saya malah sempat berpikir jangan-jangan si asing yang membuka banyak franchise di Indonesia memang sengaja melumuri micin di setiap produknya untuk melemahkan daya pikir anak-anak Indonesia. Biar nanti kalau mereka beranjak dewasa tidak sempat kepikiran untuk menghidupkan produk lokal dan mengusir si asing yang berkuasa.

Aneh, abnormal, atau mungkin, lucu dan menggemaskan menjadi ciri setiap unggahan status, foto atau video yang social-media-able, mengundang gelak tawa dan komentar sarkasme dari orang-orang yang sesungguhnya telah mendzolimi generasi yang diharapkan mampu menjadi emas di tahun 2045.

Tidak sedikit pula yang membanding-bandingkan tingkah aneh kids jaman now dengan kids jaman old. Termasuk saya. Kalau kita berteman instagram sejak setahun lebih yang lalu, mungkin kamu masih ingat dengan potongan caption yang disandingkan dengan foto bersama dua orang teman kecilku:

Zaman kanak-kanak kami dipenuhi banyak sekali permainan yang menyenangkan; asing-asing, bom, boy, layang-layangan, manjat pohon lobe-lobe, lompat tali, tukar binder, wayang, beklan, dan masih banyaaaaaaak yang lainnya. Sinetron tontonan kami? Uh, mendidik sekali. Ada si Eneng, si Entong, si Mamat, eh, ada Ronaldowati juga. Dulu di tempat mengaji kami, kalau kuku panjang pasti dipukul pakai mistar kayu, tapi kami tidak pernah panggil orang tua untuk memarahi guru mengaji kami.

Sedangkan, kids jaman now lebih memilih untuk bermain game yang menjadikannya kenal dengan kawan nun jauh di sana, bermain sosial media yang mendekatkan yang jauh namun menjauhkan yang dekat, atau mungkin disuguhi tontonan yang akhirnya membuat mereka bermain pacar-pacaran mami-papi ayah-bundaan? – Eh, apa? Oh, serius pacaran, ya? Bukan main-main aja? Kalau gitu segera di-resmi-in dong. Hehe.

Apa yang membuat kondisi dulu dan kondisi sekarang yang terpaut sepuluh tahun itu berubah seratus delepan puluh derajat? Ya! Teknologi yang begitu derasnya menghujam kita. Akses informasi yang begitu mudahnya sampai ke tempat kita. Tidak peduli fakta atau hoaks. Semuanya dengan mudah dikonsumsi publik. Dan hal itu semua pun sangat mudah diperoleh sama kids jaman now. Sayangnya, mereka masih terlalu lugu untuk memilah mana yang boleh direplikasi dan mana yang tidak boleh.

Semua dikonsumsi, semua ditiru, tidak peduli hal itu benar atau salah. Pokoknya satu, yaitu bisa menjadi populer, mengikuti zaman, tidak kampungan, mendapatkan perhatian dan pengakuan hingga pada suatu ketika mereka akhirnya menjadi bahan ejekan, olok-olokan, candaan dan tertawaan orang-orang yang memiliki akal sedikit sehat.

Mengapa sedikit sehat? Karena orang-orang yang sepenuhnya sehat akan memandang hal tersebut sebagai hal yang sangat menyedihkan hingga tak layak sama sekali untuk ditertawakan. Layaknya orang meninggal, orang-orang seharusnya bersedih, bukan bergelak tawa. Nah, apa yang meninggal? Mari sama-sama berbela sungkawa atas moral yang perlahan tapi pasti, meninggalkan batang tubuh dan jiwa sanubari kids jaman now.

"Miris ya lihat adek-adek sekarang!"

Miris memang. Miris sekali. Sangat miris. Miris banget. Miris semiris-mirisnya.

Terus, kalau miris kita harus apa? Ikut andil menyebar-luaskan status, foto, dan video kids jaman now kepada para followers untuk sekedar dapat like atau komentar yang ramai? Biar orang-orang tahu kalau, wah, betapa lucu dan menggemaskannya adik kita yang satu ini? Atau, eh, ternyata kids jaman now itu (maaf) seburuk dan segoblok ini, loh! Lah, kids jaman now (sekali lagi maaf) buruk dan goblok itu karena siapa? Karena dirinya sendiri yang tidak dapat menyaring kepantasan dan ketidakpantasan budaya yang bahkan orang dewasa pun sulit untuk membendungnya? Coba sejenak tengok the old jaman now yang tengah asyik mengonsumsi video ‘lucu’ saat sedang rapat mengadu nasib bangsa.

Jika si the old yang seharusnya punya pikiran matang saja bisa se’khilaf’ itu, apalagi si kids yang masih dalam proses mencari jati diri. Terkadang, menghujat dan megolok-olok itu memang mudah. Parahnya, kita tidak sadar bahwa kita sedang menghujat dan mengolok-olok seseorang dan buntu akan solusinya. Maka akan jauh lebih berfaedah bila saja kita membantu si kids menemukan jati diri dengan versi yang pahlawan pendiri bangsa kita inginkan.

Sekali lagi, tolong bantu saya menjawabnya, untuk apa semua aib itu disebar? Eh, atau ada yang menganggapnya bukan aib, ya? Berarti kamu termasuk ke dalam orang-orang yang kurang peka dan kurang piknik. Maaf.

Semoga kids jaman now yang dengan lugunya meniru idola termehek-mehek mereka hanya karena ingin mendapat perhatian publik dan ingin populer – karena memang demikian nafsu di usia remaja bekerja dan akan menjadi parah bila tidak dapat dikendalikan – kelak diberi petunjuk dan jalan yang terang oleh yang maha kuasa.


Jadi, solusinya apa? Saya pun bingung, sobat. Saya harap yang maha pemberi petunjuk selalu memberikan peta terbaiknya kita semua.

Sunday 22 October 2017

Idola dan Authentic Leadership

Saya percaya bahwa setiap orang bisa mengidolakan dirinya sendiri.

Saya selalu percaya bahwa setiap manusia yang terlahir di muka bumi ini memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Kita itu sudah diberikan kapasitas masing-masing. Apa yang terbawa dalam diri kita sejak lahir itu akan menjadi penentu nasib di masa depan. Nah, tinggal kita sendiri yang menentukan apakah sisi yang kurang itu harus ditambal dan kelebihan itu harus dikendalikan atau membiarkan mereka berdiam diri begitu saja tanpa terjamah?

Beberapa bulan yang lalu di suatu seminar, saya mendapatkan materi yang berjudul Discovering Your Authentic Leadership yang intinya adalah setiap orang yang terlahir di dunia ini otentik, mempunyai keunikan dan ciri khas tersendiri, dibangun berdasarkan pengalaman dan mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi lingkungan sekitarnya.

Banyak orang yang bila ditanya siapa idolamu, maka akan menjawab ibu, atau manusia pilihan yang telah diberikan wahyu kepadanya. Saya pun tentu akan menjawab demikian. Bagiku, jawaban seperti itu adalah jawaban yang sudah seharusnya dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Idola yang saya maksud bukan pada ranah itu. Melainkan pada sosok manusia biasa. Bagiku, ibu bukan lah manusia biasa. Ia jelmaan malaikat tanpa sayap. Sebut saja manusia biasa itu adalah artis, atlet, tokoh politik, atau orang-orang biasa lain yang menemukan keistimewaan dalam dirinya sendiri sehingga orang lain melihatnya istimewa.
                                           
Saya setuju dengan pernyataan bahwa seseorang akan berperila saya meniru sosok idolanya. Tetapi, saya lebih setuju lagi bahwa seseorang sebaiknya tidak menduplikat idolanya. Mengambil yang baik-baik saja. Mengambil yang perlu diambil saja. Sejak kecil hingga sekarang, bila ditanya siapa tokoh idolaku, pasti jawabannya akan berbeda-beda. Teman-teman SD saya mungkin mendapat jawaban artis-artis sinetron yang sedang naik daun atau penyanyi seumuran saya yang sedang ikut ajang pencarian bakat pada saat itu. Teman-teman SMP saya mungkin mendapat jawaban tokoh politik yang menjadi suri tauladan banyak orang. Teman-teman SMA saya mungkin mendapat jawaban seorang sejarawan yang abadi dalam karya-karyanya.

Hingga saya sadar bahwa sebenarnya saya tidak pernah begitu fanatik dengan tokoh-tokoh yang pernah saya idolakan.

Kalau ditanya siapa idola saya sekarang? Saya akan menjawab seorang youtuber yang bagi saya mampu menjadi positive influencer di tengah-tengah kehancuran moral yang banyak terjadi di dunia maya zaman now.

Lalu apakah saya harus menjadi seperti dia seutuhnya?

Tentu jawabannya adalah tidak. Saya hanya mengambil apa yang menurut saya cocok untuk diterapkan kepada diri saya sendiri. Saya tidak bisa memaksakan diri saya untuk jago menyanyi dan ikut lomba paduan suara tingkat internasional. Saya juga tidak bisa memaksakan diri saya untuk jago menggambar memakai kuas dan cat air. Jangankan menggambar dengan hasil yang nyaris sempurna, untuk menarik satu lingkaran pun saya susah melakukannya. Tapi saya ingin untuk bisa mengecap pendidikan dan merantau ke negeri orang seperti dia. Atau setidaknya, menjadi positive influencer setidak-tidaknya bagi followers instagramku. Atau mungkin menulis catatan-catatan kecil di blog saya seperti yang kulakukan sekarang. Atau kah, mengadopsi cara berpikirnya yang kritis dan keren.

Itu pun tidak semua opini yang dikeluarkan dari idola saya itu ternyata sejalan dengan isi kepalaku. Saya tidak harus memaksakan diri untuk membenarkan semua opininya, bukan? Saya tidak akan mengubah ESTJ saya menjadi INTJ hanya karena saya mengidolakan dia. Setiap orang memandang sesuatu dari sisi yang berbeda-beda. Ada yang dari sisi depan, belakang, kiri, atau kanan. Setiap orang juga punya latar belakang dan pengalaman yang berbeda-beda sehingga menghasilkan kerangka berpikir yang berbeda pula.

Bila saya hanya menduplikat hal-hal yang melekat pada idola saya ke dalam diriku, harus menerima hal-hal yang tidak sejalan dengan pikiranku, memaksakan hal-hal yang saya sadari memang berada di luar batas kemampuan saya tanpa memedulikan bahwa sebenarnya ada ranah lain yang saya kuasai, maka sama halnya bahwa saya membuang-buang waktu dan kesempatan yang sebegitu besarnya Tuhan telah amanahkan kepadaku. Dengan menjadi orang lain, sama saja saya membunuh potensi alamiah yang sudah dititipkan ke dalam diriku.

Bersyukur dan berusaha itu menurut saya seperti sistem double entry dalam akuntansi, perlu diseimbangkan. Di satu sisi saya harus menyukuri semua yang telah ada pada diriku. Bersyukur menjadi diri saya dengan bentuk yang seperti ini. Di sisi lain, saya harus berusaha untuk lebih mengembangkan dan mengoptimalkan semua yang telah ada pada diriku. Termasuk berusaha memanfaatkan kelebihan saya agar berguna tidak hanya bagi diri saya sendiri, tapi juga bagi orang-orang di sekitarku.

Maka beginilah saya dengan segala kekurangan yang kumiliki. Bila kita harus sadar akan kekurangan yang kita punya, maka kita seharusnya lebih sadar lagi dengan kelebihan yang kita punya agar kekurangan-kekurangan itu bisa tertutupi. Bukannya karena ingin dikatakan sempurna, tapi untuk mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri kita sendiri. Sekeras apapun saya mencoba untuk menjadi orang lain, bila Tuhan tidak memberikan kelebihan itu untukku, pasti ada bentuk-bentuk lain yang bisa saya kembangkan. Saya percaya bahwa Tuhan memberikan porsi yang sama atas kelebihan dan kekurangan yang dimiliki manusia. Hanya bentuknya saja yang berbeda.

Idola saya itu bilang begini dalam bukunya, “Ternyata ada beberapa hal di dunia yang nggak bisa kita utak-atik, memang bukan kuasa kita.”


Jadi sudah tahu siapa idola saya sekarang? Besok lusa mungkin akan beda lagi.

Thursday 19 October 2017

Cerpen: Pelita


Pelita duduk bertekuk lutut di sisi tempat tidurnya. Menatap kosong ke luar jendela. Termangu sendirian di tengah remang-remang cahaya dari lentera di sudut ruangan. Sesekali ia terisak.
Sementara itu, samar-samar terdengar suara gaduh dari ruang keluarga di lantai dasar rumah gedongan tempat Pelita bernaung.
“Semua ini kesalahanmu!” Lelaki berusia senja menyeru lantang.
“Tidak! Semua ini karenamu!” Perempuan paruh baya membentak dengan suara melengking.
Pelita kembali terisak. Ia tahu bahwa dirinyalah penyebab semua kegaduhan itu.
Pandangannya berpaling ke pintu ketika mendengar suara berderap. Suara derap itu berhenti persis di pintu kamarnya. Lalu, terdengar suara ketukan.
Pelita bisa menebak siapa yang sedang mencoba menemuinya.
Gagang pintu bergerak pelan. Pintu itu berderik kala dibuka.
Pintu itu baru sepertiga terbuka kala seorang perempuan dewasa menjulurkan kepalanya. Matanya menatap lamat-lamat kepada Pelita. Kemudian menyuggingkan senyuman. Ia segera masuk tanpa dipersilakan. Menutup kembali pintu rapat-rapat sebelum melangkah ke arah Pelita.
Perempuan dewasa itu adalah kakak Pelita. Namanya Renata. Satu-satunya kakak yang dimilikinya. Renata baru saja pulang setelah empat tahun rantaunya di negeri orang lain.
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Renata kepada Pelita.
Pelita memalingkan pandangannya ke arah lentera di sudut ruangan. Membisu.
Sementara itu, samar-samar masih terdengar suara gaduh dari ruang keluarga di lantai dasar rumah gedongan tempat Pelita dan Renata bernaung.
“Kamu terlalu memanjakannya!” Lelaki berusia senja menyeru lantang.
“Kamu yang terlalu keras mendidiknya!” Perempuan paruh baya membentak dengan suara melengking.
Renata mendekatkan wajahnya ke wajah Pelita.
“Bagaimana keadaanmu?” Renata mengulang pertanyaannya.
Pelita lebih memilih diam.
Renata tahu bahwa adiknya sedang memikirkan kegaduhan di luar sana.
“Apakah kau baik-baik saja?” Renata kembali bertanya dengan kalimat yang berbeda.
Pelita menunduk. Memainkan jari-jari tangannya.
 “Aku punya banyak sekali cerita dongeng baru. Aku dan teman-teman asramaku selalu menceritakan dongeng dari negara masing-masing saat akhir pekan. Kamu ingin mendengarnya?”, Renata tidak mudah menyerah begitu saja.
Sementara itu, samar-samar terdengar suara pecahan kaca dari ruang keluarga di lantai dasar rumah gedongan tempat Pelita dan Renata bernaung.
“Pelita? Kau ingin mendengarkan cerita-cerita dongeng itu?” Renata mencoba merebut perhatian adiknya dari suara gaduh di luar sana. “Cerita-cerita dongeng itu seru sekali, loh. Kamu bisa menceritakannya kembali ke teman-temanmu nanti.”
Pelita beralih pandangan ke arah jendela. Ditatapnya langit kelam di luar sana.
“Apakah kau tidak merindukan kakak, Pelita?” Tanya Renata pelan.
Pelita menatap ke dalam bola mata teduh kakaknya. Terisak. Melinangkan air mata. Lalu kembali tertunduk.
Renata tahu betul bahwa adiknya itu merindukannya sangat dalam. Renata memeluk Pelita erat. Mencium kening adik satu-satu yang dimilikinya. Adik yang paling disayangi dan paling dibanggakannya.
Renata beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan Pelita sendirian.
Renata menyusuri lorong-lorong kecil di rumahnya. Semakin ia melangkah maju, suara gaduh itu semakin jelas terdengar. Hingga suara gaduh itu menyisakan hening setibanya ia di ujung lorong.
Lelaki berusia senja dan perempuan paruh baya baru saja masuk ke dalam kamar.
Renata berdiri di balik pintu kamar. Membuka tanpa mengetuknya lalu menutup kembali rapat-rapat.
“Sudah selesai diskusinya, Ma? Pa?” Renata bertanya pelan.
Kedua orang tua itu menatap sinis.
“Sampai kapan kalian akan mempertahankan ego masing-masing?” Nada bicara Renata mulai tidak sabaran.
“Renata, bicaralah dengan sopan!” Lelaki berusia senja itu membentak.
“Aku kira semua akan berubah setelah aku pergi. Tapi, ternyata aku salah. Aku bodoh karena saat itu aku terlalu percaya dengan diriku sendiri. Aku kira kalian akan mendengarkan apa yang kusampaikan.” Renata mulai berbicara. “Tapi, ternyata aku salah.” Suaranya merendah.
“Pelita!” Kali ini perempuan paruh baya yang membentak.
“Kalian menyalahkan Pelita yang selalu keluar rumah, tapi tidak pernah bercermin pada diri kalian masing-masing. Bagaimana mungkin seseorang akan betah tinggal di rumah bila setiap hari mereka hanya dipertontonkan perkelahian? Cukup, Ma! Pa! Aku dan Pelita capai melihat kalian terus-terusan bertengkar. Di depan tetangga kalian adu kehebatan, di depan teman-temanku dan teman-teman Pelita kalian saling lempar kesalahan. Sudah berkali-kali aku memohon kepada kalian agar jangan bertengkar di depan adikku. Sudah berkali-kali aku memohon agar Pelita tidak pernah melihat kekerasan lagi.” Ucap Renata dengan intonasi yang semakin kacau.
“Oh, jadi karena itu kamu berani melawan orang tua?” Lelaki berusia senja itu kembali berbicara.
“Papa dan Mama beruntung karena Pelita tidak seberontak aku. Papa dan Mama beruntung karena Pelita hanya bisa tertunduk diam bila dimarahi. Papa dan Mama teramat sangat beruntung mempunyai anak manis seperti Pelita!” Renata melanjutkan kalimatnya.
“Sudah, Renata! Bahkan kau tidak pernah membela adikmu sendiri bila kami marahi!” Perempuan paruh baya itu menimpali.
“Ya! Aku tidak ingin membelanya di hadapannya. Tapi, Mama dan Papa tahu kalau aku selalu membelanya ketika dia tidak ada. Tidak seperti Mama! Mama selalu memanjakannya di depannya hingga ia merasa selalu ada orang yang melindunginya bila dia membuat kesalahan. Aku ingin Pelita menjadi anak yang tangguh!” Aku Renata.
“Sudah kukatakan, Aisyah. Kau tidak perlu ikut campur bila aku menghukum anak-anak!” Lelaki berusia senja itu kini membentak perempuan paruh baya di hadapannya.
“Aku bahkan tidak pernah membentak Mama dan Papa di depan Pelita. Aku tidak ingin Pelita menjadi anak pembantah sepertiku. Tapi, Papa? Papa selalu saja membentak Mama di depan kami. Papa yang telah memberikan contoh buruk itu!” Ujar Renata.
“Kamu memang seperti itu!” Kini giliran perempuan paruh baya yang menimpali lelaki berusia senja itu.
“Kalian selalu saja melarang Renata dan Pelita melakukan ini dan itu. Padahal, semua yang kami lakukan tidak pernah memberatkan kalian. Sebaliknya, bahkan kami membuat kalian bangga.” Renata mengambil satu helaian napas panjang. “Pa, Ma, aku tahu kalian sangat menjaga Pelita. Tapi, tanpa kalian sadari kalian justru mengekang dia. Sampai kapan kalian akan melakukan itu? Ku mohon hentikan ini semua. Aku ingin adikku tumbuh tanpa tekanan!” Renata mempertemukan kedua telapan tangannya, jari-jarinya saling menggenggam, “Tepat tujuh hari lagi, Pelita akan berusia 17 tahun. Dia sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk dirinya sendiri. Berilah kepercayaan kepadanya.” Renata tersenyum.
“Terima kasih sudah mau mendengarkan Renata.” Kata Renata sesaat sebelum ia menutup pintu kembali.
Renata kembali menyusuri lorong-lorong rumahnya menuju kamar Pelita. Ia sedikit berlari. Tidak sabar ingin memeluk erat adiknya.
Sesampainya di kamar Pelita, Renata melihat adiknya sudah terlelap di ranjangnya. Pulas sekali.
***
Tujuh hari selanjutnya.
Pagi-pagi sekali Renata membuka pelan pintu menuju ruangan tiga kali empat meter di sebuah bangunan megah bercat putih.
Saat pintu itu terbuka, Renata mendapati ruangan yang sangat sepi. Hanya ada dua orang di ruangan itu. Laki-laki berjas putih seusianya tersenyum saat melihatnya berjalan memasuki ruangan itu.
Sorot mata Renata tertuju pada seorang lelaki berusia senja yang sedang terbaring lemah. Dua selang tertancap di punggung telapak tangan kirinya. Satu selang terhubung dengan kantong darah. Selang lainnya dialiri cairan infus. Satu selang lagi menghubungkan hidungnya dengan tabung oksigen.
Renata berjalan menuju satu-satunya pembaringan di ruangan itu. Mata sembapnya menatap sendu seseorang yang terbaring lemah di sana.
“Selamat pagi, Pa. Cepatlah bangun.” Renata terisak.
Sudah hampir tiga hari lelaki berusia senja itu terbaring di sana. Tidak sadarkan diri. Hari-hari sebelum dia tidak sadarkan diri merupakan hari-hari yang sangat sulit. Hampir setiap hari dia tidak makan dan juga tidak tidur. Memikirkan dan menjaga banyak sekali hal.
Renata mengelus rambut lelaki senja itu dengan penuh kasih sayang. Mengecup keningnya.
Lama sekali Renata berada di ruangan itu. Di tengah-tengah penantiannya. Berharap lelaki berusia senja itu membuka kedua matanya.
“Kapan Papa bangun?” Tanya Renata kepada lelaki berjas putih. Itu merupakan pertanyaan keseribunya saat lelaki paruh baya di hadapannya tidak sadarkan diri.
Lelaki berjas putih hanya bisa mengedipkan kedua matanya. “Kita berdoa saja.” Tuturnya.
“Segera kabari aku jika Papa sadarkan diri.” Pinta Renata.
Renata kembali terisak. Dia bangkit dari tempatnya duduk. Meninggalkan lelaki berusia senja bersama lelaki berjas putih.
***
Matahari mulai meninggi hingga tepat berada di atas kepala.
Renata menuju sebuah ruangan di sisi lain bangunan megah bercat putih.
“Renata, dari mana saja kamu?”, Seorang perempuan paruh baya langsung berseru ketika melihat kepala Renata muncul dari balik pintu. Dia sedang sibuk dengan bunga-bunga plastik.
Renata mendapati sebuah ruangan yang sangat ramai. Balon-balon udara menghias sudut-sudut ruangan. Bunga-bunga plastik tertata indah di sisi-sisi ruangan. Ada karpet merah yang menjulur ketika memasuki ruangan itu. Mengarah ke arah kue tar yang terletak di tengah-tengah ruangan. Ruangan itu didekorasi sempurna untuk sebuah pesta ulang tahun.
“Ini semua Mama yang buat?” Tanya Renata penasaran.
Perempuan yang ditanya Renata – sedang asyik bergelut dengan bunga-bunga plastik – tidak menghiraukannya.
“Halo. Kamu anaknya dia?” Seorang perempuan paruh baya lain menyapa Renata. Dia memegang balon udara dengan riangnya. “Wah, cantik sekali kamu!”, dia kemudian mencubit-cubit pipi Renata.
“Renata, di mana Pelita?”, Perempuan paruh baya yang sedang mengotak-atik bunga-bunga plastik bertanya kepada Renata.
Renata tidak menjawab. Dia sedang asyik mengobrol dengan perempuan seusianya sembari menatapi balon-balon udara di salah satu sudut ruangan.
“Renata, Mama bertanya kepadamu.” Perempuan paruh baya itu meninggikan suaranya.
Renata berbalik badan. Perempuan di sampingnya juga ikut berbalik badan.
“Iya, Ma?” Renata mendapati perempuan itu masih berdandan.
“Pelita sudah pulang?” Perempuan paruh baya itu kembali bertanya.
Renata tersenyum sebentar. Mengangguk.
Perempuan paruh baya itu menghampiri Renata. Wajahnya berseri-seri. Girang sekali.
“Benarkah? Bagaimana penampilan Mama? Apakah Mama sudah cantik?”
Renata memerhatikan perempuan paruh baya itu dengan saksama. Perempuan paruh baya itu mengenakan gaun berwarna merah. Gincu berwarna merah darah terpoles di bibirnya. Polesannya bahkan melewati garis pinggir bibirnya. Bedaknya juga berlepotan.
“Cantik sekali, Ma!” Renata tersenyum.
Perempuan paruh baya itu memutar badannya. Mengibas-ngibaskan rok gaunnya. Meloncat-loncat kegirangan.
“Tapi, Pelita benar-benar sudah pulang, kan?” Tiba-tiba perempuan paruh baya itu bertanya cemas. Cepat sekali ekspresinya berubah.
Renata tersenyum. “Iya, Ma. Pelita benar-benar sudah pulang” Renata memeluk tubuh perempuan paruh baya itu erat. Sangat erat.
“Awas, nanti gaun Mama kusut.” Perempuan paruh baya itu melepaskan pelukan Renata.
Renata mengambil satu buket dari salah satu sisi ruangan. “Ma, aku minta satu bunganya, ya?”
“Jangan, ini semua untuk Pelita.” Perempuan paruh baya itu mengambil buket dari tangan Renata. Kemudian tersenyum simpul.
“Mama pasti belum menghitung jumlah buketnya. Semua ada delapan belas. Lebih satu, kan, Ma?” Renata mengambil kembali buket dari tangan perempuan paruh baya.
“Benarkah?” Perempuan paruh baya melayang-layangkan telunjuknya. Menghitung jumlah buket di ruangan itu. Mengulangnya berkali-kali.
“Mama tidak memercayai Renata lagi?” Renata memasang wajah kecewa.
Perempuan paruh baya itu berhenti menghitung. Tersenyum.
“Ma, Renata mau pergi dulu sebentar.” Renata memohon izin kepada perempuan paruh baya.
“Kamu mau kemana lagi?” Tanya perempuan paruh baya marah. Ekspresinya berubah lebih cepat.
“Ada urusan sebentar, Ma.” Renata mencium punggung telapak tangan perempuan paruh baya.
“Renata, jangan lupa panggil Pelita. Bilang kalau Mama sudah menunggunya!” Ucap perempuan paruh baya ketika Renata tepat di hadapan pintu. Ia kembali asyik memainkan bunga-bunga plastik.
Renata tersenyum tanpa membalikkan badan ke arah perempuan paruh baya.
“Aku pergi dulu. Tolong jaga Mama baik-baik. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku.” Pinta Renata kepada perempuan seusianya yang sedari tadi mengobrol dengannya. Perempuan yang mengenakan jas putih. Kemudian dia menutup pintu ruangan ramai itu rapat-rapat.
***
Matahari mulai merendah. Renata sedang berada di perbukitan di tengah kota. Dia melangkah di jalanan bukit yang menanjak.
Renata sampai di puncak bukit. Memandang ke sekelilingnya. Sepi sekali tempat itu. Tidak ada orang-orang di sana selain dirinya. Dia duduk bersila berpayungkan langit sore.
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Renata dengan suara datar.
Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutnya.
“Apakah kau baik-baik saja?” Renata bertanya canggung.
Angin berdesah menjawabnya.
“Maafkan kakak yang datang kesorean. Banyak sekali hal yang harus kakak urus.”
Suara Renata nyaris tidak terdengar di ujung kalimat.
“Kakak membawakan sesuatu. Ini dari Mama.”
Suara Renata bergetar.
Renata meletakkan buket di atas gundukan tanah.
“Selamat ulang tahun, adikku tersayang.”
Suara Renata semakin bergetar. Dia berusaha menahan linangan air mata dari balik  pelupuknya.
“Ulang tahun ketujuh belasmu pasti seru sekali, kan?” Renata mengusap kedua matanya. “Kamu merayakannya bersama para malaikat di surga.”
Tangis Renata pecah. Ingatannya menjajaki masa lalu. Tepat sebelas tahun yang lalu.
***
Pelita berlari-lari kecil menghampiri Renata yang sedang mengerjakan tugas Ilmu Pengetahuan Alam di meja belajarnya.
“Kakak Renata, Kakak Renata!” Pelita kecil berseru.
“Iya, kenapa sayang?” Renata meletakkan pulpennya. Membalikkan tubuhnya hingga berhadapan dengan Pelita.
“Aku punya PR yang sulit.” Pelita yang baru saja masuk sekolah dasar bercerita kepada kakaknya yang sudah kelas dua di sekolah menengah pertama.
“Apa PRnya?” Tanya Renata penasaran.
“Nomor satu. Apa arti nama kamu?” Pelita mengeja soalnya. “Apa arti namaku, kak?” Pelita bertanya kepada kakaknya.
Renata yang sebelumnya sedang mengerjakan PR IPA dengan materi cahaya tiba-tiba mendapat ide.
“Kalau kamu buka kamus, pelita itu artinya lampu. Jadi kamu menjadi penerang di dalam kegelapan.” Renata menjawab semampunya.
“Benarkah, kak?” Wajah Pelita terlihat berseri-seri.
“Ada lagi?” Renata kembali bertanya.
“Nomor dua. Apa cita-cita kamu? Apa alasannya?” Pelita kembali mengeja soalnya.
“Kamu tidak punya cita-cita, ya?” Renata menggoda Pelita.
“Cita-cita itu apa, kak?” Pelita bertanya polos.
“Cita-cita itu apa yang kamu inginkan. Mau jadi seperti apa kamu.” Renata menerangkannya dengan bahasa yang mudah dimengerti Pelita.
“Cita-citaku… Hm… Oh, iya! Aku ingin ke surga sama Mama, Papa dan kakak Renata! Bu guru bilang, di surga kita bisa mendapatkan apapun.”
Renata tertawa geli mendengar penjelasan adik satu-satunya. “Pelita, Pelita. Semua orang pasti punya cita-cita masuk surga. Cita-cita yang ditanyakan bu guru itu profesi. Maksudnya, kalau besar nanti kamu mau menjadi apa? Apakah kamu mau menjadi pengusaha seperti Papa, atau mau menjadi akuntan seperti Mama, atau menjadi guru seperti ibu guru di sekolah. Tapi, kita harus belajar yang gita supaya cita-cita itu bisa kita raih.” Jelas Renata.
“Oh…” Pelita terlihat seperti berpikir. “Aku mau menjadi seperti tante Elisa. Dokter! Aku ingin mengobati orang-orang yang sakit seperti tante Elisa yang selalu mengobati Pelita. Tante Elisa itu hebat sekali. Dia bisa menghilangkan rasa sakit yang selalu mengganggu Pelita.” Pelita menuliskan kalimat yang dilontarkannya ke dalam buku tulisnya.
Renata terpaku melihat adiknya. Tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Renata juga mengakui bahwa tante Elisa adalah dokter spesialis kanker otak terhebat di kotanya.
“Kakak Renata janji, ya, mau bantu pelita meraih cita-cita Pelita menjadi dokter.” Pelita berucap disela-sela menuliskan jawaban.
“Pasti, dong! Kakak juga akan selalu menjagamu. Kakak akan selalu membuatmu bahagia.” Renata menjawab mantap sembari mengelus-elus rambut Pelita. Sedangkan hatinya, bergetar menahan pilu.
“Ye. Tugasku sudah selesai.” Pelita menari-nari dengan girangnya.
Pelita berlari menuju pintu. Dan tiba-tiba… “Surprise! Selamat ulang tahun, Pelita!” Papa dan Mama muncul dari balik pintu. Membawakan kue tar berwarna merah muda untuk Pelita.
Saat kue potongan pertama sudah ada di atas piring kecil, Pelita mengambil sendok, lalu menyuapkan kue potongan pertama itu kepada kakaknya, Renata.
***
Di puncak perbukitan tengah-tengah kota. Renata masih duduk bersila berpayungkan langit.
“Pelita, sekarang Papa dan Mama sakit. Kamu mau tahu, siapa yang merawat mereka?” Renata mengelus-elus nisan putih di dekatnya. “Anak kembarnya tante Elisa yang dulu sering berkunjung ke rumah! Mereka sudah menganggap Mama dan Papa seperti orang tua mereka sendiri. Mereka baik sekali.” Pelita melanjutkan kalimatnya tanpa menunggu jawaban ‘iya’ yang tidak akan pernah ia dengar.
“Andaikan saja kamu benar-benar bisa menjadi dokternya Mama dan Papa.” Renata mengambil napas dalam-dalam. “Aku punya cerita tentang profesi yang kamu cita-citakan itu. Kamu pasti akan menyukainya, Pelita.”
Renata bercerita seolah-olah sedang berada di kamar Pelita. Menceritakan dongeng-dongeng dari berbagai negara yang tidak sempat ia ceritakan kepada Pelita. Sesekali ia harus berjuang melawan tangis yang tiba-tiba saja pecah.
“Pelita, kakak sangat merindukanmu. Bahkan jauh lebih merindukanmu dibanding saat kakak di negeri orang. Sekarang kau pergi lebih jauh dari rantauan kakak dulu. Jauh sekali.”
Renata tertunduk.
“Pelita, maafkan kakak yang pernah meninggalkanmu selama bertahun-tahun. Maafkan kakak yang tidak bisa menjagamu dengan baik. Maafkan kakak yang pernah berjanji untuk selalu membuatmu bahagia.”
Ranata terisak di bawah langit yang telah berubah warna menjadi jingga.
“Pelita, singgahlah di tengah-tengah tidur lelap kakak. Walau itu hanya sebentar. Kakak hanya ingin memelukmu erat.”

* Selesai *