Monday 29 February 2016

Cerpen: Dibalik Tangisanku

Oleh Firda Amalia H

“Ayolah, jangan nangis lagi, Din!” Kata Suci seraya mengelus pundak Dina.
“Tidak, Ci! Aku tidak mau berhenti nangis!” Ucap Dina tersedu-sedu.
“Memangnya ada masalah apa lagi kamu dengan ibumu?” Tanya Suci.
“Aku capek, Ci! Ibuku tidak bisa mengerti aku!” Teriak Dina.
Pembicaraan mereka sempat terhenti ketika Bik Ratih, ibu Suci membawa secangkir bajigur dan sepiring pisang goreng untuk mereka. Siang itu, hujan deras disertai kilat dan petir. Dina sedang berada di rumah sahabatnya, Suci bercerita tentang sikap ibunya yang terlalu memanjakannya.
“Kok perempuan tangguh sepertimu ini bisa nangis? Ada apa, nak?” Tanya Bik Ratih.
“Bibi..” Kata Dina yang lalu memeluk ibu sahabatnya.
“Jangan cengeng gitu ah, Din!” Ujar Suci.
“Aku nangis bukan berarti aku cengeng, tapi aku sudah terlalu sabar menghadapi ibu!” Kata Dina.
“Kamu tahu masalah Dina apa, Ci?” Tanya Bik Ratih kepada anaknya.
“Tidak tahu, Bu! Dia datang-datang eh langsung nangis. Yang dia sebutin cuman ibunya. Din, jangan putus asa gitu dong! Nanti ibu kamu pasti ngerti apa yang kamu rasain!” Nasihat Suci pada Dina sahabatnya.
“Tidak, Ci! Aku tidak pernah putus asa, kok! Malahan aku mati-matian mempertahankan segala kemauanku yang selalu ditentang ibu!” Balas Dina.
“Ibu kamu sangat sayang sama kamu. Dia tidak mungkin melarangmu kalau hal itu wajar kamu lakukan. Kamu anak perempuan satu-satunya di keluargamu. Wajarlah kalau orang tuamu selalu melebih-lebihkanmu. Renungkan itu, Nak!” Ujar Bik Ratih.
“Ibu itu sangat menyebalkan, bi. Aku tidak mau terus-terus dimanjakan. Aku sudah capek dimanja terus. Lagian, aku kan sudah besar, sudah tahu mana yang salah dan mana yang benar” Ucap Dina kesal.
“Din, coba bayangkan kalau seandainya kamu jadi Tina. Kamu tahu kan kalau ibu Tina itu sudah meninggal. Padahal, Tina masih sangat membutuhkan ibunya. Setiap ia melihat kita dan teman-teman bersama ibu kita, dia pasti menangis. Dia sedih karena ibunya telah pergi meninggalkan dia untuk selama-lamanya. Sudah tidak ada lagi yang memerhatikan dia. Lah, kamu kok malah tidak mau sih punya ibu?” Suci terus mencoba meredamkan tangis sahabatnya.
“Nak, kamu harusnya bersyukur mempunyai seorang ibu yang sangat sayang sama kamu. Tidak ada seorang ibu yang tega melihat anaknya sedih dan menderita. Sakit hati yang kau rasakan saat ini tidak sebanding dengan rasa sakit ketika ibumu melahirkanmu. Disitulah perjuangan dan pertarungan hidup dan matinya. Sekarang, kau menangisi ibumu yang sangat sayang padamu. Seolah-olah, kamu tak menginginkannya. Sangat berbanding terbalik saat ibumu akan melahirkanmu. Saat itu, ia tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Kau tahu apa arti di balik air mata itu? Air mata itu melambangkan begitu kerasnya perjuangan seorang ibu. Berjuang melawan rasa sakit yang ia rasakan. Berjuang mempertahankan nyawa anaknya. Bahkan ia rela menukar nyawanya dengan nyawa anaknya. Kenangan terindah bagi seorang ibu ialah saat ia tersenyum melihat kelahiranmu, bayi yang begitu menggemaskan. Betapa senang hatinya saat mendengar tangisan pertamamu. Ia merasa bangga karena telah melahirkanmu. Ia bangun tengah malam untuk memberikanmu ASI agar kamu dapat bertahan hidup. Sadarkah kamu akan hal itu, nak? Beruntunglah kamu bisa melihat dan memandangi wajah ibumu. Tapi, bagaimana dengan anak yang ditinggal ibunya sejak ia kecil atau bahkan baru  lahir? Apakah kau tak membayangkan bagaimana perasaan anak itu? Ibumu telah merawatmu dari kecil hingga besar dan mengajarimu cara berperilaku yang baik. Ingatkah pula saat ibumu mengajarkanmu kata yang indah yaitu, ‘Mama’? Hingga akhirnya kamu tumbuh menjadi sosok gadis yang cantik dan cerdas? Itu hanya sebagian kecil dari segala hal luar biasa yang dilakukan seorang ibu. Bibik rasa, tak ada seorang pun yang mampu melukiskan betapa besarnya perjuangan seorang ibu. Ada sebuah kisah ketika Rasulullah ditanyai oleh seorang lelaki, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?’, Rasulullah pun menjawab, ‘ibu’, lau lelaki itu kembali bertanya, ‘lalu siapa?’, Rasulullah kembali menjawab ‘ibu’, kemudian lelaki tadi menanyakan hal yang sama, ‘kemudian siapa?’, Rasulullah menjawab lagi ‘ibu’, untuk keempat kalinya lelaki itu bertanya, ‘selanjutnya siapa lagi?’, barulah Rasulullah menjawab ‘ayah’. Bayangkan, Rasulullah telah menyebut ibu tiga kali sebagai orang yang harus kita muliakan. Satu hal lagi yang harus selalu kamu ingat, berbuat baik kepada kedua orang tua itu salah satu jihad di jalan Allah, nak!” Kata Bik Ratih yang berusaha menyadarkan Dina.
Air mata Dina mengalir semakin deras, sederas hujan di siang itu. Ia membayangkan betapa besar perjuangan ibu yang merawatnya dari lahir sampai sekarang ini. Bik Ratih telah memberinya suatu pelajaran “Dibalik tangisanku karena ibu, ternyata aku tidak menyadari betapa besarnya pengorbanan ibu untukku”. Selama ini Dina tak pernah menyadari betapa cinta ibu terhadapnya melebihi apapun di dunia ini, cintanya mungkin lebih dalam dari samudera dan lebih luas dari jagad raya.
“Apa ibumu tahu kau ada di sini?” Tanya Suci.
“Tidak, ibu tidak tahu aku di sini.” Jawab Dina
“Kau harus memberitahunya, nak!”
Saat ingin menelepon ibunya, betapa kagetnya ia saat melihat ada empat puluh panggilan tidak terjawab dari nomor papanya. Dan saat ia menelepon balik, nomor papanya sudah tidak aktif. Tentu saja ini adalah hal yang amat sangat penting. Biasanya, jika hal itu tidak begitu penting papanya hanya beberapa kali saja meneleponnya. Hanya saja, sesampainya di rumah, Dina langsung diberi tahu akan hal tersebut.
“Ada apa yah papa menelepon aku sampai ada empat puluh panggilan tak terjawab. Papa tidak biasanya seperti ini. Pasti ini hal yang sangat penting.” Gumam Dina dalam hati.
“Ada apa, Din?” Tanya Suci.
“Tidak ada apa-apa, kok! Hujan sudah reda nih, antar aku pulang, yah? Takut nanti orang rumah pada khawatir” Jawab Dina.
“Ya, gitu dong. Pastilah aku antar kamu pulang!” Ucap Suci.
“Kalian hati-hati, yah! Jangan ngebut bawa sepeda! Awas, biasanya habis hujan begini jalananya pasti licin!” Nasihat singkat Bik Ratih.
Jarak rumah Dina dan Suci tidak terlalu jauh. Sekitar sepuluh menit dalam perjalanan, mereka sudah tiba di depan kompleks perumahan Citra Harapan. Betapa kagetnya mereka ketika melihat bendera putih berkibar di pintu kompleks tempat Dina tinggal itu.
“Innalillahi wa innailaihi rojiun.” Ucap Suci dan Dina serentak, kepanikan sangat jelas terlihat dari raut wajah mereka.
“Pak, kalau boleh tahu siapa yang meninggal?” Tanya Suci kepada salah seorang satpam yang sedang berjaga.
“Itu Dek, keluarga pengusaha terkenal yang tinggal di Blok-C”  Jawab pak satpam singkat.
“Loh, itukan blok rumah aku, Ci! Ayo kita harus cepat-cepat sampai nih!” Ucap Dina yang kepanikannya semakin memuncak.
Betapa hancur hati Dina ketika melihat bendera putih di depan rumahnya. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Ia kemudian berlari ke pintu rumahnya, disusul Suci di belakangnya. Tidak seorang pun orang di rumah tersebut menyadari kehadirannya.
Tatapan Dina lurus ke arah jasad yang ditutupi kain kafan. Ia melihat papanya sedang menangisi jasad itu. Sosok ibunya lalu terbayang di pikiran Dina. Ia teringat oleh perkataan Bik Ratih. Membayangkan saat ibunya menangis karena kenakalannya, mengingat saat ibu memarahinya, saat ibu menyuapinya, saat ibu menjadi teman curhatnya, saat ibu mengantarnya saat pertama kali masuk sekolah, saat ibu menyanyikan lagu tidur untuknya, membuatnya merasa tenang, membayangkan wajah ibu selagi senyum, marah, tertawa dan bahagia. Segala memori bersama ibu terputar seketika itu juga
“Bu, aku belum pamitan, belum meminta maaf, aku juga belum pernah membahagiakan ibu. Aku belum menjadi anak yang baik, aku tidak pernah menyadari betapa besar perjuangan ibu. Aku belum siap ditinggal ibu! Belum siap! Kini aku baru sadar betapa sayangnya ibu padaku, ibu sangat perhatian padaku, tak pernah sekalipun ingin menyakitiku. Ibu, jangan pergi dulu, yah? Aku masih membutuhkan ibu! Aku belum sempat berpamitan dan meminta maaf kepada ibu” Katanya diiringi isak tangis.
“Dina?” Ucap Suci
“Iiibuuuuuuuuuuuuu!!!” Teriak Dina membuat semua orang berbalik ke arahnya.
“Dina?” seseorang dengan suara halus menepuk pundak Dina.
Dina lalu berbalik ke arah orang  itu.
“Ibu” Kata Dina sambil memeluk wanita itu.
“Ada apa, Dina? Kenapa kamu teriak memanggil ibu, sayang?” Tanya wanita itu.
“Bu, maafin Dina yang pergi tanpa pamit sama Ibu!” Dina berkata sambil memeluk erat ibunya.
“Iya sayang. Bik Ratih sudah kasih tahu ibu kalau tadi kamu main sama Suci!” Kata wanita itu.
“Yang ditutupi kain kafan itu jasad siapa, tante?” Tanya Suci.
“Oh, itu jasad seorang petani yang tersambar petir di kaki gunung. Papa Dina menemukannya saat melakukan penelitian di tempat itu. Setelah papa Dina melihatnya baik-baik, ternyata dia orang yang pernah menyelamatkan papa Dina saat terhanyut di sungai lima tahun yang lalu” Jelas Ibu Dina
“Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun.” Dina dan Suci turut berbela sungkawa.

-SELESAI-

No comments:

Post a Comment