Nasihat dan hujatan itu jaraknya
jauh, tapi entah mengapa banyak sekali orang yang tidak bisa membedakannya.
Keasyikan
beropini rupanya telah merambah ke mana-mana. Orang yang tadinya di dunia nyata
mungkin tidak banyak bicara, tiba-tiba di dunia maya menjadi begitu kritis.
Sayangnya, terkadang terdapat kekritisan yang sebenarnya kurang relevan dengan
isi postingan. Bagaikan sebuah nasihat yang dibalas dengan hujatan, atau kah
sesuatu yang seharusnya diapresiasi malah dicaci maki. Ya, tulisan ini
berangkat dari keresahan saya setiap kali membuka kolom komentar dunia maya, entah
itu line, facebook, instagram, atau pun situs website lainnya.
Mungkin
buddies sekalian masih mengingat kejadian seorang generasi pengharum bangsa
yang dikritik karena pakaiannya yang konon “tidak layak pakai” nun “tidak
mencerminkan budaya bangsa”, alih-alih mendapatkan ucapan selamat, mereka malah
dikatain seperti seekor burung yang berceloteh tiada guna.
Makin
ke sini nampaknya makin menjadi-jadilah kesalah-fokusan itu. Duhai netijen yang
maha benar, bukankah telah disediakan akua kepadamu agar kamu bisa sedikit
lebih fokus?
Dan
inilah postingan yang membuat saya benar-benar berniat membuat tulisan ini.
Check it out..
Katakan
kepadaku, buddies, apa yang terlintas pertama kali di benak kalian saat membaca
postingan ini?
Apakah
kalian merasa tertohok dan teringatkan kembali akan sosok pejuang bangsa yang
semakin terlupakan? Apakah merasa malu karena begitu mengenal Dilan tapi tak
mengenal Wiji Thukul? Atau bahkan merasa resah kok bisa-bisanya seorang pejuang
bangsa disbanding-bandingkan dengan sosok Dilan itu?
First
thing first, Dilan dan Wiji Thukul adalah tokoh dengan genre yang berbeda. Wajar
saja kalau banyak yang protes mengapa kedua tersebut dibandingkan. Tapi, balik
lagi. Saya sangat yakin bahwa penulis bermaksud baik ingin mengenalkan pemuda
sekarang dengan Wiji Thukul yang kurang dipublikasikan lagi. Dengan adanya
momentum Dilan yang begitu booming di kalangan remaja, maka penulis berinisiatif
untuk mengambil peluang tersebut. Untuk menyebarkan virus-virus menolak lupa. Biar
apa? Biar kita para pemuda, meskipun umpamanya tak punya nyali sebesar dia,
tapi kita setidaknya tahu bahwa sosoknya itu ada.
Sayangnya
banyak yang salah kaprah kalau postingan tersebut adalah perbandingan yang
seolah-olah menunjukkan ketidaksukaan pada pemuda yang terenyah dengan Dilan.
Padahal, di postingan tersebut tidak ada kalimat yang menyudutkan Dilan. (coba,
deh, baca dengan seksama sekali lagi).
“Dilan
menghipnotis kawula muda untuk romantis dalam percintaan, Wiji Thukul menghipnotis para buruh dan petani untuk
berani mengorganisir dan menyuarakan ketidakadilan yang dilami melalui puisi.” Kalimatnya
sehalus itu. Beda halnya kalau postingan tersebut berbunyi “Wiji Thukul menghipnotis para buruh dan petani untuk
berani mengorganisir dan menyuarakan ketidakadilan yang dilami melalui puisi tidak
seperti Dilan yang bisanya cuma menghipnotis kawula muda untuk romantis
dalam percintaan”.
Dan
yang paling penting menurut saya, dengan adanya reminder ini …
Bukan
berarti penulis Indonesia tidak boleh berkarya.
Bukan
berarti pembaca novel kelas akut seperti saya ini tidak boleh berimajinasi.
Bukan
berarti produser film tidak boleh memproduksi film yang tentang romantisme
belaka.
Bukan
berarti penduduk Indonesia dilarang nonton film Dilan.
Bukan
berarti pemuda dilarang mengidolakan Dilan.
Jika
boleh jujur, saya pun senang dengan karakter Dilan yang menyayangi keluarganya.
Sebagaimana lelaki yang ideal haruslah cinta kepada perempuan di keluarganya
terlebih dahulu sebelum perempuan lainnya. Saya suka bagaimana Pidi Baiq
mengkritik dan membandingkan kota Bandung yang dulu dan sekarang.
Sayangnya,
banyak sekali orang-orang yang melontarkan komentar hate speech dengan embel-embel an*ing, kont*l, dan saudaranya. Adapula yang berkomentar
dengan santainya bilang “Dilan itu real, bosku.” Padahal esensi dari
postingannya tidak terletak di ke-fiksi-an ataupun ke-romantis-an Dilan,
melainkan sebagai upaya mengingatkan kembali generasi ini kepada sosok yang
pernah berjuang memerdekakan nasib buruh dan tani bangsa ini.
-
P.s.:
Pertama.
Terima kasih kepada Sezar Rizki yang telah mengunggah postingan tersebut.
Terima kasih pula kepada _anvel yang sudah seniat itu mengingatkan kita pada
sosok Wiji Thukul dengan cara cerdas. Semoga kalian selalu berada di jalan
kebenaran dan suatu saat nanti kita bisa kenalan.
Kedua.
Saya pernah baca bahkan suka dengan Dilan sejak ceritanya pertama kali diunggah
Pidi Baiq di blog pribadinya. Saya juga tahu kok pernyataan Pidi Baiq yang
bilang kalau Dilan itu kisah nyata temannya waktu di SMA, meskipun banyak nitijen
yang berkehendak kalau Dilan itu si Pidi Baiq sendiri. Yah, fyi aja sih. Siapa tahu ada yang pengen
ngajakin nonton Dilan, soalnya kalau nonton sendirian katanya berat.
Ketiga. Judul ini diambil dari tulisan kak Gitasav di blognya. Sengaja milih karena memang konteks dan isinya hampir sama. Atau apakah sebaiknya salah ganti judul, ya, jadi "Generasi Kurang Minum". Hmm(?)
Ketiga. Judul ini diambil dari tulisan kak Gitasav di blognya. Sengaja milih karena memang konteks dan isinya hampir sama. Atau apakah sebaiknya salah ganti judul, ya, jadi "Generasi Kurang Minum". Hmm(?)
No comments:
Post a Comment