Sunday 22 October 2017

Idola dan Authentic Leadership

Saya percaya bahwa setiap orang bisa mengidolakan dirinya sendiri.

Saya selalu percaya bahwa setiap manusia yang terlahir di muka bumi ini memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Kita itu sudah diberikan kapasitas masing-masing. Apa yang terbawa dalam diri kita sejak lahir itu akan menjadi penentu nasib di masa depan. Nah, tinggal kita sendiri yang menentukan apakah sisi yang kurang itu harus ditambal dan kelebihan itu harus dikendalikan atau membiarkan mereka berdiam diri begitu saja tanpa terjamah?

Beberapa bulan yang lalu di suatu seminar, saya mendapatkan materi yang berjudul Discovering Your Authentic Leadership yang intinya adalah setiap orang yang terlahir di dunia ini otentik, mempunyai keunikan dan ciri khas tersendiri, dibangun berdasarkan pengalaman dan mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi lingkungan sekitarnya.

Banyak orang yang bila ditanya siapa idolamu, maka akan menjawab ibu, atau manusia pilihan yang telah diberikan wahyu kepadanya. Saya pun tentu akan menjawab demikian. Bagiku, jawaban seperti itu adalah jawaban yang sudah seharusnya dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Idola yang saya maksud bukan pada ranah itu. Melainkan pada sosok manusia biasa. Bagiku, ibu bukan lah manusia biasa. Ia jelmaan malaikat tanpa sayap. Sebut saja manusia biasa itu adalah artis, atlet, tokoh politik, atau orang-orang biasa lain yang menemukan keistimewaan dalam dirinya sendiri sehingga orang lain melihatnya istimewa.
                                           
Saya setuju dengan pernyataan bahwa seseorang akan berperila saya meniru sosok idolanya. Tetapi, saya lebih setuju lagi bahwa seseorang sebaiknya tidak menduplikat idolanya. Mengambil yang baik-baik saja. Mengambil yang perlu diambil saja. Sejak kecil hingga sekarang, bila ditanya siapa tokoh idolaku, pasti jawabannya akan berbeda-beda. Teman-teman SD saya mungkin mendapat jawaban artis-artis sinetron yang sedang naik daun atau penyanyi seumuran saya yang sedang ikut ajang pencarian bakat pada saat itu. Teman-teman SMP saya mungkin mendapat jawaban tokoh politik yang menjadi suri tauladan banyak orang. Teman-teman SMA saya mungkin mendapat jawaban seorang sejarawan yang abadi dalam karya-karyanya.

Hingga saya sadar bahwa sebenarnya saya tidak pernah begitu fanatik dengan tokoh-tokoh yang pernah saya idolakan.

Kalau ditanya siapa idola saya sekarang? Saya akan menjawab seorang youtuber yang bagi saya mampu menjadi positive influencer di tengah-tengah kehancuran moral yang banyak terjadi di dunia maya zaman now.

Lalu apakah saya harus menjadi seperti dia seutuhnya?

Tentu jawabannya adalah tidak. Saya hanya mengambil apa yang menurut saya cocok untuk diterapkan kepada diri saya sendiri. Saya tidak bisa memaksakan diri saya untuk jago menyanyi dan ikut lomba paduan suara tingkat internasional. Saya juga tidak bisa memaksakan diri saya untuk jago menggambar memakai kuas dan cat air. Jangankan menggambar dengan hasil yang nyaris sempurna, untuk menarik satu lingkaran pun saya susah melakukannya. Tapi saya ingin untuk bisa mengecap pendidikan dan merantau ke negeri orang seperti dia. Atau setidaknya, menjadi positive influencer setidak-tidaknya bagi followers instagramku. Atau mungkin menulis catatan-catatan kecil di blog saya seperti yang kulakukan sekarang. Atau kah, mengadopsi cara berpikirnya yang kritis dan keren.

Itu pun tidak semua opini yang dikeluarkan dari idola saya itu ternyata sejalan dengan isi kepalaku. Saya tidak harus memaksakan diri untuk membenarkan semua opininya, bukan? Saya tidak akan mengubah ESTJ saya menjadi INTJ hanya karena saya mengidolakan dia. Setiap orang memandang sesuatu dari sisi yang berbeda-beda. Ada yang dari sisi depan, belakang, kiri, atau kanan. Setiap orang juga punya latar belakang dan pengalaman yang berbeda-beda sehingga menghasilkan kerangka berpikir yang berbeda pula.

Bila saya hanya menduplikat hal-hal yang melekat pada idola saya ke dalam diriku, harus menerima hal-hal yang tidak sejalan dengan pikiranku, memaksakan hal-hal yang saya sadari memang berada di luar batas kemampuan saya tanpa memedulikan bahwa sebenarnya ada ranah lain yang saya kuasai, maka sama halnya bahwa saya membuang-buang waktu dan kesempatan yang sebegitu besarnya Tuhan telah amanahkan kepadaku. Dengan menjadi orang lain, sama saja saya membunuh potensi alamiah yang sudah dititipkan ke dalam diriku.

Bersyukur dan berusaha itu menurut saya seperti sistem double entry dalam akuntansi, perlu diseimbangkan. Di satu sisi saya harus menyukuri semua yang telah ada pada diriku. Bersyukur menjadi diri saya dengan bentuk yang seperti ini. Di sisi lain, saya harus berusaha untuk lebih mengembangkan dan mengoptimalkan semua yang telah ada pada diriku. Termasuk berusaha memanfaatkan kelebihan saya agar berguna tidak hanya bagi diri saya sendiri, tapi juga bagi orang-orang di sekitarku.

Maka beginilah saya dengan segala kekurangan yang kumiliki. Bila kita harus sadar akan kekurangan yang kita punya, maka kita seharusnya lebih sadar lagi dengan kelebihan yang kita punya agar kekurangan-kekurangan itu bisa tertutupi. Bukannya karena ingin dikatakan sempurna, tapi untuk mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri kita sendiri. Sekeras apapun saya mencoba untuk menjadi orang lain, bila Tuhan tidak memberikan kelebihan itu untukku, pasti ada bentuk-bentuk lain yang bisa saya kembangkan. Saya percaya bahwa Tuhan memberikan porsi yang sama atas kelebihan dan kekurangan yang dimiliki manusia. Hanya bentuknya saja yang berbeda.

Idola saya itu bilang begini dalam bukunya, “Ternyata ada beberapa hal di dunia yang nggak bisa kita utak-atik, memang bukan kuasa kita.”


Jadi sudah tahu siapa idola saya sekarang? Besok lusa mungkin akan beda lagi.

No comments:

Post a Comment