Wednesday 14 December 2016

Semua Orang Menangis, Sayang!

Oleh: Firda Amalia H

Semua orang menangis, sayang
Dikala hati bimbang
Pun bila hati gersang
Tak dipedulikan orang-orang

Semua orang menangis, sayang
Dikala harapnya hanya iming-iming
Asanya terpontang-panting
Hingga jauh ia ditendang

Semua orang menangis, sayang
Jangan mimpi kau tebang
Jangan cita kau gunting
Biarkan ia tetap tergantung

Semua orang menangis, sayang
Sorotan mata wajah berang
Telinga dipekikkan oleh bising
Pilu menjadi bumerang

Sumber: www.gambar.photo

Semua orang menangis, sayang
Jangan biarkan semangatmu tumbang
Oleh mereka yang menentang
Jadikan teguh impian kau pegang

Semua orang menangis, sayang
Jangan hiraukan suara-suara sumbang
Yang tak inginkan kau menang
Tetaplah dirimu tenang

Semua orang menangis, sayang
Biarpun badai mengguncang
Tak mengenggankan mekarnya kembang
Asal kau tidak goyang

Semua orang menangis, sayang
Alasannya tak begitu penting
Tengok saja pada siapa yang datang
Yang mengubah sedih jadi senang

Semua orang menangis, sayang
Lihatlah yang gagal di belakang
Untuk kau jadikan penopang
Masa depan yang cemerlang

Thursday 8 December 2016

Adik-adikku yang Tengah Berkelana

Oleh: Firda Amalia H


Wahai adik-adikku yang masih belia
Di warung-warung pinggiran jalan kota
Di gang-gang sempit di bawah langit bercahaya
Yang meninggalkan kelas lewat jendela
Memanjat dinding dengan atap terbuka

Engkau pula adik-adikku yang terlena
Sumringah di pos-pos ronda
Menghabiskan malam hingga fajar menyapa
Bertemankan kepulan asap dari tembakau yang menyala
Dan dibuai gemerlap hampa

Engkau tak sadar apa yang tengah menimpa
Seolah menyanyikan alunan tanpa nada
Menari tanpa diiringi irama
Berlakon drama tanpa aba-aba
Berlari tapi tak tahu hendak ke mana



sumber: kompasiana.com

Asa bukan lagi yang utama

Harapan-harapanmu ditelan sirna
Tak pedulikan impian orang tua
Terlebih lagi dongeng generasi emas bangsa
Cita-cita hanyalah omong kosong belaka

Ketika orang-orang datang menghina

Berkata kau tak tahu norma-norma
Dan yang kau lakukan hanyalah dosa
Engkau hanya memalingkan muka
Memasang penyumbat di telinga
Tak kau pedulikan mereka yang bersua

Wahai adik-adikku yang memilih jalan berbeda
Akupun tak tahu harus berbuat apa
Engkau tersesat, dan orang-orang memandang sebelah mata
Berjalan normal seolah tak ada bahaya
Kemalanganmu, bukankah sebuah tanggung jawab bersama?

Dan untuk adik-adikku yang tengah berkelana
Aku ingin menitipkan cinta
Satu hal yang harus kupercaya
Penjagaan terbaikmu hanyalah doa
Yang kuterbangkan ke seluruh penjuru semesta


---
P.s.:
Puisi ini tercipta atas permintaan kanda Ojan, salah satu senior saya di kampus.
P.s.s.:
Kak Ojan menyerahkan puisi ini kepada Departemen Kemedsos IMA FEB UH, dan terpostinglah di official akun instagram IMA FEB UH.

Monday 4 April 2016

Senja untuk Manusia Buas

Oleh: Firda Amalia H

sumber: dokumentasi pribadi


Ketika senja menyapa langit luas
Jingganya berpendar bak emas
Memantulkan kilau ke lautan lepas
Semua barang telah kau kemas
Langkah kaki membawamu bergegas
Pulang ke tempat melepas pulas
Penat di wajahmu terhias
Hari telah menjadi saksi tiap tetesan peluh yang terkuras
Lantas...
Seberapa bermaknakah kau hari ini wahai manusia buas?

----


Telah diupload di instagram (www.instagram.com/firdamliah) pada 2016-04-01, 18:54

Tuesday 29 March 2016

Cerpen: Petuah Pengamen Losari

Oleh: Firda Amalia H
Merpati putih beterbangan dengan bebasnya di bawah langit sore. Desiran sepoi-sepoi menyapa tubuh yang baru saja bersandar pada bongkahan batu. Terlihat dari jauh kapal-kapal yang akan tiba dan baru saja beranjak dari dermaga. Ombak mengalun tenang menuju bibir pantai. Seakan tahu bahwa ia adalah tempat melepas penat, Pantai Losari memang selalu menyuguhkan pemandangan indah di sore hari.
Ketenanganku terusik ketika mataku beradu dengan mata seorang pemuda. Gitar cokelatnya mengalung. Celananya sobek. Kaos oblongnya terlihat dibalik jaket kulit yang ia kenakan. Rambut gondrong nyaris menutupi matanya. Seorang pengamen Losari yang nampaknya sebaya denganku atau bahkan lebih muda. Semakin ia menghampiri, semakin aku merasa cemas.
Tak lama kemudian, pemuda itu sudah tepat berdiri di hadapanku. Kugenggam erat tas jinjingku. Jantungku berdetak lebih cepat. Pikiranku mulai mengacau. Kulihat ke arah kanan dan kiriku. Sepi. Jika terjadi hal yang buruk, mungkin tak ada yang bisa menolongku. Melihat raut cemas dari wajahku, pemuda itu mulai memetik gitarnya.
“Ibu kota… Begitu sadis nasibmu. Rakyatmu terlantar, kelaparan, menjerit kesakitan atas pilu derita yang dialaminya. Tapi mengapa, kaum borjou tak pernah merasa dirinya di atas kuasa dan menenggelamkan asa para rakyat jelata…”.
Berharap segera lepas darinya, kuserahkan uang dua puluh ribu rupiah. Pemuda itu menatap lembaran berwarna hijau itu dengan lekat. Nampaknya kurang. Kukeluarkan rupiah lain berwarna biru tua. Bukannya malah pergi, pemuda itu duduk di sampingku, membuatku semakin resah.
“Kenapa ngasih sebanyak ini, kak?”, tanyanya.
Mulutku membungkam.
“Kakak bisa ngomong, kan? Kok diam?”, rupanya ia tak menyerah begitu saja untuk mendapatkan sebuah jawaban.
“Buat kamu, ambil aja, enggak usah banyak nanya”.
“Cuma mau tahu aja. Soalnya jarang ada orang yang mau ngasih jajan sebanyak ini. Kemarin-kemarin uang segini tuh hasil seharian. Nah, sekarang belum juga semenit, eh udah dapat”.
Seolah tak mengacuhkan resahku, pemuda itu terus berdalih.
“Orang-orang jaman sekarang tuh kak, paling ngasihnya seribuan doang. Masih baik kalau ngasih, kalau cuma dicuekin dan diusir, rasanya udah keterlaluan banget. Mereka seolah-olah gak ngehargain usaha kita. Padahal kalau menurut aku nih kak, jauh lebih mendingan ngamen daripada ngemis yang kerjanya cuma minta-minta doang”.
Mata kami kembali berjumpa. Ia melemparkan senyum kecil. Namun, raut wajahnya tak dapat menyembunyikan kekecewaan. Mungkin karena sedari tadi mulutku membisu atau karena sikap orang-orang yang tak acuh terhadapnya. Entahlah.
“Kakak mahasiswa, ya?”.
Aku mengangguk.
“Fakultas Ekonomi dan Bisnis, kan?”.
“Tahu darimana dia?”, gumamku dalam hati.
“Gak usah heran gitu, kak. Aku baca pin di tas kakak. Kak, sebagai mahasiswa di fakultas kakak itu harusnya kakak lebih banyak bersosialisasi sama masyarakat – apalagi masyarakat kecil seperti aku ini – yang sangat kurang dari segi ekonominya. Aku cuma satu diantara puluhan juta masyarakat di negeri ini yang mengharapkan kakak dan teman-teman kakak di fakultas kakak itu bisa memperbaiki nasib kami di masa depan”.
Aku menelan ludah. Pernyataannya barusan bagaikan bom yang baru saja mendarat tanpa aba-aba.
“Tapi aku percaya, kalau nanti kakak sudah kerja pasti bakalan jadi orang yang baik. Sekarang aja kakak mau ngasih uang sebanyak ini sama Pengamen Losari”.
Padahal aku mengeluarkan beberapa rupiah hanya agar dia cepat-cepat pergi dariku.
“Eh, makasih yah kak atas apresiasinya. Lagu yang tadi itu ciptaan aku sendiri, loh. Senang bisa bertemu sama kakak. Belajar yang tekun kak biar benar-benar dapat ilmunya, dan biar bisa jadi politikus yang intelek. Nanti kalau udah dapat jabatan di negeri ini, jangan lupa sama rakyat kecil”.
Ia lalu berdiri dari tempat duduknya.
“Langit udah mulai gelap, pamit dulu ya, kak”.
Ia beranjak diiringi mentari yang mulai menurun seolah akan tenggelam di dalam Laut Losari. Keheningan mulai meraba. Seluruh yang diucapkan pemuda tadi kini terngiang-ngiang di telingaku. Aku mulai bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Apakah aku belajar untuk kemaslahatan bangsa di masa depan atau semata karena ingin mendapatkan gelar sarjana? Aku disadarkan oleh sebuah petuah dari Pengamen Losari.

-Selesai-

Monday 29 February 2016

Cerpen: Dibalik Tangisanku

Oleh Firda Amalia H

“Ayolah, jangan nangis lagi, Din!” Kata Suci seraya mengelus pundak Dina.
“Tidak, Ci! Aku tidak mau berhenti nangis!” Ucap Dina tersedu-sedu.
“Memangnya ada masalah apa lagi kamu dengan ibumu?” Tanya Suci.
“Aku capek, Ci! Ibuku tidak bisa mengerti aku!” Teriak Dina.
Pembicaraan mereka sempat terhenti ketika Bik Ratih, ibu Suci membawa secangkir bajigur dan sepiring pisang goreng untuk mereka. Siang itu, hujan deras disertai kilat dan petir. Dina sedang berada di rumah sahabatnya, Suci bercerita tentang sikap ibunya yang terlalu memanjakannya.
“Kok perempuan tangguh sepertimu ini bisa nangis? Ada apa, nak?” Tanya Bik Ratih.
“Bibi..” Kata Dina yang lalu memeluk ibu sahabatnya.
“Jangan cengeng gitu ah, Din!” Ujar Suci.
“Aku nangis bukan berarti aku cengeng, tapi aku sudah terlalu sabar menghadapi ibu!” Kata Dina.
“Kamu tahu masalah Dina apa, Ci?” Tanya Bik Ratih kepada anaknya.
“Tidak tahu, Bu! Dia datang-datang eh langsung nangis. Yang dia sebutin cuman ibunya. Din, jangan putus asa gitu dong! Nanti ibu kamu pasti ngerti apa yang kamu rasain!” Nasihat Suci pada Dina sahabatnya.
“Tidak, Ci! Aku tidak pernah putus asa, kok! Malahan aku mati-matian mempertahankan segala kemauanku yang selalu ditentang ibu!” Balas Dina.
“Ibu kamu sangat sayang sama kamu. Dia tidak mungkin melarangmu kalau hal itu wajar kamu lakukan. Kamu anak perempuan satu-satunya di keluargamu. Wajarlah kalau orang tuamu selalu melebih-lebihkanmu. Renungkan itu, Nak!” Ujar Bik Ratih.
“Ibu itu sangat menyebalkan, bi. Aku tidak mau terus-terus dimanjakan. Aku sudah capek dimanja terus. Lagian, aku kan sudah besar, sudah tahu mana yang salah dan mana yang benar” Ucap Dina kesal.
“Din, coba bayangkan kalau seandainya kamu jadi Tina. Kamu tahu kan kalau ibu Tina itu sudah meninggal. Padahal, Tina masih sangat membutuhkan ibunya. Setiap ia melihat kita dan teman-teman bersama ibu kita, dia pasti menangis. Dia sedih karena ibunya telah pergi meninggalkan dia untuk selama-lamanya. Sudah tidak ada lagi yang memerhatikan dia. Lah, kamu kok malah tidak mau sih punya ibu?” Suci terus mencoba meredamkan tangis sahabatnya.
“Nak, kamu harusnya bersyukur mempunyai seorang ibu yang sangat sayang sama kamu. Tidak ada seorang ibu yang tega melihat anaknya sedih dan menderita. Sakit hati yang kau rasakan saat ini tidak sebanding dengan rasa sakit ketika ibumu melahirkanmu. Disitulah perjuangan dan pertarungan hidup dan matinya. Sekarang, kau menangisi ibumu yang sangat sayang padamu. Seolah-olah, kamu tak menginginkannya. Sangat berbanding terbalik saat ibumu akan melahirkanmu. Saat itu, ia tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Kau tahu apa arti di balik air mata itu? Air mata itu melambangkan begitu kerasnya perjuangan seorang ibu. Berjuang melawan rasa sakit yang ia rasakan. Berjuang mempertahankan nyawa anaknya. Bahkan ia rela menukar nyawanya dengan nyawa anaknya. Kenangan terindah bagi seorang ibu ialah saat ia tersenyum melihat kelahiranmu, bayi yang begitu menggemaskan. Betapa senang hatinya saat mendengar tangisan pertamamu. Ia merasa bangga karena telah melahirkanmu. Ia bangun tengah malam untuk memberikanmu ASI agar kamu dapat bertahan hidup. Sadarkah kamu akan hal itu, nak? Beruntunglah kamu bisa melihat dan memandangi wajah ibumu. Tapi, bagaimana dengan anak yang ditinggal ibunya sejak ia kecil atau bahkan baru  lahir? Apakah kau tak membayangkan bagaimana perasaan anak itu? Ibumu telah merawatmu dari kecil hingga besar dan mengajarimu cara berperilaku yang baik. Ingatkah pula saat ibumu mengajarkanmu kata yang indah yaitu, ‘Mama’? Hingga akhirnya kamu tumbuh menjadi sosok gadis yang cantik dan cerdas? Itu hanya sebagian kecil dari segala hal luar biasa yang dilakukan seorang ibu. Bibik rasa, tak ada seorang pun yang mampu melukiskan betapa besarnya perjuangan seorang ibu. Ada sebuah kisah ketika Rasulullah ditanyai oleh seorang lelaki, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?’, Rasulullah pun menjawab, ‘ibu’, lau lelaki itu kembali bertanya, ‘lalu siapa?’, Rasulullah kembali menjawab ‘ibu’, kemudian lelaki tadi menanyakan hal yang sama, ‘kemudian siapa?’, Rasulullah menjawab lagi ‘ibu’, untuk keempat kalinya lelaki itu bertanya, ‘selanjutnya siapa lagi?’, barulah Rasulullah menjawab ‘ayah’. Bayangkan, Rasulullah telah menyebut ibu tiga kali sebagai orang yang harus kita muliakan. Satu hal lagi yang harus selalu kamu ingat, berbuat baik kepada kedua orang tua itu salah satu jihad di jalan Allah, nak!” Kata Bik Ratih yang berusaha menyadarkan Dina.
Air mata Dina mengalir semakin deras, sederas hujan di siang itu. Ia membayangkan betapa besar perjuangan ibu yang merawatnya dari lahir sampai sekarang ini. Bik Ratih telah memberinya suatu pelajaran “Dibalik tangisanku karena ibu, ternyata aku tidak menyadari betapa besarnya pengorbanan ibu untukku”. Selama ini Dina tak pernah menyadari betapa cinta ibu terhadapnya melebihi apapun di dunia ini, cintanya mungkin lebih dalam dari samudera dan lebih luas dari jagad raya.
“Apa ibumu tahu kau ada di sini?” Tanya Suci.
“Tidak, ibu tidak tahu aku di sini.” Jawab Dina
“Kau harus memberitahunya, nak!”
Saat ingin menelepon ibunya, betapa kagetnya ia saat melihat ada empat puluh panggilan tidak terjawab dari nomor papanya. Dan saat ia menelepon balik, nomor papanya sudah tidak aktif. Tentu saja ini adalah hal yang amat sangat penting. Biasanya, jika hal itu tidak begitu penting papanya hanya beberapa kali saja meneleponnya. Hanya saja, sesampainya di rumah, Dina langsung diberi tahu akan hal tersebut.
“Ada apa yah papa menelepon aku sampai ada empat puluh panggilan tak terjawab. Papa tidak biasanya seperti ini. Pasti ini hal yang sangat penting.” Gumam Dina dalam hati.
“Ada apa, Din?” Tanya Suci.
“Tidak ada apa-apa, kok! Hujan sudah reda nih, antar aku pulang, yah? Takut nanti orang rumah pada khawatir” Jawab Dina.
“Ya, gitu dong. Pastilah aku antar kamu pulang!” Ucap Suci.
“Kalian hati-hati, yah! Jangan ngebut bawa sepeda! Awas, biasanya habis hujan begini jalananya pasti licin!” Nasihat singkat Bik Ratih.
Jarak rumah Dina dan Suci tidak terlalu jauh. Sekitar sepuluh menit dalam perjalanan, mereka sudah tiba di depan kompleks perumahan Citra Harapan. Betapa kagetnya mereka ketika melihat bendera putih berkibar di pintu kompleks tempat Dina tinggal itu.
“Innalillahi wa innailaihi rojiun.” Ucap Suci dan Dina serentak, kepanikan sangat jelas terlihat dari raut wajah mereka.
“Pak, kalau boleh tahu siapa yang meninggal?” Tanya Suci kepada salah seorang satpam yang sedang berjaga.
“Itu Dek, keluarga pengusaha terkenal yang tinggal di Blok-C”  Jawab pak satpam singkat.
“Loh, itukan blok rumah aku, Ci! Ayo kita harus cepat-cepat sampai nih!” Ucap Dina yang kepanikannya semakin memuncak.
Betapa hancur hati Dina ketika melihat bendera putih di depan rumahnya. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Ia kemudian berlari ke pintu rumahnya, disusul Suci di belakangnya. Tidak seorang pun orang di rumah tersebut menyadari kehadirannya.
Tatapan Dina lurus ke arah jasad yang ditutupi kain kafan. Ia melihat papanya sedang menangisi jasad itu. Sosok ibunya lalu terbayang di pikiran Dina. Ia teringat oleh perkataan Bik Ratih. Membayangkan saat ibunya menangis karena kenakalannya, mengingat saat ibu memarahinya, saat ibu menyuapinya, saat ibu menjadi teman curhatnya, saat ibu mengantarnya saat pertama kali masuk sekolah, saat ibu menyanyikan lagu tidur untuknya, membuatnya merasa tenang, membayangkan wajah ibu selagi senyum, marah, tertawa dan bahagia. Segala memori bersama ibu terputar seketika itu juga
“Bu, aku belum pamitan, belum meminta maaf, aku juga belum pernah membahagiakan ibu. Aku belum menjadi anak yang baik, aku tidak pernah menyadari betapa besar perjuangan ibu. Aku belum siap ditinggal ibu! Belum siap! Kini aku baru sadar betapa sayangnya ibu padaku, ibu sangat perhatian padaku, tak pernah sekalipun ingin menyakitiku. Ibu, jangan pergi dulu, yah? Aku masih membutuhkan ibu! Aku belum sempat berpamitan dan meminta maaf kepada ibu” Katanya diiringi isak tangis.
“Dina?” Ucap Suci
“Iiibuuuuuuuuuuuuu!!!” Teriak Dina membuat semua orang berbalik ke arahnya.
“Dina?” seseorang dengan suara halus menepuk pundak Dina.
Dina lalu berbalik ke arah orang  itu.
“Ibu” Kata Dina sambil memeluk wanita itu.
“Ada apa, Dina? Kenapa kamu teriak memanggil ibu, sayang?” Tanya wanita itu.
“Bu, maafin Dina yang pergi tanpa pamit sama Ibu!” Dina berkata sambil memeluk erat ibunya.
“Iya sayang. Bik Ratih sudah kasih tahu ibu kalau tadi kamu main sama Suci!” Kata wanita itu.
“Yang ditutupi kain kafan itu jasad siapa, tante?” Tanya Suci.
“Oh, itu jasad seorang petani yang tersambar petir di kaki gunung. Papa Dina menemukannya saat melakukan penelitian di tempat itu. Setelah papa Dina melihatnya baik-baik, ternyata dia orang yang pernah menyelamatkan papa Dina saat terhanyut di sungai lima tahun yang lalu” Jelas Ibu Dina
“Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun.” Dina dan Suci turut berbela sungkawa.

-SELESAI-

Tuesday 23 February 2016

Setilik Kisah Meraih Toga

Oleh: Firda Amalia H

sumber: kompasiana.com

Detik demi detik berlalu. Masa demi masa berganti seiring dengan tumbuhnya kedewasaan diriku.
Tidak terasa, aku telah melalui serangkaian proses perjalanan hidup yang sangat berarti. Bertahun-tahun menimba ilmu di bangku sekolah, hingga saat ini aku bisa tersenyum bangga menyandang status sebagai mahasiswi. Dan akan terus berjuang memberi sumbangsih kepada ibu pertiwi.
Aku masih ingat segala kisah yang terjadi sebelum aku bisa menjadi diriku seperti sekarang ini.
Orang tua.
Bagiku, mereka punya andil yang sangat besar dalam hidupku.
Aku masih ingat betapa mereka selalu menyemangati setiap pekerjaan yang kulakukan, mengingatkanku bahwa aku bisa, betapa ridho yang mereka berikan kepadaku menambah peluang diriku untuk menggapai segala mimpi yang telah kucanangkan sejak dahulu, betapa tiada hentinya bibir mereka memanjatkan doa kepada Allah untuk melancarkan segala usahaku.
Di saat aku jatuh, mereka selalu siap untuk membagi tenaganya agar aku bisa bangkit kembali.
Apa yang telah mereka berikan, tak akan pernah bisa terhapus dari memoriku, akan kukenang sepanjang masa perjuangan mereka yang menjadikan diriku jauh lebih baik dari hari-hari kemarin.
Akupun berjanji kepada jiwa dan ragaku.
Akan kubahagiakan mereka.
Akan kuantarkan mereka kepada air mata haru akan kebanggaannya kepada diriku yang telah ia besarkan.
Tidak akan kusia-siakan didikan mereka selama bertahun-tahun.
Paling tidak, aku ingin melihat haru bangganya ketika di kepalaku melekat sebuah toga.
Agar mereka pun menjadi tahu, betapa beruntungnya aku dididik dan dibesarkan oleh mereka.

Berorganisasi di Usia Remaja: Pengalaman di Masa Lalu dan Masa Depan yang Lebih Menjanjikan

Oleh: Firda Amalia H

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya sudah sering mendengar pepatah-pepatah ajaib yang mampu membangkitkan motivasi utamanya motivasi agar berjuang meraih mimpi-mimpi. Tidak jarang pula saya menuliskan kalimat-kalimat motivasi itu ke dalam buku harian saya , media sosial, atau bahkan menempelkannya pada dinding-dinding kamar saya. Tujuannya, tentu, agar saya termotivasi.
“Pengalaman adalah guru terbaik”
Kalimat tersebut merupakan salah satu pepatah yang selalu saya ingat. Pepatah itu diperkenalkan oleh salah seorang guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas saya ketika duduk di bangku kelas 3 SMA – namanya Ma’am Suherni. Setiap sebelum memasuki pelajaran, beliau selalu menyempatkan diri untuk berbagi kalimat ajaibnya dengan kami. Dan, duar! Seketika kalimat itu lalu membakar motivasi dan semangat belajar kami.
Sebagian dari pembaca  – yang masih berusia muda seperti saya – mengatakan bahwa mengoleksi pengalaman yang luar biasa – contohnya pengalaman berorganisasi – adalah hal yang menyenangkan. Betapa tidak, melalui sebuah pengalaman, kita bisa membayangkan hal apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Selain mendapatkan momen sejarah yang tak terlupakan, pengalaman juga menjadi alarm pengingat di kehidupan kita.
Artikel ini pun saya buat berlandaskan pengalaman sederhana yang terjadi beberapa waktu lalu di istana kecilku. Sebuah perdebatan kecil antara saya dan salah satu orang yang paling penting dalam hidup saya itu pun membuat saya terinspirasi membuat tulisan yang sederhana ini. Seketika perdebatan itu berjalan, seketika itu pula sebuah pemikiran sederhana masuk ke dalam otakku.

Relasi Antara Uang, Bekerja dan Pengalaman
Uang. Sebuah benda sakral yang digunakan sebagai alat ukur atas nilai suatu barang dan jasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa uang menjadi sesuatu yang sangat penting dalam sebuah kehidupan. Uang tidak hanya memengaruhi satu individu, melainkan suatu komunitas dunia.
Beberapa orang ingin bekerja hanya jika dibayar dengan uang sebagaimana fungsi uang sebagai alat ukur atas nilai suatu jasa. Semakin besar jasa maka semakin besar pula jumlah uang yang harus dibayarkan. Tentu saja. Seseorang yang bahkan tidak pernah belajar Ilmu Ekonomi sekali pun tentu mengetahui hukum alam tersrebut.
Lantas, bagaimana jika kita memberikan jasa tanpa dibayar dengan uang? Bukankah bekerja tanpa mengharapkan imbalan itu lebih asyik? Sebagian dari pembaca pasti pernah mendapatkan rumus seperti ini:
Hasil = Usaha / Harapan
Anggaplah hasil kita analogikan sebagai uang pasti yang akan kita peroleh. Usaha sebagai jasa yang kita berikan. Kemudian harapan sebagai angan-angan terhadap jumlah balas jasa (dalam hal ini adalah uang) yang akan diperoleh. Seseorang yang pernah belajar matematika tentu mengetahui bahwa angka berpa saja yang dibagi nol hasilnya tak terhingga. Jika diterapkan ke dalam kasus di atas, maka disimpulkan suatu pernyataan bahwa “suatu jasa baik dalam bentuk kecil maupun besar jika dilakukan dengan ikhlas tanpa mengharapkan apa-apa maka akan menghasilkan sesuatu yang tak terhingga, luar biasa”.
Dalam ilmu ekonomi, kita juga diajarkan bahwa seseorang yang ingin mendapatkan output haruslah memiliki input. Sederhananya, jika ingin kaya maka harus punya modal. Saya juga menafsirkan bahwa modal yang dimaksud di sini bukan hanya sekedar materi – uang, melainkan sebuah pengalaman. Tentu saja.

Baiklah, karena prolognya saya rasa sudah sangat panjang, maka saya akan masuk ke inti pembahasan yang sebenarnya.

Usia Muda dan Organisasi
Sudah seharusnya saya dan kamu – yang berada di usia muda – aktif di berbagai kegiatan organisasi. Mengapa perlu berorganisasi? Pada artikel sebelumnya saya telah membahas mengenai manfaat berorganisasi di masa remaja yang bisa kamu lihat di sini.
Sayangnya, begitu banyak orang tua yang melarang anaknya untuk menjadi seorang organisator. Alasannya pun beragam, dan salah satu alasan yang membuat saya sampai menulis artikel ini adalah, “Ikut organisasi hanya buang-buang uang. Tidak usah ikut organisasi kalau tidak dapat bayaran”.
Dalam organisasi ada tiga kunci utama yang harus kita pegang, yakni totalitas, loyalitas dan royalitas. (Saya diberitahu ketiga kunci ini oleh salah seorang senior saya di OSIS). Sudah tentu royalitas yang sangat erat kaitannya dengan “pengeluaran berupa uang” menjadi salah satu kunci sukses seorang organisator. Hal itu dikarenakan setiap program kerja yang akan dilaksanakan mempunyai anggaran dana. Jika bukan panitia pelaksana yang sibuk mencari dana, lantas siapa lagi?
Namun, apakah semua pengorbanan biaya yang dilakukan hanya sia-sia? Tentu jawabannya tidak. Menurut diri saya pribadi, mengeluarkan rupiah untuk sebuah organisasi tempat kita bernaung merupakan sebuah investasi. Ya, investasi yang berarti kelak dikemudian hari akan kita petik hasilnya.
Mengapa demikian? Mari kita bahas lebih lanjut.
Tentu kita telah menyepakati bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman adalah sesuatu yang sangat mahal. Untuk mendapatkan suatu pengalaman berharga, tentu pun dibutuhkan modal. Modal yang dimaksud baik berupa tenaga, pikiran dan tentu saja; uang.
Bagaimana membeli pengalaman dengan uang? Tentu tak semudah membayar belanjaan di supermarket. Ada serangkaian proses yang harus dilewati. Seperti, bergabung di sebuah organisasi dan komunitas, melewati berbagai prosesi, turut berperan dalam kepanitiaan, lalu turut mendanai acara dengan menyumbang berbagai rupiah.
Apakah rupiah yang disumbangkan akan bermanfaat? Ya, tentu saja. Rupiah yang kita telah keluarkan tidaklah terbuang percuma. Rupiah-rupiah tersebut akan berganti menjadi sebuah acara yang sukses. Acara dengan nama kita sebagai salah satu contributor penting. Apa yang didapatkan kemudian? Tentu saja, kebanggaan dan juga pengalaman.
Pengalaman berharga dari sebuah acara yang telah terselenggara dengan sukses tidak hanya berbuah manis pada selembar kertas laporan pertanggungjawaban, akan tetapi berdampak pula pada bagian kehidupan lainnya.
Jika kamu seorang pemuda yang update mengenai event-event pelajar dan pemuda, tentu kamu tahu Parlemen Remaja, Indonesian Student and Youth Forum, Aksi Indonesia Muda, Astra Honda Motor Best Student, dan masih banyak lagi lainnya. Tahukah kalian apa yang menjadi salah satu syarat mutlak untuk mengikuti kegiatan-kegiatan bergengsi tersebut? Ya, pengalaman berorganisasi.
Percayalah bahwa apa yang kau lakukan saat ini akan berdampak pada masa depan. Begitu pun dengan mengikuti segelintir aktivitas berorganisasi. Salah satu contoh lain betapa pentingnya pengalaman berorganisasi juga bisa dilihat pada pengajuan berbagai beasiswa. Contohnya Beasiswa Djarum Plus, beasiswa yang menjadi incaran mahasiswa-mahasiswi hebat dari pelosok Indonesia.
Katanya, pengalaman berorganisasi pun juga sangat berpengaruh pada dunia kerja nanti. Betapa tidak, pada saat berorganisasi kita telah belajar memegang suatu tanggung jawab berdasarkan peran dan kedudukan kita dalam organisasi, belajar bekerja sama dengan tim untuk menyukseskan program kerja, manajemen waktu, dan bagaimana menghargai sikap orang lain yang berada ‘satu atap’ dengan kita.
Jadi, investasi masa depan melalui pengalaman berorganisasi itu sudah pasti, teman-teman. Jangan takut untuk menanam modal melalui organisasi yang sedang kamu ikuti saat ini. Meskipun saya sendiri masih memiliki pengalaman yang minim dalam berorganisasi, namun manfaatnya luar biasa sudah saya rasakan. Ayo, jadi lah pemuda organisatoris yang kreatif!
Sebelumnya, saya pernah membahas tentang INCREDIBLE with Student Organization di blog ini, kalau kamu belum baca, silakan klik di sini.
Yuk, nonton videoku tentang remaja dan organisasi! Klik di sini :)