Tuesday 13 February 2018

Generasi Salah Fokus

Nasihat dan hujatan itu jaraknya jauh, tapi entah mengapa banyak sekali orang yang tidak bisa membedakannya.

Keasyikan beropini rupanya telah merambah ke mana-mana. Orang yang tadinya di dunia nyata mungkin tidak banyak bicara, tiba-tiba di dunia maya menjadi begitu kritis. Sayangnya, terkadang terdapat kekritisan yang sebenarnya kurang relevan dengan isi postingan. Bagaikan sebuah nasihat yang dibalas dengan hujatan, atau kah sesuatu yang seharusnya diapresiasi malah dicaci maki. Ya, tulisan ini berangkat dari keresahan saya setiap kali membuka kolom komentar dunia maya, entah itu line, facebook, instagram, atau pun situs website lainnya.

Mungkin buddies sekalian masih mengingat kejadian seorang generasi pengharum bangsa yang dikritik karena pakaiannya yang konon “tidak layak pakai” nun “tidak mencerminkan budaya bangsa”, alih-alih mendapatkan ucapan selamat, mereka malah dikatain seperti seekor burung yang berceloteh tiada guna.

Makin ke sini nampaknya makin menjadi-jadilah kesalah-fokusan itu. Duhai netijen yang maha benar, bukankah telah disediakan akua kepadamu agar kamu bisa sedikit lebih fokus?
Dan inilah postingan yang membuat saya benar-benar berniat membuat tulisan ini.

Check it out..

 

Katakan kepadaku, buddies, apa yang terlintas pertama kali di benak kalian saat membaca postingan ini?

Apakah kalian merasa tertohok dan teringatkan kembali akan sosok pejuang bangsa yang semakin terlupakan? Apakah merasa malu karena begitu mengenal Dilan tapi tak mengenal Wiji Thukul? Atau bahkan merasa resah kok bisa-bisanya seorang pejuang bangsa disbanding-bandingkan dengan sosok Dilan itu?

First thing first, Dilan dan Wiji Thukul adalah tokoh dengan genre yang berbeda. Wajar saja kalau banyak yang protes mengapa kedua tersebut dibandingkan. Tapi, balik lagi. Saya sangat yakin bahwa penulis bermaksud baik ingin mengenalkan pemuda sekarang dengan Wiji Thukul yang kurang dipublikasikan lagi. Dengan adanya momentum Dilan yang begitu booming  di kalangan remaja, maka penulis berinisiatif untuk mengambil peluang tersebut. Untuk menyebarkan virus-virus menolak lupa. Biar apa? Biar kita para pemuda, meskipun umpamanya tak punya nyali sebesar dia, tapi kita setidaknya tahu bahwa sosoknya itu ada.

Sayangnya banyak yang salah kaprah kalau postingan tersebut adalah perbandingan yang seolah-olah menunjukkan ketidaksukaan pada pemuda yang terenyah dengan Dilan. Padahal, di postingan tersebut tidak ada kalimat yang menyudutkan Dilan. (coba, deh, baca dengan seksama sekali lagi).

“Dilan menghipnotis kawula muda untuk romantis dalam percintaan, Wiji Thukul  menghipnotis para buruh dan petani untuk berani mengorganisir dan menyuarakan ketidakadilan yang dilami melalui puisi.” Kalimatnya sehalus itu. Beda halnya kalau postingan tersebut berbunyi “Wiji Thukul  menghipnotis para buruh dan petani untuk berani mengorganisir dan menyuarakan ketidakadilan yang dilami melalui puisi tidak seperti Dilan yang bisanya cuma menghipnotis kawula muda untuk romantis dalam percintaan”.

Dan yang paling penting menurut saya, dengan adanya reminder ini …
Bukan berarti penulis Indonesia tidak boleh berkarya.
Bukan berarti pembaca novel kelas akut seperti saya ini tidak boleh berimajinasi.
Bukan berarti produser film tidak boleh memproduksi film yang tentang romantisme belaka.
Bukan berarti penduduk Indonesia dilarang nonton film Dilan.
Bukan berarti pemuda dilarang mengidolakan Dilan.

Jika boleh jujur, saya pun senang dengan karakter Dilan yang menyayangi keluarganya. Sebagaimana lelaki yang ideal haruslah cinta kepada perempuan di keluarganya terlebih dahulu sebelum perempuan lainnya. Saya suka bagaimana Pidi Baiq mengkritik dan membandingkan kota Bandung yang dulu dan sekarang.

Sayangnya, banyak sekali orang-orang yang melontarkan komentar hate speech dengan embel-embel an*ing, kont*l, dan saudaranya. Adapula yang berkomentar dengan santainya bilang “Dilan itu real, bosku.” Padahal esensi dari postingannya tidak terletak di ke-fiksi-an ataupun ke-romantis-an Dilan, melainkan sebagai upaya mengingatkan kembali generasi ini kepada sosok yang pernah berjuang memerdekakan nasib buruh dan tani bangsa ini.

-

P.s.:

Pertama. Terima kasih kepada Sezar Rizki yang telah mengunggah postingan tersebut. Terima kasih pula kepada _anvel yang sudah seniat itu mengingatkan kita pada sosok Wiji Thukul dengan cara cerdas. Semoga kalian selalu berada di jalan kebenaran dan suatu saat nanti kita bisa kenalan.


Kedua. Saya pernah baca bahkan suka dengan Dilan sejak ceritanya pertama kali diunggah Pidi Baiq di blog pribadinya. Saya juga tahu kok pernyataan Pidi Baiq yang bilang kalau Dilan itu kisah nyata temannya waktu di SMA, meskipun banyak nitijen yang berkehendak kalau Dilan itu si Pidi Baiq sendiri. Yah, fyi aja sih. Siapa tahu ada yang pengen ngajakin nonton Dilan, soalnya kalau nonton sendirian katanya berat.

Ketiga. Judul ini diambil dari tulisan kak Gitasav di blognya. Sengaja milih karena memang konteks dan isinya hampir sama. Atau apakah sebaiknya salah ganti judul, ya, jadi "Generasi Kurang Minum". Hmm(?)

No comments:

Post a Comment