Wednesday 8 November 2017

Kids Jaman Now

Kids jaman now itu haus perhatian, benar-benar haus!

Tulisan ini tercipta karena kepopuleran kata kids jaman now. Saking populernya, hampir tiap jam saya tidak sengaja membaca atau tidak sengaja mendengar kata tersebut dilontarkan. Entah secara nyata atupun melalui media sosial. Selayaknya manusia yang tidak ingin ketinggalan zaman, saya sendiri sudah beberapa kali menggunakan kata-kata yang sedang menjadi tren tersebut. Entah secara langsung, ataupun melalui status yang diunggah ke media sosial.

Semakin ke sini, semakin tua bumi, semakin canggih teknologi, semakin aneh pola tingkah laku manusia. Aneh bagi orang-orang yang hidup di zaman yang berbeda. Tapi bagi mereka yang hidup di zaman yang sama, mungkin akan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Kendati demikian, mereka yang dibekali akal yang ‘sehat’ dan lingkungan yang ‘waras’, meski pun hidup di zaman yang sama, maka tetap akan merasakan keanehannya. Dan begitu lah yang sedang saya (dan mungkin sebagian kamu) rasakan.

Kita hidup pada zaman di mana akses informasi dari belahan bumi satu dengan belahan bumi lainnya yang terpisah jutaan mil dapat diperoleh hanya dengan satu kali klik dengan kecepatan yang tidak sampai satu menit. Kecanggihan tersebut mengikis dinding-dinding dan memutus jala-jala yang seharusnya menjadi penyaring kecocokan dan ketidakcocokan, kepantasan dan ketidakpantasan, kelayakan dan ketidaklayakan. Dengan begitu, budaya dari satu tempat sangat mudah terbawa arus ke tempat lain tidak peduli sejauh apa pun jaraknya. Menjadikan budaya yang sebelumnya sangat asing, menjadi sangat akrab dan berbaur dengan budaya setempat. Mudah diterima, menjadi bahan konsumsi, layaknya micin yang menjadi bumbu dapur utama di setiap masakan.

Okay. Back to kids jaman now.

Selain sebutan kids jaman now, manusia-manusia yang lahir di abad 21 – yang sering main ke 21 – itu juga disebut dengan generasi micin. Kenapa? Ya, mungkin karena tingkahnya seperti orang-orang yang mengonsumsi monosodium glutamate dengan dosis yang berlebihan – yang konon sangat dihindari ibu hamil karena dapat membuat calon bayi yang dikandungnya mempunyai kemampuan berpikir yang rendah alias bodoh. Ya mau diapakan lagi, toh produk-produk zaman now juga dilumuri micin. Saya malah sempat berpikir jangan-jangan si asing yang membuka banyak franchise di Indonesia memang sengaja melumuri micin di setiap produknya untuk melemahkan daya pikir anak-anak Indonesia. Biar nanti kalau mereka beranjak dewasa tidak sempat kepikiran untuk menghidupkan produk lokal dan mengusir si asing yang berkuasa.

Aneh, abnormal, atau mungkin, lucu dan menggemaskan menjadi ciri setiap unggahan status, foto atau video yang social-media-able, mengundang gelak tawa dan komentar sarkasme dari orang-orang yang sesungguhnya telah mendzolimi generasi yang diharapkan mampu menjadi emas di tahun 2045.

Tidak sedikit pula yang membanding-bandingkan tingkah aneh kids jaman now dengan kids jaman old. Termasuk saya. Kalau kita berteman instagram sejak setahun lebih yang lalu, mungkin kamu masih ingat dengan potongan caption yang disandingkan dengan foto bersama dua orang teman kecilku:

Zaman kanak-kanak kami dipenuhi banyak sekali permainan yang menyenangkan; asing-asing, bom, boy, layang-layangan, manjat pohon lobe-lobe, lompat tali, tukar binder, wayang, beklan, dan masih banyaaaaaaak yang lainnya. Sinetron tontonan kami? Uh, mendidik sekali. Ada si Eneng, si Entong, si Mamat, eh, ada Ronaldowati juga. Dulu di tempat mengaji kami, kalau kuku panjang pasti dipukul pakai mistar kayu, tapi kami tidak pernah panggil orang tua untuk memarahi guru mengaji kami.

Sedangkan, kids jaman now lebih memilih untuk bermain game yang menjadikannya kenal dengan kawan nun jauh di sana, bermain sosial media yang mendekatkan yang jauh namun menjauhkan yang dekat, atau mungkin disuguhi tontonan yang akhirnya membuat mereka bermain pacar-pacaran mami-papi ayah-bundaan? – Eh, apa? Oh, serius pacaran, ya? Bukan main-main aja? Kalau gitu segera di-resmi-in dong. Hehe.

Apa yang membuat kondisi dulu dan kondisi sekarang yang terpaut sepuluh tahun itu berubah seratus delepan puluh derajat? Ya! Teknologi yang begitu derasnya menghujam kita. Akses informasi yang begitu mudahnya sampai ke tempat kita. Tidak peduli fakta atau hoaks. Semuanya dengan mudah dikonsumsi publik. Dan hal itu semua pun sangat mudah diperoleh sama kids jaman now. Sayangnya, mereka masih terlalu lugu untuk memilah mana yang boleh direplikasi dan mana yang tidak boleh.

Semua dikonsumsi, semua ditiru, tidak peduli hal itu benar atau salah. Pokoknya satu, yaitu bisa menjadi populer, mengikuti zaman, tidak kampungan, mendapatkan perhatian dan pengakuan hingga pada suatu ketika mereka akhirnya menjadi bahan ejekan, olok-olokan, candaan dan tertawaan orang-orang yang memiliki akal sedikit sehat.

Mengapa sedikit sehat? Karena orang-orang yang sepenuhnya sehat akan memandang hal tersebut sebagai hal yang sangat menyedihkan hingga tak layak sama sekali untuk ditertawakan. Layaknya orang meninggal, orang-orang seharusnya bersedih, bukan bergelak tawa. Nah, apa yang meninggal? Mari sama-sama berbela sungkawa atas moral yang perlahan tapi pasti, meninggalkan batang tubuh dan jiwa sanubari kids jaman now.

"Miris ya lihat adek-adek sekarang!"

Miris memang. Miris sekali. Sangat miris. Miris banget. Miris semiris-mirisnya.

Terus, kalau miris kita harus apa? Ikut andil menyebar-luaskan status, foto, dan video kids jaman now kepada para followers untuk sekedar dapat like atau komentar yang ramai? Biar orang-orang tahu kalau, wah, betapa lucu dan menggemaskannya adik kita yang satu ini? Atau, eh, ternyata kids jaman now itu (maaf) seburuk dan segoblok ini, loh! Lah, kids jaman now (sekali lagi maaf) buruk dan goblok itu karena siapa? Karena dirinya sendiri yang tidak dapat menyaring kepantasan dan ketidakpantasan budaya yang bahkan orang dewasa pun sulit untuk membendungnya? Coba sejenak tengok the old jaman now yang tengah asyik mengonsumsi video ‘lucu’ saat sedang rapat mengadu nasib bangsa.

Jika si the old yang seharusnya punya pikiran matang saja bisa se’khilaf’ itu, apalagi si kids yang masih dalam proses mencari jati diri. Terkadang, menghujat dan megolok-olok itu memang mudah. Parahnya, kita tidak sadar bahwa kita sedang menghujat dan mengolok-olok seseorang dan buntu akan solusinya. Maka akan jauh lebih berfaedah bila saja kita membantu si kids menemukan jati diri dengan versi yang pahlawan pendiri bangsa kita inginkan.

Sekali lagi, tolong bantu saya menjawabnya, untuk apa semua aib itu disebar? Eh, atau ada yang menganggapnya bukan aib, ya? Berarti kamu termasuk ke dalam orang-orang yang kurang peka dan kurang piknik. Maaf.

Semoga kids jaman now yang dengan lugunya meniru idola termehek-mehek mereka hanya karena ingin mendapat perhatian publik dan ingin populer – karena memang demikian nafsu di usia remaja bekerja dan akan menjadi parah bila tidak dapat dikendalikan – kelak diberi petunjuk dan jalan yang terang oleh yang maha kuasa.


Jadi, solusinya apa? Saya pun bingung, sobat. Saya harap yang maha pemberi petunjuk selalu memberikan peta terbaiknya kita semua.

No comments:

Post a Comment