Pelita
duduk bertekuk lutut di sisi tempat tidurnya. Menatap kosong ke luar jendela.
Termangu sendirian di tengah remang-remang cahaya dari lentera di sudut
ruangan. Sesekali ia terisak.
Sementara
itu, samar-samar terdengar suara gaduh dari ruang keluarga di lantai dasar
rumah gedongan tempat Pelita bernaung.
“Semua
ini kesalahanmu!” Lelaki berusia senja menyeru lantang.
“Tidak!
Semua ini karenamu!” Perempuan paruh baya membentak dengan suara melengking.
Pelita
kembali terisak. Ia tahu bahwa dirinyalah penyebab semua kegaduhan itu.
Pandangannya
berpaling ke pintu ketika mendengar suara berderap. Suara derap itu berhenti
persis di pintu kamarnya. Lalu, terdengar suara ketukan.
Pelita
bisa menebak siapa yang sedang mencoba menemuinya.
Gagang
pintu bergerak pelan. Pintu itu berderik kala dibuka.
Pintu
itu baru sepertiga terbuka kala seorang perempuan dewasa menjulurkan kepalanya.
Matanya menatap lamat-lamat kepada Pelita. Kemudian menyuggingkan senyuman. Ia
segera masuk tanpa dipersilakan. Menutup kembali pintu rapat-rapat sebelum
melangkah ke arah Pelita.
Perempuan
dewasa itu adalah kakak Pelita. Namanya Renata. Satu-satunya kakak yang
dimilikinya. Renata baru saja pulang setelah empat tahun rantaunya di negeri
orang lain.
“Bagaimana
keadaanmu?” Tanya Renata kepada Pelita.
Pelita
memalingkan pandangannya ke arah lentera di sudut ruangan. Membisu.
Sementara
itu, samar-samar masih terdengar suara gaduh dari ruang keluarga di lantai
dasar rumah gedongan tempat Pelita dan Renata bernaung.
“Kamu
terlalu memanjakannya!” Lelaki berusia senja menyeru lantang.
“Kamu
yang terlalu keras mendidiknya!” Perempuan paruh baya membentak dengan suara
melengking.
Renata
mendekatkan wajahnya ke wajah Pelita.
“Bagaimana
keadaanmu?” Renata mengulang pertanyaannya.
Pelita
lebih memilih diam.
Renata
tahu bahwa adiknya sedang memikirkan kegaduhan di luar sana.
“Apakah
kau baik-baik saja?” Renata kembali bertanya dengan kalimat yang berbeda.
Pelita
menunduk. Memainkan jari-jari tangannya.
“Aku punya banyak sekali cerita dongeng baru.
Aku dan teman-teman asramaku selalu menceritakan dongeng dari negara
masing-masing saat akhir pekan. Kamu ingin mendengarnya?”, Renata tidak mudah
menyerah begitu saja.
Sementara
itu, samar-samar terdengar suara pecahan kaca dari ruang keluarga di lantai
dasar rumah gedongan tempat Pelita dan Renata bernaung.
“Pelita?
Kau ingin mendengarkan cerita-cerita dongeng itu?” Renata mencoba merebut
perhatian adiknya dari suara gaduh di luar sana. “Cerita-cerita dongeng itu
seru sekali, loh. Kamu bisa menceritakannya kembali ke teman-temanmu nanti.”
Pelita
beralih pandangan ke arah jendela. Ditatapnya langit kelam di luar sana.
“Apakah
kau tidak merindukan kakak, Pelita?” Tanya Renata pelan.
Pelita
menatap ke dalam bola mata teduh kakaknya. Terisak. Melinangkan air mata. Lalu
kembali tertunduk.
Renata
tahu betul bahwa adiknya itu merindukannya sangat dalam. Renata memeluk Pelita
erat. Mencium kening adik satu-satu yang dimilikinya. Adik yang paling
disayangi dan paling dibanggakannya.
Renata
beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan Pelita sendirian.
Renata
menyusuri lorong-lorong kecil di rumahnya. Semakin ia melangkah maju, suara
gaduh itu semakin jelas terdengar. Hingga suara gaduh itu menyisakan hening
setibanya ia di ujung lorong.
Lelaki
berusia senja dan perempuan paruh baya baru saja masuk ke dalam kamar.
Renata
berdiri di balik pintu kamar. Membuka tanpa mengetuknya lalu menutup kembali
rapat-rapat.
“Sudah
selesai diskusinya, Ma? Pa?” Renata bertanya pelan.
Kedua
orang tua itu menatap sinis.
“Sampai
kapan kalian akan mempertahankan ego masing-masing?” Nada bicara Renata mulai
tidak sabaran.
“Renata,
bicaralah dengan sopan!” Lelaki berusia senja itu membentak.
“Aku
kira semua akan berubah setelah aku pergi. Tapi, ternyata aku salah. Aku bodoh
karena saat itu aku terlalu percaya dengan diriku sendiri. Aku kira kalian akan
mendengarkan apa yang kusampaikan.” Renata mulai berbicara. “Tapi, ternyata aku
salah.” Suaranya merendah.
“Pelita!”
Kali ini perempuan paruh baya yang membentak.
“Kalian
menyalahkan Pelita yang selalu keluar rumah, tapi tidak pernah bercermin pada
diri kalian masing-masing. Bagaimana mungkin seseorang akan betah tinggal di
rumah bila setiap hari mereka hanya dipertontonkan perkelahian? Cukup, Ma! Pa!
Aku dan Pelita capai melihat kalian terus-terusan bertengkar. Di depan tetangga
kalian adu kehebatan, di depan teman-temanku dan teman-teman Pelita kalian
saling lempar kesalahan. Sudah berkali-kali aku memohon kepada kalian agar
jangan bertengkar di depan adikku. Sudah berkali-kali aku memohon agar Pelita
tidak pernah melihat kekerasan lagi.” Ucap Renata dengan intonasi yang semakin
kacau.
“Oh,
jadi karena itu kamu berani melawan orang tua?” Lelaki berusia senja itu
kembali berbicara.
“Papa
dan Mama beruntung karena Pelita tidak seberontak aku. Papa dan Mama beruntung
karena Pelita hanya bisa tertunduk diam bila dimarahi. Papa dan Mama teramat
sangat beruntung mempunyai anak manis seperti Pelita!” Renata melanjutkan
kalimatnya.
“Sudah,
Renata! Bahkan kau tidak pernah membela adikmu sendiri bila kami marahi!”
Perempuan paruh baya itu menimpali.
“Ya!
Aku tidak ingin membelanya di hadapannya. Tapi, Mama dan Papa tahu kalau aku
selalu membelanya ketika dia tidak ada. Tidak seperti Mama! Mama selalu
memanjakannya di depannya hingga ia merasa selalu ada orang yang melindunginya
bila dia membuat kesalahan. Aku ingin Pelita menjadi anak yang tangguh!” Aku
Renata.
“Sudah
kukatakan, Aisyah. Kau tidak perlu ikut campur bila aku menghukum anak-anak!”
Lelaki berusia senja itu kini membentak perempuan paruh baya di hadapannya.
“Aku
bahkan tidak pernah membentak Mama dan Papa di depan Pelita. Aku tidak ingin
Pelita menjadi anak pembantah sepertiku. Tapi, Papa? Papa selalu saja membentak
Mama di depan kami. Papa yang telah memberikan contoh buruk itu!” Ujar Renata.
“Kamu
memang seperti itu!” Kini giliran perempuan paruh baya yang menimpali lelaki
berusia senja itu.
“Kalian
selalu saja melarang Renata dan Pelita melakukan ini dan itu. Padahal, semua
yang kami lakukan tidak pernah memberatkan kalian. Sebaliknya, bahkan kami
membuat kalian bangga.” Renata mengambil satu helaian napas panjang. “Pa, Ma,
aku tahu kalian sangat menjaga Pelita. Tapi, tanpa kalian sadari kalian justru
mengekang dia. Sampai kapan kalian akan melakukan itu? Ku mohon hentikan ini
semua. Aku ingin adikku tumbuh tanpa tekanan!” Renata mempertemukan kedua
telapan tangannya, jari-jarinya saling menggenggam, “Tepat tujuh hari lagi,
Pelita akan berusia 17 tahun. Dia sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang
buruk untuk dirinya sendiri. Berilah kepercayaan kepadanya.” Renata tersenyum.
“Terima
kasih sudah mau mendengarkan Renata.” Kata Renata sesaat sebelum ia menutup
pintu kembali.
Renata
kembali menyusuri lorong-lorong rumahnya menuju kamar Pelita. Ia sedikit
berlari. Tidak sabar ingin memeluk erat adiknya.
Sesampainya
di kamar Pelita, Renata melihat adiknya sudah terlelap di ranjangnya. Pulas
sekali.
***
Tujuh
hari selanjutnya.
Pagi-pagi
sekali Renata membuka pelan pintu menuju ruangan tiga kali empat meter di
sebuah bangunan megah bercat putih.
Saat
pintu itu terbuka, Renata mendapati ruangan yang sangat sepi. Hanya ada dua
orang di ruangan itu. Laki-laki berjas putih seusianya tersenyum saat
melihatnya berjalan memasuki ruangan itu.
Sorot
mata Renata tertuju pada seorang lelaki berusia senja yang sedang terbaring
lemah. Dua selang tertancap di punggung telapak tangan kirinya. Satu selang
terhubung dengan kantong darah. Selang lainnya dialiri cairan infus. Satu
selang lagi menghubungkan hidungnya dengan tabung oksigen.
Renata
berjalan menuju satu-satunya pembaringan di ruangan itu. Mata sembapnya menatap
sendu seseorang yang terbaring lemah di sana.
“Selamat
pagi, Pa. Cepatlah bangun.” Renata terisak.
Sudah
hampir tiga hari lelaki berusia senja itu terbaring di sana. Tidak sadarkan
diri. Hari-hari sebelum dia tidak sadarkan diri merupakan hari-hari yang sangat
sulit. Hampir setiap hari dia tidak makan dan juga tidak tidur. Memikirkan dan
menjaga banyak sekali hal.
Renata
mengelus rambut lelaki senja itu dengan penuh kasih sayang. Mengecup keningnya.
Lama
sekali Renata berada di ruangan itu. Di tengah-tengah penantiannya. Berharap
lelaki berusia senja itu membuka kedua matanya.
“Kapan
Papa bangun?” Tanya Renata kepada lelaki berjas putih. Itu merupakan pertanyaan
keseribunya saat lelaki paruh baya di hadapannya tidak sadarkan diri.
Lelaki
berjas putih hanya bisa mengedipkan kedua matanya. “Kita berdoa saja.”
Tuturnya.
“Segera
kabari aku jika Papa sadarkan diri.” Pinta Renata.
Renata
kembali terisak. Dia bangkit dari tempatnya duduk. Meninggalkan lelaki berusia
senja bersama lelaki berjas putih.
***
Matahari
mulai meninggi hingga tepat berada di atas kepala.
Renata
menuju sebuah ruangan di sisi lain bangunan megah bercat putih.
“Renata,
dari mana saja kamu?”, Seorang perempuan paruh baya langsung berseru ketika
melihat kepala Renata muncul dari balik pintu. Dia sedang sibuk dengan
bunga-bunga plastik.
Renata
mendapati sebuah ruangan yang sangat ramai. Balon-balon udara menghias
sudut-sudut ruangan. Bunga-bunga plastik tertata indah di sisi-sisi ruangan. Ada
karpet merah yang menjulur ketika memasuki ruangan itu. Mengarah ke arah kue
tar yang terletak di tengah-tengah ruangan. Ruangan itu didekorasi sempurna
untuk sebuah pesta ulang tahun.
“Ini
semua Mama yang buat?” Tanya Renata penasaran.
Perempuan
yang ditanya Renata – sedang asyik bergelut dengan bunga-bunga plastik – tidak
menghiraukannya.
“Halo.
Kamu anaknya dia?” Seorang perempuan paruh baya lain menyapa Renata. Dia
memegang balon udara dengan riangnya. “Wah, cantik sekali kamu!”, dia kemudian
mencubit-cubit pipi Renata.
“Renata,
di mana Pelita?”, Perempuan paruh baya yang sedang mengotak-atik bunga-bunga
plastik bertanya kepada Renata.
Renata
tidak menjawab. Dia sedang asyik mengobrol dengan perempuan seusianya sembari
menatapi balon-balon udara di salah satu sudut ruangan.
“Renata,
Mama bertanya kepadamu.” Perempuan paruh baya itu meninggikan suaranya.
Renata
berbalik badan. Perempuan di sampingnya juga ikut berbalik badan.
“Iya,
Ma?” Renata mendapati perempuan itu masih berdandan.
“Pelita
sudah pulang?” Perempuan paruh baya itu kembali bertanya.
Renata
tersenyum sebentar. Mengangguk.
Perempuan
paruh baya itu menghampiri Renata. Wajahnya berseri-seri. Girang sekali.
“Benarkah?
Bagaimana penampilan Mama? Apakah Mama sudah cantik?”
Renata
memerhatikan perempuan paruh baya itu dengan saksama. Perempuan paruh baya itu
mengenakan gaun berwarna merah. Gincu berwarna merah darah terpoles di
bibirnya. Polesannya bahkan melewati garis pinggir bibirnya. Bedaknya juga
berlepotan.
“Cantik
sekali, Ma!” Renata tersenyum.
Perempuan
paruh baya itu memutar badannya. Mengibas-ngibaskan rok gaunnya.
Meloncat-loncat kegirangan.
“Tapi,
Pelita benar-benar sudah pulang, kan?” Tiba-tiba perempuan paruh baya itu
bertanya cemas. Cepat sekali ekspresinya berubah.
Renata
tersenyum. “Iya, Ma. Pelita benar-benar sudah pulang” Renata memeluk tubuh
perempuan paruh baya itu erat. Sangat erat.
“Awas,
nanti gaun Mama kusut.” Perempuan paruh baya itu melepaskan pelukan Renata.
Renata
mengambil satu buket dari salah satu sisi ruangan. “Ma, aku minta satu
bunganya, ya?”
“Jangan,
ini semua untuk Pelita.” Perempuan paruh baya itu mengambil buket dari tangan
Renata. Kemudian tersenyum simpul.
“Mama
pasti belum menghitung jumlah buketnya. Semua ada delapan belas. Lebih satu,
kan, Ma?” Renata mengambil kembali buket dari tangan perempuan paruh baya.
“Benarkah?”
Perempuan paruh baya melayang-layangkan telunjuknya. Menghitung jumlah buket di
ruangan itu. Mengulangnya berkali-kali.
“Mama
tidak memercayai Renata lagi?” Renata memasang wajah kecewa.
Perempuan
paruh baya itu berhenti menghitung. Tersenyum.
“Ma,
Renata mau pergi dulu sebentar.” Renata memohon izin kepada perempuan paruh
baya.
“Kamu
mau kemana lagi?” Tanya perempuan paruh baya marah. Ekspresinya berubah lebih
cepat.
“Ada
urusan sebentar, Ma.” Renata mencium punggung telapak tangan perempuan paruh
baya.
“Renata,
jangan lupa panggil Pelita. Bilang kalau Mama sudah menunggunya!” Ucap
perempuan paruh baya ketika Renata tepat di hadapan pintu. Ia kembali asyik
memainkan bunga-bunga plastik.
Renata
tersenyum tanpa membalikkan badan ke arah perempuan paruh baya.
“Aku
pergi dulu. Tolong jaga Mama baik-baik. Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku.”
Pinta Renata kepada perempuan seusianya yang sedari tadi mengobrol dengannya.
Perempuan yang mengenakan jas putih. Kemudian dia menutup pintu ruangan ramai
itu rapat-rapat.
***
Matahari
mulai merendah. Renata sedang berada di perbukitan di tengah kota. Dia
melangkah di jalanan bukit yang menanjak.
Renata
sampai di puncak bukit. Memandang ke sekelilingnya. Sepi sekali tempat itu.
Tidak ada orang-orang di sana selain dirinya. Dia duduk bersila berpayungkan
langit sore.
“Bagaimana
keadaanmu?” Tanya Renata dengan suara datar.
Angin
sepoi-sepoi menerbangkan rambutnya.
“Apakah
kau baik-baik saja?” Renata bertanya canggung.
Angin
berdesah menjawabnya.
“Maafkan
kakak yang datang kesorean. Banyak sekali hal yang harus kakak urus.”
Suara
Renata nyaris tidak terdengar di ujung kalimat.
“Kakak
membawakan sesuatu. Ini dari Mama.”
Suara
Renata bergetar.
Renata
meletakkan buket di atas gundukan tanah.
“Selamat
ulang tahun, adikku tersayang.”
Suara
Renata semakin bergetar. Dia berusaha menahan linangan air mata dari balik pelupuknya.
“Ulang
tahun ketujuh belasmu pasti seru sekali, kan?” Renata mengusap kedua matanya.
“Kamu merayakannya bersama para malaikat di surga.”
Tangis
Renata pecah. Ingatannya menjajaki masa lalu. Tepat sebelas tahun yang lalu.
***
Pelita
berlari-lari kecil menghampiri Renata yang sedang mengerjakan tugas Ilmu
Pengetahuan Alam di meja belajarnya.
“Kakak
Renata, Kakak Renata!” Pelita kecil berseru.
“Iya,
kenapa sayang?” Renata meletakkan pulpennya. Membalikkan tubuhnya hingga
berhadapan dengan Pelita.
“Aku
punya PR yang sulit.” Pelita yang baru saja masuk sekolah dasar bercerita
kepada kakaknya yang sudah kelas dua di sekolah menengah pertama.
“Apa
PRnya?” Tanya Renata penasaran.
“Nomor
satu. Apa arti nama kamu?” Pelita mengeja soalnya. “Apa arti namaku, kak?”
Pelita bertanya kepada kakaknya.
Renata
yang sebelumnya sedang mengerjakan PR IPA dengan materi cahaya tiba-tiba
mendapat ide.
“Kalau
kamu buka kamus, pelita itu artinya lampu. Jadi kamu menjadi penerang di dalam
kegelapan.” Renata menjawab semampunya.
“Benarkah,
kak?” Wajah Pelita terlihat berseri-seri.
“Ada
lagi?” Renata kembali bertanya.
“Nomor
dua. Apa cita-cita kamu? Apa alasannya?” Pelita kembali mengeja soalnya.
“Kamu
tidak punya cita-cita, ya?” Renata menggoda Pelita.
“Cita-cita
itu apa, kak?” Pelita bertanya polos.
“Cita-cita
itu apa yang kamu inginkan. Mau jadi seperti apa kamu.” Renata menerangkannya
dengan bahasa yang mudah dimengerti Pelita.
“Cita-citaku…
Hm… Oh, iya! Aku ingin ke surga sama Mama, Papa dan kakak Renata! Bu guru
bilang, di surga kita bisa mendapatkan apapun.”
Renata
tertawa geli mendengar penjelasan adik satu-satunya. “Pelita, Pelita. Semua
orang pasti punya cita-cita masuk surga. Cita-cita yang ditanyakan bu guru itu
profesi. Maksudnya, kalau besar nanti kamu mau menjadi apa? Apakah kamu mau
menjadi pengusaha seperti Papa, atau mau menjadi akuntan seperti Mama, atau
menjadi guru seperti ibu guru di sekolah. Tapi, kita harus belajar yang gita
supaya cita-cita itu bisa kita raih.” Jelas Renata.
“Oh…”
Pelita terlihat seperti berpikir. “Aku mau menjadi seperti tante Elisa. Dokter!
Aku ingin mengobati orang-orang yang sakit seperti tante Elisa yang selalu
mengobati Pelita. Tante Elisa itu hebat sekali. Dia bisa menghilangkan rasa
sakit yang selalu mengganggu Pelita.” Pelita menuliskan kalimat yang
dilontarkannya ke dalam buku tulisnya.
Renata
terpaku melihat adiknya. Tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Renata juga
mengakui bahwa tante Elisa adalah dokter spesialis kanker otak terhebat di
kotanya.
“Kakak
Renata janji, ya, mau bantu pelita meraih cita-cita Pelita menjadi dokter.”
Pelita berucap disela-sela menuliskan jawaban.
“Pasti,
dong! Kakak juga akan selalu menjagamu. Kakak akan selalu membuatmu bahagia.”
Renata menjawab mantap sembari mengelus-elus rambut Pelita. Sedangkan hatinya,
bergetar menahan pilu.
“Ye.
Tugasku sudah selesai.” Pelita menari-nari dengan girangnya.
Pelita
berlari menuju pintu. Dan tiba-tiba… “Surprise! Selamat ulang tahun, Pelita!”
Papa dan Mama muncul dari balik pintu. Membawakan kue tar berwarna merah muda
untuk Pelita.
Saat
kue potongan pertama sudah ada di atas piring kecil, Pelita mengambil sendok,
lalu menyuapkan kue potongan pertama itu kepada kakaknya, Renata.
***
Di
puncak perbukitan tengah-tengah kota. Renata masih duduk bersila berpayungkan
langit.
“Pelita,
sekarang Papa dan Mama sakit. Kamu mau tahu, siapa yang merawat mereka?” Renata
mengelus-elus nisan putih di dekatnya. “Anak kembarnya tante Elisa yang dulu
sering berkunjung ke rumah! Mereka sudah menganggap Mama dan Papa seperti orang
tua mereka sendiri. Mereka baik sekali.” Pelita melanjutkan kalimatnya tanpa
menunggu jawaban ‘iya’ yang tidak akan pernah ia dengar.
“Andaikan
saja kamu benar-benar bisa menjadi dokternya Mama dan Papa.” Renata mengambil
napas dalam-dalam. “Aku punya cerita tentang profesi yang kamu cita-citakan
itu. Kamu pasti akan menyukainya, Pelita.”
Renata
bercerita seolah-olah sedang berada di kamar Pelita. Menceritakan
dongeng-dongeng dari berbagai negara yang tidak sempat ia ceritakan kepada
Pelita. Sesekali ia harus berjuang melawan tangis yang tiba-tiba saja pecah.
“Pelita,
kakak sangat merindukanmu. Bahkan jauh lebih merindukanmu dibanding saat kakak
di negeri orang. Sekarang kau pergi lebih jauh dari rantauan kakak dulu. Jauh
sekali.”
Renata
tertunduk.
“Pelita,
maafkan kakak yang pernah meninggalkanmu selama bertahun-tahun. Maafkan kakak
yang tidak bisa menjagamu dengan baik. Maafkan kakak yang pernah berjanji untuk
selalu membuatmu bahagia.”
Ranata
terisak di bawah langit yang telah berubah warna menjadi jingga.
“Pelita,
singgahlah di tengah-tengah tidur lelap kakak. Walau itu hanya sebentar. Kakak
hanya ingin memelukmu erat.”
*
Selesai *