Saya
percaya bahwa setiap orang bisa mengidolakan dirinya sendiri.
Saya selalu percaya bahwa setiap manusia
yang terlahir di muka bumi ini memiliki kekurangan dan kelebihannya
masing-masing. Kita itu sudah diberikan kapasitas masing-masing. Apa yang
terbawa dalam diri kita sejak lahir itu akan menjadi penentu nasib di masa
depan. Nah, tinggal kita sendiri yang menentukan apakah sisi yang kurang itu
harus ditambal dan kelebihan itu harus dikendalikan atau membiarkan mereka
berdiam diri begitu saja tanpa terjamah?
Beberapa bulan yang lalu di suatu
seminar, saya mendapatkan materi yang berjudul Discovering Your Authentic Leadership yang intinya adalah setiap
orang yang terlahir di dunia ini otentik, mempunyai keunikan dan ciri khas
tersendiri, dibangun berdasarkan pengalaman dan mempunyai kekuatan untuk
mempengaruhi lingkungan sekitarnya.
Banyak orang yang bila ditanya siapa
idolamu, maka akan menjawab ibu, atau manusia pilihan yang telah diberikan
wahyu kepadanya. Saya pun tentu akan menjawab demikian. Bagiku, jawaban seperti
itu adalah jawaban yang sudah seharusnya dan tidak perlu diperdebatkan lagi.
Idola yang saya maksud bukan pada ranah itu. Melainkan pada sosok manusia
biasa. Bagiku, ibu bukan lah manusia biasa. Ia jelmaan malaikat tanpa sayap.
Sebut saja manusia biasa itu adalah artis, atlet, tokoh politik, atau
orang-orang biasa lain yang menemukan keistimewaan dalam dirinya sendiri
sehingga orang lain melihatnya istimewa.
Saya setuju dengan pernyataan bahwa
seseorang akan berperila saya meniru sosok idolanya. Tetapi, saya lebih setuju lagi
bahwa seseorang sebaiknya tidak menduplikat idolanya. Mengambil yang baik-baik
saja. Mengambil yang perlu diambil saja. Sejak kecil hingga sekarang, bila
ditanya siapa tokoh idolaku, pasti jawabannya akan berbeda-beda. Teman-teman SD
saya mungkin mendapat jawaban artis-artis sinetron yang sedang naik daun atau
penyanyi seumuran saya yang sedang ikut ajang pencarian bakat pada saat itu.
Teman-teman SMP saya mungkin mendapat jawaban tokoh politik yang menjadi suri
tauladan banyak orang. Teman-teman SMA saya mungkin mendapat jawaban seorang
sejarawan yang abadi dalam karya-karyanya.
Hingga
saya sadar bahwa sebenarnya saya tidak pernah begitu fanatik dengan tokoh-tokoh
yang pernah saya idolakan.
Kalau ditanya siapa idola saya sekarang?
Saya akan menjawab seorang youtuber yang bagi saya mampu menjadi positive influencer di tengah-tengah
kehancuran moral yang banyak terjadi di dunia maya zaman now.
Lalu apakah saya harus menjadi seperti
dia seutuhnya?
Tentu jawabannya adalah tidak. Saya hanya
mengambil apa yang menurut saya cocok untuk diterapkan kepada diri saya sendiri.
Saya tidak bisa memaksakan diri saya untuk jago menyanyi dan ikut lomba paduan
suara tingkat internasional. Saya juga tidak bisa memaksakan diri saya untuk
jago menggambar memakai kuas dan cat air. Jangankan menggambar dengan hasil
yang nyaris sempurna, untuk menarik satu lingkaran pun saya susah melakukannya.
Tapi saya ingin untuk bisa mengecap pendidikan dan merantau ke negeri orang
seperti dia. Atau setidaknya, menjadi positive
influencer setidak-tidaknya bagi followers
instagramku. Atau mungkin menulis catatan-catatan kecil di blog saya seperti
yang kulakukan sekarang. Atau kah, mengadopsi cara berpikirnya yang kritis dan
keren.
Itu pun tidak semua opini yang
dikeluarkan dari idola saya itu ternyata sejalan dengan isi kepalaku. Saya
tidak harus memaksakan diri untuk membenarkan semua opininya, bukan? Saya tidak
akan mengubah ESTJ saya menjadi INTJ hanya karena saya mengidolakan dia. Setiap
orang memandang sesuatu dari sisi yang berbeda-beda. Ada yang dari sisi depan,
belakang, kiri, atau kanan. Setiap orang juga punya latar belakang dan
pengalaman yang berbeda-beda sehingga menghasilkan kerangka berpikir yang
berbeda pula.
Bila saya hanya menduplikat hal-hal yang
melekat pada idola saya ke dalam diriku, harus menerima hal-hal yang tidak
sejalan dengan pikiranku, memaksakan hal-hal yang saya sadari memang berada di
luar batas kemampuan saya tanpa memedulikan bahwa sebenarnya ada ranah lain
yang saya kuasai, maka sama halnya bahwa saya membuang-buang waktu dan
kesempatan yang sebegitu besarnya Tuhan telah amanahkan kepadaku. Dengan
menjadi orang lain, sama saja saya membunuh potensi alamiah yang sudah
dititipkan ke dalam diriku.
Bersyukur dan berusaha itu menurut saya seperti
sistem double entry dalam akuntansi, perlu
diseimbangkan. Di satu sisi saya harus menyukuri semua yang telah ada pada
diriku. Bersyukur menjadi diri saya dengan bentuk yang seperti ini. Di sisi
lain, saya harus berusaha untuk lebih mengembangkan dan mengoptimalkan semua
yang telah ada pada diriku. Termasuk berusaha memanfaatkan kelebihan saya agar
berguna tidak hanya bagi diri saya sendiri, tapi juga bagi orang-orang di
sekitarku.
Maka beginilah saya dengan segala
kekurangan yang kumiliki. Bila kita harus sadar akan kekurangan yang kita
punya, maka kita seharusnya lebih sadar lagi dengan kelebihan yang kita punya
agar kekurangan-kekurangan itu bisa tertutupi. Bukannya karena ingin dikatakan
sempurna, tapi untuk mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri kita sendiri. Sekeras
apapun saya mencoba untuk menjadi orang lain, bila Tuhan tidak memberikan
kelebihan itu untukku, pasti ada bentuk-bentuk lain yang bisa saya kembangkan. Saya
percaya bahwa Tuhan memberikan porsi yang sama atas kelebihan dan kekurangan
yang dimiliki manusia. Hanya bentuknya saja yang berbeda.
Idola saya itu bilang begini dalam
bukunya, “Ternyata ada beberapa hal di
dunia yang nggak bisa kita utak-atik, memang bukan kuasa kita.”
Jadi sudah tahu siapa idola saya sekarang? Besok lusa mungkin akan beda lagi.
No comments:
Post a Comment